Masyarakat Adat Desa Ciptagelar, Sukabumi-Jabar

Jumat, 28 Februari 2014



wacananusantara.org | Masyarakat Adat Desa Ciptagelar, Sukabumi-Jabar
Sejarah dan letak geografis Desa Ciptagelar
a. Letak geografis
Jawa Barat terkenal dengan alam pegunungannya yang indah dan sejuk. Selain itu Jawa Barat juga terkenal memiliki banyak desa adat. Salah satunya dalah desa adat Ciptagelar (Kampung Ciptagelar, Desa Sirna Rasa, Kecamatan Cisolok, Sukabumi). Terletak di lereng bukit selatan Gunung Halimun dan Taman Nasional Gunung Halimun.
Kampung Ciptagelar yang luasnya hanya sekitar empat hektar. Berjarak sekitar 44 kilometer dari Pelabuhan Ratu ke arah Cisolok. Sekitar 200 km dari Jakarta. Dan persis di berbatasan dengan tapal batas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Untuk mencapai kampung itu para pendatang harus melalui jalan tanah berbatu kasar sepanjang 14 kilometer. Dengan medan jalan yang menurun dan menanjak sangat tajam dari lereng satu ke lereng lain di Gunung Halimun.
b. Sejarah Desa Ciptagelar
Dalam bahasa Sunda, kata kasepuhan mengacu pada golongan masyarakat yang masih hidup dan bertingkah-laku sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Masyarakat Kampung Ciptagelar menyebut diri mereka sebagai kaum Kasepuhan Pancer Pangawinan. Serta merasa kelompoknya sebagai keturunan Prabu Siliwangi. Perihal nama Pacer Pangawinan, berasal dari kata pancer yang bearti asal-usul atau sumber. Sementara kata pangawinan berasal dari kata ngawin, yang artinya “membawa tombak saat upacara perkawinan”. Tetapi, kata “pangawinan” dalam konteks ini, mungkin bersangkut paut dengan “bareusan pangawinan“, barisan tombak, pasukan khusus Kerajaan Sunda yang bersenjata tombak. (Kusnaka Adimihardja, 1992).
Bukti sejarah
Sejauh ini bukti sejarah, menurut Djuanda, memang masih banyak pihak yang meragukan keberadaan warga desa Cipagelar tersebut memiliki hubungan erat dengan Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Tapi, jika melihat situs  yang berada di sekitar kampung Pangguyangan diduga kuat berkaitan peninggalan Kerajaan Pajajaran. Apalagi, di sekitar situs tersebut tumbuh pohon hanjuang (pajajaran).
Situs yang ditemukan di perkampungan tersebut, jika dilihat dari ilmu arkeologi diyakini tempat pemujaan animis. Di sana, terdapat situs megalitik, batu jolang (tempat pemandian), salak datar, tugu gede, cungkuk, batu kursi dan batu dakon (alat perhitungan tanggal/ilmu bintang).
Perkampungan tersebut, papar Djuanda, menurut cerita legenda merupakan salah satu tempat pelarian keturunan dan pengikut Kerajaan Pajajaran. Sekitar tahun 1300, saat Prabu Siliwangi dan pengikutnya dikejar-kejar pasukan dari Kerajaan Banten dan mencoba melarikan diri ke Pulau Christmas (Australia) lewat Pantai Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi. Tapi itu gagal dilakukan Prabu Siliwangi dan pengikutnya, karena ombak Samudra Hindia saat itu sedang pasang. Tanpa memikir panjang, Prabu Siliwangi meminta pada keturunan dan pengikutnya untuk mencari jalan masing-masing. Demi menyelamatkan diri.
Dari sekian banyak pengikut dan keturunan Prabu Siliwangi, mereka akhirnya berpencar. Sebagian di antaranya, cerita Djuanda, melarikan diri ke Urug ( Bogor ), dan sebagian lagi lari ke Citorek (Banten), Sirna Rasa dan Ciganas (Sukabumi). Sedangkan, Prabu Siliwangi ke arah utara pantai Tegal Buleud.
Berdirinya desa Ciptagelar tidak terlepas dari yang sifatnya mitos dan tradisi yang melekat pada penduduk tradisional sebagaimana mestinya. Penduduk desa Ciptagelar merupakan penduduk pindahan dari desa Ciptarasa. Perpindahan ini didahului oleh sebuah mimpi atau wangsit yang diterima oleh Abah Anom. Maka tepatnya bulan Juli 2001, Abah Anom bersama belasan baris kolot (pembantu sesepuh girang) menjalankan wangsit tersebut.
Beberapa rumah baris kolot beserta seluruh isinya dibawa pindah. Lokasi baru tempat tinggal Abah Anom beserta baris kolot-nya bukan daerah yang baru dibuka. Abah Anom pindah ke tempat yang telah ada penduduknya dan kampungnya bernama Sukamulya. Oleh Abah Anom kemudian diganti menjadi Ciptagelar.
Abah Anom atau yang bernama asli Bapak Encup Sucipta sebagai pucuk pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Arti dari kata Ciptagelar sendiri artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena “perintah leluhur” yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itulah kepindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya.
Kebudayaan desa Ciptagelar
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kebudayan merupakan hasil dari cipta rasa manusia. Sedangkan menurut Konjaraningrat kebudayaan adalah “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa. Kebudayan menurut J.J Honigmann dibedakan atas gejala-gejalanya yang terdiri dari
  1. Wujud kebudayan yang terdiri dari ide, gagasan, norma-norma dan sebagainya.
  2. Kebudayan sebagai aktivitas tindakan manusia yang terpola
  3. Wujud kebudayaan yang merupakan hasil dari karyanya.
Secara umum kebudayaan memiliki kesamaan di dunia ini. Maka untuk itu Konjaraningrat membagi kebudayaan kedalam tujuh unsur. Yaitu bahasa, sistem pengetahuan, Organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi dan kesenian. Dari ketujuh unsur kebudayan yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat, kami mencoba melihat kebudayaan yang muncul dalam sebuah masyarakat desa Cipta Gelar.
Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia satu sama lain baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa manusia yang digunakan di dunia ini sangat bermacam-macam, bahkan di Indonesia sendiri sangat banyak sekali ragam bahasa. Mmerupakan hasil daya kreasi manusia yang menggunakannya. Jawa Barat merupakan suatu wilayah yang kebanyakannya mengunakan bahasa sunda tidak terkecuali di Desa Ciptagelar. Mereka dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi antar individu.
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi dalam kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir. Pastinya Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum naskah-naskah sunda kuno atau prasasti Kerajaan-kerajaan sunda diciptakan.
Sistem Pendidikan dan Pengetahuan
Masuknya peralatan modern ke desa Ciptagelar tidak menghilangkan tradisi lama nenek moyak mereka. Terutama dalam bidang pengetahuan pertanian. Tradisi bertanam mereka masih memegang tradisi leluhur. Tanpa obat-obatan kimiawi dan selalu berhasil panen setiap tahun. Dengan memberikan kesempatan untuk bernapas sejenak kepada bumi yang menghidupkan padi-padian maka yang terjadi adalah panen yang selalu berhasil dan leuit-leuit (tempat penyimpanan padi) yang tidak pernah dihampiri hama.
Bagi orang Sunda yang hidup di pedesaan, leuit memang bukan sesuatu yang asing. Meski sekarang fungsinya sudah tergerus zaman. Di masa lalu, leuit punya peran vital, sebagai gudang penyimpanan gabah atau beras hasil panen. Pada saat musim paceklik, simpanan gabah itu ditumbuk untuk kemudian dijadikan pemenuhan makan sehari-hari.
Di zaman modern sekarang leuit nyaris punah. Apalagi di daerah perkotaan, orang lebih menyukai sesuatu yang serba instan. Dikatakan “nyaris punah”, karena memang masih ada sebagian warga yang tetap mempertahankan fungsi leuit. Salah satunya adalah warga adat yang menempati kaki Gunung Halimun, sebuah kawasan yang jadi simpul perbatasan tiga kabupaten, Sukabumi, Bogor, dan Lebak (Banten). Bagi mereka yang memang jauh dari ingar-bingar dan gemerlap kota, keberadaan leuit sangat vital sebagai bumper ketahanan pangan warga.
Saking pentingnya, ketika seorang bayi lahir, maka yang pertama dijadikan “hadiah” adalah membangun leuit. Begitu juga saat seseorang menikah, yang pertama harus diurus adalah leuit. “Orang kota, kalau anak lahir biasanya langsung dibelikan boks bayi. Tapi bagi warga Kampung Adat Halimun, yang pertama diberikan kepada bayi baru lahir adalah leuit”.
Leuit biasanya dibangun tidak jauh dari rumah pemiliknya. Ukurannya bervariasi, bergantung status sosial pembuatnya. Bagi kebanyakan warga, ukurannya biasanya 4 x 5 meter, sedangkan bagi orang kaya bisa lebih luas lagi, 8 x 10 meter. “Sebenarnya ukurannya bukan dalam meter, tapi daya tampung. Satu leuit bisa menampung 500 – 1.000 ikat pare gede (jenis padi yang biasa ditanam warga setempat),” katanya. Jika dikonversikan, satu ikat pare gede setara dengan 5 kg. Jadi, leuit yang dibangun warga bisa menampung 2,5 ton sampai 5 ton padi.
Bagi penduduk setempat, tidak ada jenis padi yang ditanam selain pare gede. Untuk jenis ini, biasanya panen satu tahun sekali. Meski begitu, tiap kali panen jarang gagal seperti yang biasa terjadi di daerah lain. Dalam satu kali musim panen, satu hektare sawah bisa menghasilkan sekira 5 ton lebih gabah. Pola tanam yang dianutnya dengan sistem pola tanam serentak. Tujuannya agar bisa mengurangi serangan hama. Meski satu tahun sekali, hasilnya cukup untuk dua tahun.
Dalam pandangan saya sistem ketahanan pangan leuit yang masih dianut oleh warga adat Gunung Halimun, sangat bagus. Model tersebut bisa dijadikan contoh masyarakat modern, sehingga saat terjadi kekosongan suplai beras di pasar, masyarakat tidak kelabakan. “Saya kira, negara juga patut bercermin kepada kaum adat tadi, bagaimana mengatur tata niaga beras jangan sampai terus mengandalkan impor beras saja,”. Dalam hal ini masyarakat Ciptagelar pengetahuan tentang bagaimana cara memenuhui kebutuhan hidupnya sangat patut untuk kita contoh mereka tidak tergantung kepada orang lain atau pemerintah sendiri tetapi mereka hidup mandiri.
Pemerintahan
Abah anom sebagai kepala adat disana memliki peranan dan pengaruh sangat penting dalam masyarakatnya. Di Desa Ciptagelar tidak nampak adanya organisasi sosial yang modern seperti di daerah perkotaan, namun ketika ada kegiatan mereka secara sukarela membatu.
Gaya kepemimpinan Abah Anom sebagai seorang ketua adat dapat tergambarkan sebagai berikut, gaya kepemimpinan Abah Anom yang santun dan contoh laku hidup yang diterapkannya membuat ia menjadi panutan warga dalam kehidupan sehari-hari. Harmonisasi alam dan manusia adalah satu dari sekian banyak kearifan hidup yang dijalaninya. Bijak dalam memperlakukan alam, tak terjebak nafsu untuk menguras apa yang ada di depan mata, ia membawa warganya pada hidup yang relatif tak pernah kekurangan.
Salah satu bentuk pertanggungjawaban Abah Anom sebagai pemimpin masyarakat, di wujudkan dengan adanya pelaporan pertanggungjawaban setiap selesai upacara “Seren Taun”. Sesudah prosesi upacara tersebut, Abah Anom memberikan laporan pertanggungjawaban dalam bahasa Sunda kepada para sesepuh adat, disaksikan beberapa pejabat daerah serta ribuan warga.
Sistem organisasi kemasyarakatan di kampung ciptagelar telah berjalan dengan baik hal ini didasari karena warga menyakini bahwa Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah dikenal memiliki banyak pembantu atau mentri yang tersebar dari pusat hingga berbagai daerah. Secara struktural tertinggi, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Ia didampingi sesepuh induk yang dijabat oleh Marjuhi. Marjuhi merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Abah Anom. Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik tanah, maka biasanya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lembur di daerah. Jika gagal, masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk. Marjuhi sebagai sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Anom yang akan menjadi penentu. Tapi selama ini jarang ada konflik karena warga memegang teguh aturan adat, menurut Marjuhi. Di tingkat pusat maupun daerah juga ada fungsi-fungsi untuk menjalankan roda tata kelola adat.
Perangkat lain yang menopang berjalannya roda pemerintahan desa adat Ciptagelar yang berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing adalah adanya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru do’a, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani, juru sawer untuk menjalankan fungsi keamanan atau ronda. Selain itu di beberapa kampung ada juga pengawal atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lebur jika bepergian dinas. Dan juga terdapat apa yang disebut pujangga keraton, yaitu Ki Radi namanya berusia sekitar 50 tahun, ia bertugas membunyikan kecapi buhun sambil berpantun, pada malam kedua perayaan seren taun ketika para pengunjung sudah banyak yang pulang, isi pantunnya tersebut menuturkan asal-usul perjalanan hidup.
Abah Anom juga memiliki perangkat untuk rakyat, mereka bekerja lintas administrasi desa. Dalam satu wilayah kampung adat bisa menaungi dan mengayomi beberapa desa. Di di kampong Ciptagelar ini tidak ada konflik antara otoritas pemerintah desa dengan pemerintahan adat. Dari sektor kependudukan, Abah Anom juga memiliki biro statistika yang bisa mengecek jumlah penduduk serta angka mortalitas dan natalitas. Penghitungan jumlah penduduk dibarengkan dengan pengumpulan dana untuk keperluan adat yang disebut pongokan. Tidak hanya jumlah penduduk, jumlah pongokan juga dihitung secara beraturan yang dipungut berdasarkan perhitungan jumlah hewanpiaraan dan kendaraan yang dimiliki warga. Kepemilikan hewan dan kendaraanmempengaruhi jumlah dana yang ditarik dari masing-masing keluarga. Sebab,dana seren taun ini juga berasal dari pajak ingon (hewan peliharaan) dan pajak kendaraan.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Dalam pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya, warga Kasepuhan Ciptagelar juga melakukannya dengan tenaga mereka sendiri. Dalam laporan kepada warganya itu, Abah Anom menyampaikan selesainya beberapa proyek pembangunan jalan dan jembatan yang menelan biaya hingga ratusan juta rupiah. Hebatnya, seluruh biaya pembangunan itu sepenuhnya swadaya masyarakat adat Kasepuhan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang ada itu tidak terlalu banyak membutuhkan uang, tetapi tenaga. Untuk pembangunan jalan, misalnya, bantuan warga bukan berbentuk uang, tetapi tenaga.
Alat penerangan yang ada disana ternyata sudah menggunakan listrik yang dibuat oleh sekelompok orang yang merasa prihatin terhadap daerah-daerah terpencil seperti desa Ciptagelar. Listrik yang ada disana bukan listrik dari PLN namun listrik yang dibuat secara swadaya masyarakat dan bantuan donatur. Dengan adanya listerik maka tidak menuntut kemungkinan masuknya berbagai alat komunikasi seperti televisi radio komunitas. Peralatan pertanian yang digunakan disana masih sangat sederhana sekali mereka masih menggunakan kerbau sebagai alat untuk membajak tanah.
Sistem Mata Pencarian Hidup
Bagaimana warga di desa Ciptagelar berusaha hidup mandiri, sebanyak mungkin melepas ketergantungan kepada pihak lain, namun di sisi lain menjunjung tinggi kegotongroyongan di dalam “keluarga” sendiri adalah hal yang sudah semakin hilang di sekeliling kita. Meskipun mereka hidup dari hasil bersawah dan atau berladang yang panen hanya sekali setahun, di keluarga Kesatuan Adat Banten Kidul itu tak terdengar ada kabar tentang kekurangan pangan, apalagi kelaparan. Bahkan, lumbung-lumbung gabah tidak pernah kosong sepanjang tahun.
Pekerjaan masyarakat Kasepuhan rata-rata adalah bertani dan bercocok tanam padi, pekerjaan lainnya adalah beternak dan berkebun, bila sawah dalam masa Boyor / berair cukup akan dipakai untuk memelihara ikan, dan apabila kurang air akan ditanami tanaman yang berjangka pendek. Pekerjaan lainnya adalah sebagai buruh, tukang, kuli bangunan dan pedagang, bagi warga yang tinggal di kampung akan bekerja di kebun, membuat kerajinan anyaman, menanam pisang, membuat gula dll.
Istilah maro system bagi dua untuk pemilik dan penggarap, baik pertanian ataupun peternakan, dan istilah bawon hanya berlaku saat panen padi, seperti jika seseorang ikut memanen dari lima ikat (sunda: pocong) maka dia akan mendapat satu pocong, begitu juga berlaku ketika menumbuk padi.
Selesai panen, setiap keluarga menyisihkan dua pocong untuk diserahkan ke sesepuh girang sebagai tatali setiap habis panen, padi tersebut biasanya disimpan di lumbung kesatuan, dan padi itu juga berfungsi sebagai cadangan bila datang musim paceklik, dan bisa dipinjam oleh siapapun, dan dikembalikan dengan jumlah yang sama.
Di Kasepuhan Ciptagelar ada satu Lumbung komunal yang beri nama leuit Si Jimat, lumbung ini dipergunakan untuk upacara adat di acara Seren Taun setiap tahunnya sebagai tempat penyimpanan indung pare.
Peraturan adat melarang  untuk menjual beras sebagai makanan pokok, juga hasil olahan  dari beras juga dilarang untuk di jual, tetapi masyarakat diijinkan menjual padi apabila ada kelebihan cadangan, hal ini biasanya dilakukan untuk pembangunan sarana dan prasarana warga Kasepuhan, seperti pembangunan jalan, jembatan, saluran air dsb.
Sistem Religi
Sistem religi di Desa Ciptagelar sebenarnya beragama Islam, namun unsur animisme dan dinasmisme masih sangat kental, terutama sangat terlihat pada saat adanya upacara-upacara adat. Contohnya masyarakat disana masih percaya kepada hal-hal yang sifatnya magis, tahayul dan lain-lain.
Sebagai perangkat nilai yang dimiliki masyarakat adalam memandang dan memanfaatkan lingkungan banyak dipengaruhi oleh adat istiadat dan lingkungan dimana mereka tinggal, contoh pemahaman masyarakat akan system pertanian yang menyelaraskan dengan alam dan tidak mau menanam padi jenis unggul versi pemerintah, karena;
a)       upacara adat mengharuskan menggunakan padi local
b)       padi jenis unggul [pemerintah] tidak dapat tumbuh dengan baik di daerah lembab dan terlalu dingin.
c)       padi jenis lokal berbatang panjang sehingga memudahkan dietem, mudah pengeringan dan penyimpannya, tahan sampai waktu lebih dari 5 tahun dan tidak rontok.
d)       melestarikan adat leluhur, ada sekitar 43 jenis pare rurukan (padi pokok) dan 100 jenis padi hasil silang dari pare rurukan.
e)       dengan menanam padi setahun sekali, juga menghentikan siklus hama wereng yang biasanya jatuh apada bulan dan musim yang sudah diperhitungkan
f)       untuk menentukan masa tanam didasarkan pada perhitungan dengan menggunakan perhitungan bintang [seperti yang diungkapkan olek Kusnaka Adimiharja.1992] yaitu;
·         Tanggal Kerti Kana Beusi, tanggal Kidang turun Kijang , untuk menyiapkan alat-lat pertanian,
·         Kidang Ngarangsang Ti Wetan, Kerti ngagoredag ka kulon untuk lahan mulai digarap.
Pengetahuan tentang hutan di masyarakat adat Kasepuhan di bagi 3 golongan, yaitu;
Hutan Tua (Leuweung Kolot), Hutan asli dengan kerimbunan dan kerapatan tinggi dan banyak satwa, tidak boleh dieksploitasi.
Hutan Titipan / Kramat (leuweung Titipan), Hutan Kramat yang harus dijaga oleh setiap orang dan tidak boleh digunakan tanpa seijin sesepuh girang, memungkinkan digunakan hasil hutannya bila ada wangsit dari leluhur.
Hutan Sempalan / bukaan (leuweung Sampalan), Hutan bukaan yang boleh dieksploitasi untuk ladang, menggembalakan ternak, mencari kayu bakar dan ditanami berbagai tanaman kayu dan buah-buahan yang hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Aturan-aturan adat dan upacara adat yang berkaitan dengan padi selalu disertai dengan upacara ritual;
Ritual: Ngaseuk
Upacara prosesi menanam padi, memohon keselamatan dan keamanan dalam menanam padi, prosesi selamatan dengan kegiatan hiburan seperti wayang golek, Jipeng, Topeng, dan Pantun Buhun. Diawali oleh sesepuh girang berziarah ke pemakaman leluhur yang tersebar di wilayah Lebak, Bogor dan Sukabumi.
Ritual:  Sapang Jadian Pare
Satu minggu setelah tumbuhnya penanaman padi. Memohon ijin kepada sang ibu untuk ditananmi padi, dan restu leluhur dan Sang pencipta agar padi tumbuh dengan baik.
Ritual: Salametan Pare nyiram, mapag pare beukah
Selamatan padi keluar bunga, memohon padi tumbuh dengan baik dan terhindar dari hama:
a.       Ritual: Sawenan
Upacara setelah padi keluar, memberikan pengobatan padi dengan tujuan agar padi selamat dan terisi dengan baik dan terhindar dari hama.
b.       Ritual: Mipit Pare
Diadakan saat akan memotong padi baik dihuma maupun dipesawahan, dengan memohon kepada sang Pencipta agar diberikan hasil panen yang banyak dan meminta ijin untuk pemotongan padi kepada leluhur.
c.        Ritual: Nganyaran / Ngabukti
Upacara ritual saat padi ditumbuk dan dimasak pertama kali, sementara itu warga menunggu sampai emak selesai dengan ritualnya.
d.       Ritual Ponggokan
Seminggu sebelum Seren Taun, baris kolot berkumpul untuk membahas jumlah jiwa dihitung berdasarkan pajak  /jiwa Rp.150,- dan rumah Rp.250,- (data th 1997)
Kemudian menyerahkan biaya Seren Taun yang telah disepakati sebelumnya dan membahas biaya Seren Taun yang akan datang.
e.       Ritual: Seren Taun
Adalah puncak acara dari segala kegiatan masyarakat Kasepuhan yang dilakukan hanya di kampung gede setiap tahunnya. Upacara besar dalam menghormati leluhur dan Dewi Sri, dengan segala bentuk seni dan kesenian dari yang sangat buhun (lama) sampai seni yang modern sekalipun di tampilkan untuk masyarakat, dan padi di bawa dan diarak dan diiringi oleh semua orang, untuk kemudian dan disimpan di lumbung komunal Leuit Si Jimat.
Selain upacara yang terkait dengan padi, ada upacara lain yang dilakukan  yaitu;
selamatan 14 bulan purnama
upacara Nyawen – bulan safar (pemasangan jimat kampong)
selamat Rosulan (permohonan)
selamatan Beberes (menghindarkan masalah karena pelanggaran)
sedekah Maulud dan Rewah ( saling mengirim makanan )
Kesenian
Seren tahun merupakan salah satu tradisi warga desa adat Ciptagelar, yang bertujuan soal prilaku, ulah, dan langkah warga kasepuhan selalu dalam kaidah adat yang santun. Ini penting, katanya, agar setiap keinginan yang dicita-citakan bisa tercapai. Pertanian subur, panen melimpah, dan hidup tenteram. Dalam acara seren tahun ini mereka biasanya menggelar berbagi kesenian seperti jaipongan, wayang golek, debus, semua ini merupakan bentuk syukuran rakyat kepada sang pencipta atas rizki yang telah diberikan kepada mereka selain itu mereka juga meminta agar kedepannya panen mereka lebih baik lagi. Selain pentas kesenian pada malam itu juga tidak sedikit orang datang ke Abah Anom yang mana para warga ingin menyampaikan keluh kesahnya sambil meminta wejangan.
Selesai atraksi ini dimulailah upacara seren taun, diawali pembacaan do’a dan renungan oleh pemuka masyarakat di depan leuit (lumbung) keramat. Usai sesi yang penuh ritual ini, abah dan istri serta anggota inti, menaiki tangga lumbung dan masuk ke dalamnya. Sepanjang acara ini asap menyan menebarkan kesan magis. Sesudah keluarga inti kasepuhan kembali ke panggung, padi yang digotong tadi mulai dimasukkan dengan cara dilempar. Acara selanjutnya adalah pidato pertanggungjawaban yang intinya nyoreang alam katukang, nyawanan bakal katukang. Yang kira-kira artinya, kecukupan di tahun yang sudah-sudah bagaimana, lalu di tahun mendatang apa yang harus dilakukan.
Simpulan
Kebudayaan merupakan hasil dari cipta dan karsa manusia dalam bermasyarakat yang dilakukan secara sadar baik oleh kelompok maupun individu. Suatu kelompok masyarakat akan membentuk sebuah kebudayaan yang di dalamnya memiliki karakteristik tertentu sebagai ciri atau identitas masyarakat tersebut, sistem budaya masyarakat tersebut terangkum dalam tujuh unsur kebudayaan yang biasanya akan nyata terlihat dalam masyarakat yang masih berada di wilayah pedesaan. Masyarakat desa Ciptagelar memiliki ciri khas keunikan tersendiri sebagai masyarakat pedesaan, terutama dalam menahan derasnya kemajuan jaman dan moderenisasi.
Dalam sistem kehidupan sosialnya masyarakat desa Ciptagelar masih mempertahankan tradisi lamanya yaitu masih menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan sosial dalam bermasyarakat. Masyarakat Ciptagelar walaupun sudah mengenal yang teknologi modern seperti Televisi, Radio dll, namun mereka tetap memprtahankan tradisi lamanya, seperti dalam hal menyimpan padi. Mereka menyimpan padi di tempat yang dinamakan leuit atau lumbung padi. Penggunaan leuit ini untuk menyimpan padi setelah panen agar ketika musim tidak panen mereka tidak kekurangan makanan.
Keunikan lain yang ada di desa Ciptagelar adalah acara seren tahun dimana acara ini diadakan setahun sekali setelah panen. Acara Seren Taun ini merupakan pesta rakyat yang dilakukan untuk penyimpanan padi ke tempatnya (leuit). Dalam acara ini biasanya di lakukan berbagai hiburan rakyat seperti jaipongan wayang golek dll. Dalam upacara Seren Taun ini dapat dilihat berberapa wujud nyata yang merepresentasikan tujuh unsur kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat, yaitu sistem religi adanya unsur-unsur magis dalam upacara, sistem kesenian adanya acara hiburan rakyat atau kesenian tradisional, dan juga unsur sistem organisasi atau sistem pemerintahan dengan adanya acara laporan pertanggungjawaban dari kepala adat. Dalam unsur kebudayaan lainnya, masyarakat Ciptagelar masih merupakan salah satu desa adat yang masih teguh memegang tardisinya seperti, bentuk rumah, sistem kepemimpinan, cara bertani, kesenian, cara penyimpanan padi, dan lain-lain.

Sumber Rujukan:
Koentjaraningrat. 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia.
_____ . 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
_____ . 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
_____ . 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Penghantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
…………………….. (Aug 15, ’07).Kasepuhan Cipta Gelar Halimun. [Online]. Tersedia. http://dweepitt.multiply.com/journal/item/8. 25 Februari 2008.
Permanasari, Indira dan Amir Sodikin. (2005). [Online]. Tersedia. http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0508/24/humaniora/1998005.htm. 20 Maret 2008
.
Susanto,  Arif .(…….). Seren Taun – Kedamaian “Negeri di Awan. [Online]. Tersedia. http://www.garudamagazine.com/department.php?id=77
. 20 Maret 2008.
…………………… (……). Cipta Gelar Gunung Halimun. [Online]. Tersedia. http://dweeand.blogs.friendster.com/my_journey/2007/08/cipta_gelar_gun.html. 25
Februari 2008
……………………..(……….) .Leuit”, Kearifan Warga Kaki G. Halimun. [Online]. Tersedia.http://dweeand.blogs.friendster.com/my_journey/2007/08/sekilas_tentang.html
25 februari 2008
………………… (……….).Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar.[Online]. Tersedia. http://bandungheritage.org/index.php?option=com_content&task=view&id=54&Itemid=49&limit=1&limitstart=5 20 Maret 2008.
……………….. (…………).Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar. [Online]. Tersedia. http://dieny-yusuf.com/2007/03/02/kampung-gede-kasepuhan-ciptagelar/
. 20 Maret 2008.
………………….. (2008). Tentang Kebudayaan Kasepuhan . [Online] Tersedia. http://ciptagelar.multiply.com/journal/item/5 [31 08-09]
Read More..

Pu Sindok (Sri Isanawikramma Dharrmotunggadewa)


wacananusantara.org | Pu Sindok (Sri Isanawikramma Dharrmotunggadewa)
Pendiri Wangsa Isana
Pu SindokPu Sindok (sering ditulis Mpu Sindok) sebenarnya merupakan kerabat Kerajaan Medang i Bhumi Mataram di Jawa Tengah (lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Dirinya menjabat sebagai Rakryan Mapatih i Hino pada masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa (928-929) Masehi. Sebelum masa Rakai Dyah Wawa, Pu Sindok telah menjabat sebagai Rakryan Mapatih i Halu. Yakni pada masa pemerintahan Rakai Layang Dyah Tlodhong atau Tulodong (919-?).
Jabatan-jabatan seperti itu dipastikan hanya boleh diduduki oleh keluarga atau kerabat istana. Putra mahkota, menantu raja, adik, paman, kemenakan, apa siapa pun asal masih memiliki hubungan darah dengan raja. Dengan demikian, Pu Sindok sejak lahir berdarah bangsawan.
Wangsa yang didirikan Pu Sindok disebut Wangsa Isana. Istilah Wangsa Isana tertera dalam Prasasti Pucangan, prasasti yang dikeluarkan Raja Airlangga pada 963 Saka (1041 M). Prasasti berbahasa Sansekerta ini dimulai dengan penghormatan terhadap Brahma, Wisnu, Siwa, kemudian disusul dengan penghormatan terhadap pribadi Raja Airlangga. Selanjutnya dimuat silsilah Raja Airlangga, mulai dari Raja Sri Isanatungga atau Pu Sindok. Sri Isanatunggawijaya, yang menikah dengan Sri Lokapala, dan memiliki anak bernama Sri Makutawangsawarddhana, dan disebut sebagai keturunan Wangsa Isana. Dengan membaca teks Prasasti Pucangan, dapat diperoleh keterangan bahwa pendiri Wangsa Isana adalah Pu Sindok Sri Isanawikramma Dharrmotunggadewa.
Posisi Pu Sindok dalam silsilah keluarga raja-raja yang memerintah di Mataram memang dipenuhi kontroversi. Poerbatjaraka menilai bahwa Pu Sindok adalah menantu Dyah Wawa. Berdasarkan pada Prasasti Cunggrang yang menyebut “sang siddha dewata rakryan bawa yayah rakryan binihaji sri parameswari dyah kebi” (yang telah diperdewakan, Rakryan Bawa, ayah Sri Parameswari Dyah Kebi. Dengan demikian Rakryan Bawa diidentifikasikan oleh Poerbatjaraka sebagai Rakai Sumba Dyah Wawa.
Poerbatjaraka juga mengemukakan alasan lain, bahwa Pu Sindok bergelar abhiseka yang mengandung unsur kata dharma. Menurutnya sebagai petunjuk bahwa raja yang gelarnya seperti itu, mendapat takhta dari perkawinan. Selain itu tertulis juga nama Rakryan Bawang Dyah Srawana yang bisa juga dianggap ayah Dyah Kebi.
Akan tetapi, Stutterheim membantah pendapat Poerbatjaraka dengan mengatakan bahwa; nama Bawa harus dibaca Bawang, karena jelas ada anuswara di atas huruf /wa/. Lagi pula, Raja Wawa tak pernah bergelar Rakai atau Rakryan Wawa, melainkan Rakai Sumba atau Rakai Sumba Pangkaja Dyah Wawa. Selain itu, kata /kbi/ pada prasasti itu harus diartikan “nenek”.
Jadi, Sutterheim menyimpulkan bahwa yang diperdewakan di Cunggrang tak lain adalah Rakryan Bawang Pu Partha. Nama itu selalu muncul dalam prasasti-prasati keluaran Rakai Kayuwangi, ayah dari nenek Pu Sindok. Sementara Nenek Pu Sindok adalah permaisuri Daksa. Disebut dalam Prasasti Limus (Sugih Manek) bertahun 837 Saka (915 M). Jadi, Pu Sindok adalah cucu Daksa. Dengan begitu, Pu Sindok memang pewaris sah dari Kerajaan Medang di Bhumi Mataram di Jawa Tengah, tanpa harus menikah dengan seorang putri raja mana pun.
Maharaja di Tamwlang
Pada masa pemerintahan Dyah Wawa, antara 928-29 M, terjadi sebuah bencana besar: meletusnya Gunung Merapi. Letusan gunung ini membawa malapetaka yang mematikan: gempa bumi, banjir lahar, hujan abu, dan batu-batuan yang menimpa apa pun di sekitarnya. Termasuk wilayah Bhumi Mataram yang berada di sebelah barat daya gunung tersebut. Kerusakan akibat letusan Merapi yang melanda ibukota Medang, yakni Bhumi Mataram. Kerabat istana dan rakyat yang selamat akhirnya mengungsi ke wilayah timur.
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa Bhumi Mataram itu terletak di sekitar Magelang (hingga kini masih terdapat sebuah desa bernama Medangan), Jawa Tengah. Ada pula yang menduga di sekitar Yogyakarta. Dan ada pula yang menganggap bahwa wilayah Temanggung, Magelang, Bantul, Sleman, dan Klaten (kelimanya berada di Magelang dan Yogyakarta) merupakan wilayah kekuasaan Bhumi Mataram.
Di wilayah timur, ada wilayah Kanuhuruhan yang penguasanya tunduk kepada Bhumi Mataram. Maka, Pu Sindok pun leluasa membangun ibu kota baru di Tamwlang, sekarang sekitar Jombang, Jawa Timur. Keterangan tentang ibu kota di Tamwlang ini terdapat pada Prasasti Turyyan.
Sesuai pengetahuan kosmogonis pada masa itu, Pu Sindok merasa perlu mendirikan wangsa baru dengan tempat-tempat pemujaan baru. Karena menilai peristiwa meletusnya Gunung Merapi sebagai kehancuran dunia (pralaya) pada akhir masa Kaliyuga. Dalam dunia kosmogonis masyarakat Jawa silam, bila seorang raja hancur oleh serangan raja lain atau oleh bencana alam, maka periode itu disebut pralaya dan telah ditentukan oleh Dewa.
Rupanya, kerajaan baru yang didirikan Pu Sindok tetap bernama Medang I Bhumi Mataram, seperti yang termaktub dalam Prasasti Paradah yang bertarikh 865 Saka (943 M), dan Prasasti Anjukladang yang bertahun 859 Saka (937 M). Prasasti Turyyan bertahun 851 Saka (929 M) memberitakan bahwa ibukota pertama dari Medang versi Pu Sindok adalah Tamwlang (“sri maharaja makadatwan I tamwlang”).
Di sini jelas bahwa Pu Sindok telah mengangkat diri sebagai raja baru yang berpusat di Tamwlang. Kini, di Kab. Jombang, Jawa Timur, terdapat Desa Tambelang di wilayah kecamatan  Tambelang. Nama desa atau kecamatan itu kemungkinan besar dulunya bernama Tamwlang. Tak ada data tertulis lain yang menyebut nama Tamwlang selain prasasti ini. Setelah dari Tamwlang, berdasarkan Prasasti Paradah dan Prasasti Anjukladang, ibukota kerajaan berpindah ke Watugaluh, masih sekitar Jombang.
Pindah ke Watugaluh
Prasasti Anjukladang bertarikh 937 M, menginfromasikan bahwa istana Medang dipindahkan ke wilayah Watugaluh, di tepi Kali Brantas, masih di sekitar Jombang. Kini kita bisa menemukan sebuah kecamatan bernama Megaluh. Hingga kepindahan ke Watugaluh pun, Pu Sindok tak berniat mendirikan kerajan baru. Ini terlihat dari kalimat pada Prasasti Turyyan bahwa “Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh”. Tulisan ini menunjukkan bahwa ibukota telah berpindah dari Tamwlang ke Watugaluh.
Prasati Paradah juga mengatakan: “mdang i bhumi mataram i watugaluh.” Maka dari situ tak berlebihan bila kita menyebut kerajaan dengan ibu kota baru ini dengan sebutan “Medang i Bhumi Mataram i Watugaluh”. Bisa diartikan sebagai “Medang (yang dulu) di Bhumi Mataram (sekarang berada) di Watugaluh”. Atau bisa juga sebagai kerajaan “Medang i Bhumi Mataram” (dengan ibu kota baru) di Watugaluh”.
Pembacaan J.G. de Casparis terhadap Prasasti Anjukladang melahirkan dugaan bahwa pernah ada serbuan dari Malayu ke Jawa. Diberitakan, tentara Malayu bergerak sampai dekat Nganjuk, Jawa Timur, namun berhasil dihalau oleh pasukan Mataram di bawah komando langsung Pu Sindok , ketika itu belum menjadi raja. Mungkin masih berada di Tamwlang atau mungkin pula masih menjadi pejabat di Bhumi Mataram.
Atas jasanya yang begitu besar terhadap kerajaan, Pu Sindok diangkat menjadi raja (apakah ketika masih di Tamwlang atau sudah Watugaluh?). Namun, teks pada Prasasti Anjukladang belum terbaca seluruhnya. Dalam transkripsi Casparis, yang lebih komplit pembacaannya ketimbang transkripsi Brandes, diterangkan bahwa di tempat Sang Hyang Prasada itu dibangun pula jayastambha, yaitu tugu kemenangan.
Hampir tidak adanya prasasti mengenai peristiwa politik/militer pada masa Pu Sindok, bukan berarti bahwa pada masa pemerintahan Pu Sindok tidak ada penaklukan atau peperangan terhadap /dari kerajaan lain. Prasasti Waharu dan Sumbut memungkinkan bahwa pernah terjadi peperangan sebagai usaha penaklukan Pu Sindok terhadap kerajaan-kerajaan kecil. Pun, fakta bahwa pusat pemerintahan selalu berpindah-pindah menggambarkan bahwa pada masa Pu Sindok banyak terjadi penyerang musuh ke dalam ibu kota tersebut.
Wafat
Pu Sindok wafat pada 947 M dan didharmakan atau candikan di sang hyang dharma ring isanabhawana atau Isanabajra, yang hingga kini belum berhasil ditemukan. Prasasti Pucangan memberitakan, Pu Sindok digantikan oleh putrinya, Sri Isana Tunggawijaya. Sri Isana Tunggawijaya ini memerintah bersama suaminya, Sri Lokapala. Pasangan suami-istri ini kelak memiliki putra bernama Sri Makutawangsawarddhana.
Ada satu hal yang menarik bahwa nama Mataram hingga zaman Singhasari dan Majapahit dan sesudahnya masih dipakai sebagai nama kerajaan-bawahan. Bahkan oleh Panembahan Senopati pada abad ke-17 pun dijadikan nama kerajaan Islam. Sedangkan nama Medang sebagai nama daerah kurang begitu popular. (Yusandi)

Read More..

Upacara Tarik Batu di Tana Toraja dan Sumba Barat



wacananusantara.org | Upacara Tarik Batu di Tana Toraja dan Sumba Barat
Upacara Tarik Batu di Tana Toraja dan Sumba Barat: Refleksi Status Sosial dalam Tradisi Megalitik
Oleh: Retno Handini*
 Abstrak
Tana Toraja (Sulawesi Selatan) dan Sumba Barat (Nusa Tenggara Timur) telah lama dikenal sebagai wilayah yang kaya akan tinggalan megalitik baik megalitik yang telah mati maupun masih hidup. Budaya ini sangat terkait dengan kepercayaan masyarakatnya tentang pemujaan leluhur, yang dikenal sebagai Aluk Todolo di Toraja dan Marapu di Sumba Barat. Pemujaan leluhur inilah yang menjadi konsepsi dasar atas pendirian bangunan-bangunan megalitik di kedua daerah tersebut, yang masih dilakukan hingga saat ini. Upacara tarik batu menjadi essensi penting dalam pendirian bangunan megalitik, baik di Toraja maupun di Sumba Barat. Mereka mencari batu bahan dasar bangunan dari daerah sekitarnya, dan memahatnya menjadi bentuk yang diinginkan. Saat penyelenggaraan, batu tersebut ditarik bersama-sama oleh ratusan bahkan ribuan orang secara komunal menuju ke tempat baru yang diinginkan.
Sudah pasti bahwa upacara tarik batu yang menghabiskan biaya sangat besar ini mencerminkan status sosial yang tinggi dari keluarga penyelenggaranya. Dalam kasus pendirian menhir di Toraja, hanya bisa dilakukan oleh keluarga bangsawan yang kaya karena mensyaratkan penyelenggaraan upacara rapasan sapurandanan dimana minimal mereka harus mengorbankan 24 ekor kerbau, seekor diantaranya adalah kerbau belang (tedong bonga). Situasi di Sumba Barat juga sama, dimana upacara tarik batu hanya dapat dilakukan kalangan tertentu karena mahalnya biaya pelaksanaan. Paper ini akan membahas hubungan antara pemujaan leluhur di Toraja dan Sumba Barat, dalam kaitannya dengan upacara tarik batu yang mengiringi pendirian sebuah bangunan megalitik. Dalam hal ini, latar belakang sosial keluarga yang melaksanakan upacara tersebut memainkan peran sangat penting di dalamnya.
A. Pendahuluan

Dalam khasanah persebaran budaya megalitik di Indonesia, daerah Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan Sumba Barat di Nusa Tenggara Timur, sudah lama dikenal sebagai wilayah yang kaya akan peninggalan megalitik. Budaya megalitik tua dan megalitik muda menyatu dalam keseharian penduduknya. Dengan latar belakang konsepsi religi yang dipandang sebagai warisan nenek moyang yang harus dipegang teguh. Seperti di Nias, ragam budaya megalitik beserta unsur-unsur prasejarah di kedua daerah tersebut telah sanggup menembus batas periode waktu secara teoritis, dan berlangsung hingga kini sebagai sebuah tradisi.
Di sinilah faktor menarik dari keberadaan bangunan-bangunan megalitik di Tana Toraja dan Sumba Barat. Benda-benda budaya tersebut bukanlah benda-benda mati (dead monuments), akan tetapi merupakan benda-benda yang masih hidup (living monuments), yang melekat erat dengan ritme religi masyarakatnya pada saat ini. Pemujaan arwah para leluhur (ancestor worship) tetap merupakan inti dari setiap pendirian bangunan megalitik tersebut, yang bersumber dari kepercayaan asli masyarakat. Di Toraja, kepercayan tersebut disebut aluk todolo, sementara di Sumba Barat, mereka menyebutnya marapu. Aluk todolo mempunyai makna percaya kepada para lelulur, di mana Tuhan (Puang Matua) menjalankan segalanya. Nama Toraja sendiri berasal dari kata ‘To’ yang berarti orang, dan ‘riaja’ yang berarti pegunungan, sehingga Toraja berarti orang yang berasal dari gunung. Gunung dianggap sebagai tempat suci, tempat bersemayam para leluhur. Sementara marapu bertumpu pada pemujaan arwah nenek moyang dan meyakini roh leluhur sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dengan Sang Pencipta. Dalam kepercayaan marapu, Tuhan disebut Amawolu amarawi yang secara harfiah berarti yang membuat dan yang menciptakan. Penganut marapu percaya adanya Dewa-Dewa yang hidup di sekeliling mereka. Mereka juga percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal dunia masih tetap hidup, sehingga mereka memperlakukan arwah nenek moyang secara istimewa. Perlakuan istimewa tersebut antara lain diwujudkan dalam bentuk pemberian sesaji secara berkala yang dipersembahkan pada roh leluhur. Keberadaan ruang marapu di atap rumah sebagai tempat sesaji untuk para Dewa juga merupakan salah satu contoh kongkrit adanya kepercayaan pada roh leluhur.
Di antara ritme modernisasi yang menjangkau setiap sudut wilayah Nusantara saat ini, pendirian bangunan megalitik yang masih terus berlangsung merupakan salah satu kekayaan budaya tersendiri di Tana Toraja dan Sumba Barat. Batu-batu besar dikerjakan di tempat, kemudian ditarik beramai-ramai oleh masyarakat hingga mencapai tempat pendirian bangunan yang diinginkan yang dapat mencapai kiloan meter jaraknya. Inilah dedikasi mereka terhadap arwah para leluhurnya, yang tidak sirna setelah puluhan generasi. Ciri khas megalitik di Tana Toraja dan Sumba Barat semakin terasa dengan adanya upacara persembahan kepada arwah leluhur yang tercermin dari upacara-upacara ritual yang terus berlangsung hingga saat ini.
Tulisan ini bertutur tentang upacara tarik batu di Tana Toraja dan Sumba Barat dalam rangka mendirikan bangunan-bangunan megalitik, sebagai pengejawantahan sikap religi mereka terhadap arwah leluhur. Upacara ini sendiri merupakan rangkaian prosesual dari upacara penguburan tradisi megalitik, yang berlangsung secara eksotis, karena sudah jarang terjadi dan berlangsung di tengah masyarakat modern, yang dibalut pekat dalam tatanan budaya megalitik, budaya batu besar yang berasal dari akhir masa prasejarah. Sebelum menginjak pada upacara tarik batu tersebut, terlebih dahulu akan diuraikan jenis-jenis bangunan megalitik di kedua daerah tersebut, demi diperolehnya gambaran yang lebih intens tentang pemujaan arwah leluhur, benda-benda megalitik, dan upacara tarik batu dalam proses pendirian bangunan-bangunan batu besar tersebut.
B. Peninggalan Megalitik di Tana Toraja dan Sumba

Beberapa tinggalan khas budaya megalitik dapat ditemukan di Tana Toraja saat ini, seperti batu tegak (menhir), kubur batu, lumpang batu, umpak batu, dan tempayan batu (Soejono, 1984). Dari berbagai jenis tersebut, menhir yang dalam istilah lokal disebut simbuang merupakan tinggalan yang mendominasi temuan megalitik di Tana Toraja. Simbuang didirikan dalam rangkaian upacara penguburan sebagai lambang si mati sekaligus sebagai monumen agar generasi penerus tetap menghormati dan melanjutkan tradisi mengagungkan para leluhur.
Bentuk menhir umumnya persegi panjang atau bulat oval dan meruncing diatasnya. Bentuk tersebut ada yang diperoleh secara alami, namun kebanyakan dibentuk dengan cara dipahat sampai menjadi bentuk yang diinginkan. Menhir di Toraja hampir selalu berada di rante, yakni sebuah tempat khusus yang diperuntukkan sebagai tempat upacara kematian satu marga. Setiap keluarga besar memiliki rante masing-masing, sehingga rante sering dianggap sebagai perkampungan kecil. Rante menjadi bagian integral dari tiga komponen penting dalam pemukiman tradisional Toraja, yaitu rante (tempat upacara), liang (kuburan) dan tongkonan (rumah adat). Setiap upacara kematian harus dilakukan di rante agar arwah si mati dapat mencapai kesempurnaan. Di tengah hiruk pikuk modernisasi, orang Toraja tetap setia menjalin hubungan baik dengan arwah nenek moyangnya, demi menjaga keharmonisan hidup, di dunia dan akherat.
Di lain pihak, tinggalan-tinggalan megalitik di Sumba Barat sebagian besar berwujud kubur-kubur batu yang setidaknya terbagi menjadi lima tipe yakni kubur batu terbuat dari monolit batu berbentuk bejana (kabang), peti kubur batu yang tersusun dari lempengan-lempengan batu bertutup ganda (kuru kata), peti kubur batu yang tersusun dari lempengan-lempengan batu bertutup tunggal (kuru lua), kubur dalam tanah yang diberi tutup batu datar (watu manyoba), dan peti kubur batu berkaki/dolmen (watu pawesi). Semua jenis batu kubur di Sumba Barat selalu terdiri dari wadah dan tutup kecuali watu manyoba dimana wadah kubur berupa liang tanah. Dalam kepercayaan Sumba Barat, wadah kubur melambangkan perempuan sementara tutup kubur melambangkan laki-laki.
Kubur batu di Sumba Barat hampir selalu berasosiasi dengan rumah tempat tinggal, untuk menjaga kedekatan mereka dengan anggota keluarga yang telah meninggal. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya anggapan bahwa roh leluhur dapat melindungi keluarganya yang masih hidup. Letak kubur yang umumnya di depan rumah juga menjadikan keluarga yang masih hidup senantiasa teringat kepada leluhurnya yang telah meninggal dan memudahkan mereka untuk mengirim doa dan sesaji. Tata letak peti kubur batu di Sumba Barat umumnya membentuk pola linear (memanjang dengan orientasi utara-selatan, barat-timur), maupun lingkaran (sirkular) dimana pada bagian tengahnya selalu terdapat tempat khusus untuk pemotongan hewan korban dan kaduwatu yang berfungsi sebagai pusat areal suci (Prasetyo, 1986). Sebuah kubur batu umumnya ditempati sepasang suami istri, terkadang disertai dengan cucunya. Jenazah seorang anak tidak boleh dikuburkan bersama orang tuanya, hal ini didasari pandangan bahwa pada waktu hidup seorang anak yang telah dewasa tidak boleh tinggal sekamar dengan orang tua, sehingga setelah meninggal juga tidak boleh dimakamkan dalam kubur yang sama.
Kubur-kubur batu di Sumba Barat dibuat dengan teknik pengerjaan yang rumit dan teliti. Beberapa jenis kubur batu, terutama watu pawesi, umumnya dipahat dengan sangat halus dan memiliki pola hias raya, yang masing-masing memiliki makna filosofi sendiri. Hiasan marangga yang berbentuk perhiasan dada dan mamuli yang berbentuk seperti vagina yang distilir melambangkan kesuburan. Hiasan kerbau dan babi melambangkan status sosial, hiasan gong (katala) melambangkan kekayaan, hiasan kura-kura melambangkan kaum bangsawan. Hiasan buaya, anjing dan kuda melambangkan penjaga kubur (Kapita, 1976). Hiasan-hiasan lain berupa geometris dan sulur-suluran memiliki makna keindahan.
C. Upacara Tarik Batu

Masyarakat Tana Toraja dan Sumba mengenal upacara tarik batu sebagai bagian dari tradisi menghormati leluhur. Di Tana Toraja, obyek megalitik yang ditarik adalah batu monolit calon sebuah menhir, yang didirikan sebagai representasi (simbol) si mati. Sementara di Sumba Barat, obyek megalitik yang ditarik adalah kubur batu yang merupakan tempat bersemayam abadi jasad leluhur.
Bahan batu diperoleh dengan cara penggalian di tempat tertentu di Tana Toraja dan Sumba Barat, yang memang kaya akan berbagai jenis batuan. Setelah menemukan sumber batuan yang tepat, beberapa pekerja akan menatah dan memahat batu tersebut di tempat aslinya sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Pemahatan sebuah batu menjadi menhir di Tana Toraja relatif lebih sederhana dibanding pemahatan sebuah batu kubur di Sumba Barat yang bisa memakan proses berbulan-bulan sampai membentuk batu kubur yang indah. Lamanya pengerjaan memahat menhir maupun batu kubur tergantung besar kecilnya ukuran dan pola hiasnya. Setelah pembuatan menhir atau kubur batu selesai, langkah selanjutnya adalah penarikan batu dari lokasi asal menuju rante di Tana Toraja atau menuju rumah sang pemilik kubur di Sumba Barat.
Prosesi penarikan menhir maupun kubur batu dari tempat asal menuju lokasi baru merupakan fenomena yang sangat menarik. Ratusan atau bahkan ribuan orang bekerja secara gotong royong menarik batu yang beratnya bisa mencapai puluhan ton. Mereka bekerja tanpa imbalan uang, namun penyelenggara upacara berkewajiban menyediakan konsumsi makanan selama upacara berlangsung dan menyediakan hadiah daging bagi para penarik batu.
Tarik batu di Tana Toraja
Orang Toraja percaya, bahwa sebelum resmi dimakamkan, orang yang telah meninggal dianggap sakit dan dibaringkan dalam tempat tidur. Jenazah kemudian disuntik formalin agar tidak membusuk, dimasukkan dalam peti mati dan disimpan di kamar. Setelah beberapa waktu, jenazah baru “dikuburkan”. Upacara penguburan, yang disebut rambu solok merupakan hal yang sangat penting dalam siklus kehidupan warga Toraja yang terkesan mewah dan eksotis. Solok memiliki arti harafiah matahari yang condong ke barat. Hal ini berarti, upacara rambu solok hanya boleh dilaksanakan setelah jam duabelas siang, saat matahari mulai condong ke barat, sebagai lambang dari kematian. Orang Toraja menganggap, seseorang telah benar-benar meninggal apabila telah dilaksanakan upacara rambu solok untuk menyempurnakan perjalanan arwah si mati ke alam baka yang kekal.
Batu yang tinggi dan panjang dari pegunungan di Tana Toraja, adalah batu yang cocok dibuat menhir. Sekali batu dipilih, keramatpun segera masuk ke dalamnya. Ada batu yang secara alami langsung dijadikan menhir tanpa proses lanjut, namun ada juga yang harus dipahat dan dihaluskan di lokasi asal sebelum ditarik ke rante. Saat upacara tarik batu (meriuk batu) hampir seluruh kerabat dan warga desa terlibat dalam acara tarik batu yang dipimpin oleh seorang pemangku adat. Kerbau pun segera disembelih, darahnya ditampung pada bambu, dan dipercikkan pada batu yang akan ditarik. Ini adalah simbol meminta ijin pada roh sang penguasa batu sekaligus memberi “jiwa” pada batu, agar batu dapat ditarik dengan lancar.
Diletakkan di atas landasan kayu yang bergulir, prosesi pendirian menhirpun segera dimulai. Batu kemudian ditarik para lelaki secara bergantian, dalam formasi barisan. Jumlah penarik batu tergantung ukuran batu, semakin besar dan berat batu yang ditarik, semakin banyak pula jumlah tenaga yang dibutuhkan. Sepanjang perjalanan, iring-iringan penarik batu meneriakkan yel-yel pembangkit semangat yang biasanya berupa nyanyian atau syair-syair. Para wanita mengiringi rombongan penarik batu sambil membagikan minuman dan makanan kecil.
Sebagai gambaran, tarik batu menhir berukuran kecil yang berbobot kurang dari 3 ton dapat dilakukan oleh sekitar dua ratus orang dalam waktu 2 jam sejauh 3 km. Sesampainya menhir di rante, batu kemudian ditanam secara berdiri. Pemimpin upacara melayangkan doa dan meresmikan batu tersebut sebagai menhir (simbuang) orang yang diupacarakan. Sang pendiri akan kekal menyatu dengan menhir. Keberadaan menhir simbuang sangat penting dalam suatu proses daur hidup manusia Toraja dan merupakan simbol status sosial, yang jelas menunjukkan kelas bangsawan orang yang mendirikan dan memiliki menhir tersebut. Batu tegak itu adalah pesan leluhur kepada para keturunannya di Tanah Toraja, bumi sang orang-orang gunung, yang akan tetap hidup subur di setiap sanubari.
Dalam suatu kepercayaan Toraja, tidak jarang orang yang masih hidup sudah memilih batu untuk dijadikan menhir pada saat upacara penguburannya, karena dia menginginkan menhir terbaik yang dapat merefleksikan dirinya. Berbeda dari daerah Sumba Barat, acara pembagian daging di Toraja dilakukan sebelum acara tarik batu. Dari bala’kaan, Tominaa membagi daging secara tradisional yang merupakan simbol penegasan hubungan darah. Sehingga tujuan pembagian daging adalah untuk mempertegas silsilah atau memperkenalkan hubungan kekerabatan atau mengingatkan asal dan ikatan kekeluargaan mereka.
Tarik batu di Sumba Barat
Di Sumba Barat, persiapan upacara tarik batu dilakukan lebih rumit dan memerlukan persiapan matang karena obyek yang ditarik adalah batu kubur yang berukuran besar dan sangat berat. Di lokasi asal batu, beberapa tukang kayu yang dalam istilah lokal disebut monipelu membuat kuda-kuda (tenan) berupa dua gelondong kayu bulat utuh yang ukurannya disesuaikan dengan batu yang akan ditarik. Kedua ujung kayu disatukan dan dibentuk menyerupai kepala kuda. Walaupun tenan berbentuk kepala kuda, namun secara simbolis tenan melambangkan perahu sebagai kendaraan yang akan membawa kubur batu. Bahan kayu yang digunakan terbuat dari kayu kameti yang bersifat lentur dan tidak mudah patah.
Di atas tenan diberi kerangka kayu berbentuk empat persegi panjang mengelilingi batu, sebagai tempat pegangan paaung watu dan untuk meletakkan paji dan bendera. Paji adalah bentangan kain berwarna putih, sedangkan bendera (regi khobu) berupa kain-kain tenun motif asli Sumba yang merupakan sumbangan dari para kerabat. Paji dan bendera memiliki makna untuk ”memayungi” kubur agar selalu dingin dan teduh. Di Sumba, sesaat sebelum acara tarik batu dimulai, pemimpin proses tarik batu (paaung watu), memberikan santan kelapa (way malala) yang dipercikkan ke batu, sebagai simbol penyucian batu agar batu lebih mudah untuk ditarik. Di atas batu juga disiapkan gong (katala) dan beduk (laba) sebagai alat musik untuk memberikan semangat kepada para penarik batu. Saat penarikan batu, sebagai alas digunakan balok-balok kayu bulat yang disebut kalang sebagai landasan yang berfungsi sebagai roda. Kayu-kayu bulat dengan diameter bervariasi tapi memiliki panjang rata-rata empat meter diletakkan di sepanjang jalan yang akan dilalui batu. Alas kayu itu tidak harus menutupi seluruh jalan, karena kayu yang telah dilalui akan diambil dan dipasang kembali di depan hingga batu mencapai tempat pendirian kubur.
Tali untuk menarik batu umumnya terdiri dari 10 buah dengan tiga jenis bahan yakni tali plastik (tambang), tali dari sulur pohon tuba (tuwa) dan rotan (uwi). Masing-masing tali ditarik oleh 50-100 orang, sehingga total penarik batu setidaknya melibatkan ratusan orang. Apabila dihitung dengan orang-orang lain yang bergantian menarik, setidaknya sebuah upacara tarik batu besar diikuti oleh seribu orang. Masing-masing tali memiliki fungsi, tali yang berada di ujung luar sebelah kanan atau kiri berfungsi sebagai kemudi untuk mengatur arah batu, sementara tali lain berfungsi untuk menarik batu.
Peran paaung watu sangat dominan, karena bertugas mengatur jalannya upacara sambil senantiasa meneriakkan kata hutaya (semangat) setiap saat. Terkadang untuk membangkitkan tenaga, dia meneriakkan kata sindiran seperti mangumammi (perempuan kamu!), yang dijawab spontan oleh massa, sambil mengerahkan segenap tenaga untuk menarik batu, dengan teriakan munima (kami laki-laki!). Paaung watu adalah sang pemimpin dan salah satu peletak sukses dalam upacara tarik batu, oleh karenanya, dia harus memiliki kemampuan untuk mengatur dan memberi semangat kepada massa penarik batu yang jumlahnya ribuan. Di sepanjang jalan yang dilalui tersedia kendaraan yang membawa air minum kemasan maupun air minum yang berasal dari mata air. Secara berkala mereka juga disiram air untuk menghindari dehidrasi, karena panas matahari di daerah Sumba Barat sangat terik.
Dalam perjalanan menuju rumah si pemilik batu, tidak selamanya tarik batu berjalan lancar. Terkadang massa tidak dapat selalu diarahkan sehingga arah batu menjadi melenceng bahkan tidak jarang batu bisa miring atau terbalik. Belum lagi halangan lain berupa rusaknya tenan atau kayu-kayu kalang karena tidak kuat menahan beban batu. Jika halangan tersebut dirasa sangat mengganggu sehingga tidak bisa dilanjutkan, maka acara tarik batu akan ditunda pada hari lain. Hal ini sangat merepotkan karena sulit sekali mengumpulkan ratusan atau ribuan orang dalam hari yang sama.
Jika perjalanan tarik batu lancar, sebuah kubur batu berbobot 12 ton dapat ditarik seribu orang dalam waktu tujuh jam, dalam jarak 2,2 kilometer. Setelah batu kubur berada di depan rumah si pemilik, acara selanjutnya menerima secara resmi sumbangan hewan-hewan dari para kerabat yang umumnya berupa kerbau dan babi. Jika kerbau dan babi yang disumbangkan berjenis kelamin jantan, maka para penerima tamu akan membunyikan alat musik secara bertalu-talu. Sebaliknya jika hewan yang disumbangkan berjenis kelamin betina, alat musik tidak dibunyikan.
Setelah dilakukan pencatatan terhadap semua sumbangan yang diterima, acara berikutnya adalah kelar lima, yakni pembagian daging hewan kepada seluruh masyarakat yang telah bergotong royong menarik batu. Secara harfiah kelar lima memiliki makna : membersihkan tangan yang luka karena menarik batu. Acara kelar lima diadakan oleh keluarga sebagai ungkapan terima kasih kepada setiap orang yang telah terlibat secara aktif pada acara tarik batu. Berbeda dengan daerah lain, pemotongan hewan di Sumba dilakukan dengan cara ditikam dengan tombak dan kemudian tombaknya dilepaskan. Dari leher binatang tersebut akan menetes darah sampai binatang tersebut tergelepar mati kekurangan darah.
Pemilik acara juga wajib menyediakan makanan untuk segenap penarik batu dan tamu-tamu yang hadir menyaksikan acara tarik batu. Menu utama adalah nasi dan daging babi atau kerbau. Setelah acara tarik batu selesai, belum berarti ritual persiapan kubur selesai. Pada umumnya, saat ditarik, kubur batu belum diberi lubang jenazah dan belum dipasang kaki-kaki kubur jika batu kubur berbentuk watu pawesi. Lubang jenazah baru akan dibuat beberapa bulan setelah acara tarik batu selesai. Biasanya pada saat itu sekaligus didirikan kaki-kaki batu untuk menyangga kubur utama. Pekerjaan selanjutnya adalah memberikan hiasan berupa menhir (kaduwatu) dan memahat pola hias sesuai yang dikehendaki.
Bagi orang Sumba, menyiapkan kubur batu sebagai tempat peristirahatan terakhir merupakan satu kebutuhan. Sungguh merupakan satu kebahagiaan yang sempurna, jika pada saat hidupnya, orang Sumba melihat secara langsung persiapan dan pembuatan makam sebagai tempat istirahat abadinya kelak. Sebuah kubur batu yang megah dipercaya menjadi semacam kendaraan yang akan mengantar si mati ke dunia yang kekal. Melihat sebuah kubur yang kelak akan dipakai sebagai tempat jenazahnya, mendatangkan rasa nyaman dan prestise tersendiri, terlebih jika kubur tersebut terbuat dari monolith besar yang untuk menarik dan membuatnya menjadi kubur memerlukan biaya yang sangat besar.

D. Tradisi dari Sebuah Status Sosial

Walaupun sampai sekarang belum ada pertanggalan absolut pasti tentang kapan budaya megalitik mulai hadir di Tana Toraja dan Sumba Barat, namun dalam konteks budaya prasejarah, kubur-kubur batu tersebut merupakan kubur dari budaya megalitik muda, yang berkembang pesat di Indonesia sejak menjelang tarikh Masehi. Eksistensinya jelas merupakan tradisi tersendiri dari sebuah tata cara penguburan dari masa prasejarah, khususnya pada masa perundagian. Ciri-ciri budaya megalitik yang berintikan pemujaan kepada arwah leluhur (ancestor worship) itu tidak hanya terlihat dari pendirian dan pemakaian kubur-kubur batu, tetapi juga dapat dilihat dalam keseharian mereka. Rambu solok dan marapu yang masih dianut sebagian besar orang Toraja dan Sumba saat ini, merupakan kepercayaan asli yang bertumpu pada pemujaan arwah nenek moyang, meyakini roh-roh leluhur sebagai penghubung antara mereka yang masih hidup dengan Sang Pencipta. Inilah inti dari pendirian kubur-kubur batu tersebut.
Pada masyarakat yang mengagungkan para leluhur, upacara kematian menduduki tempat yang istimewa. Mereka tidak segan mendedikasikan harta benda yang dimiliki untuk memuliakan arwah leluhur. Memotong banyak hewan kurban seperti kerbau dan babi hutan, telah menjadi sesuatu yang esensi, yang diyakini akan memperlancar perjalanan arwah ke alam baka. Di Tana Toraja, ketentuan adat menyatakan bahwa tidak semua orang berhak mendirikan simbuang, kecuali kaum bangsawan, yang dilakukan pada saat upacara kematian tingkat rapasan sapurandanan, yaitu upacara kematian tingkat tertinggi. Upacara ini mensyaratkan memotong sekurang-kurangnya 24 ekor kerbau, satu ekor di antaranya harus dipotong menjelang acara tarik batu. Sehingga terkadang terdapat sebuah ironi, misalnya keluarga bangsawan, namun apabila secara ekonomi dia tidak kaya, maka hanya sanggup menyelenggarakan upacara penguburan yang sederhana. Pendirian menhir simbuang di Tana Toraja yang merupakan bagian dari rangkaian upacara rambu solok adalah sebuah contoh refleksi dari almarhum, dimana menhir tersebut diberi nama sesuai nama pemiliknya. Menhir simbuang adalah wakil si mati di dunia, sehingga si mati seakan-akan tetap berada di tengah-tengah kerabat, ketika arwahnya telah abadi di alam baka. Dari fungsi praktis untuk mengikat hewan kurban, akhirnya menhir simbuang menjelma menjadi simbol status sosial bagi pendirinya.
Upacara tarik batu, baik di Tana Toraja maupun Sumba merupakan refleksi status sosial si mati, karena memakan biaya yang amat besar. Hanya keluarga bangsawan dan memiliki kekayaan materi berlebih yang mampu menyelenggarakan upacara tersebut. Selain itu, penyelenggara acara hampir pasti merupakan tokoh yang disegani di daerahnya, sehingga dapat dengan mudah mengumpulkan ratusan bahkan ribuan orang untuk terlibat dalam acara tarik batu. Terdapat dua sisi yang cukup signifikan dalam setiap upacara tarik batu tersebut. Selain sebagai status sosial sang penyelenggara, upacara tersebut juga merupakan “dharma” warga setempat dalam dedikasi mereka kepada arwah leluhur. Setiap anggota masyarakat, tanpa ada paksaan, akan bekerja bersama-sama dalam mendirikan bangunan megalitik. Rasa solidaritas adalah inti dari upacara tarik batu ini, karena mereka beranggapan bahwa dengan cara seperti ini akan diperoleh ketentraman dan kesuburan yang dilimpahkan oleh nenek moyangnya (Atmosudiro, 1981). Oleh karena itu, upacara tarik batu identik dengan biaya upacara yang sangat besar, yang hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang kaya dengan status sosial tinggi. Semakin raya upacara ini dilaksanakan, semakin tinggi pula status sosial yang akan didapat sang penyelenggara.

Sumber Rujukan :

Atmosudiro, Sumiati, 1981. “Bangunan megaltik, salah satu cerminan solidaritas Masa Perundagian”, Berkala Arkeologi II (1). Yogyakarta : Balai Arkeologi Yogyakarta.
Kapita, Oe, H. 1976. Sumba dengan adat Istiadatnya. Jakarta
Kapita, Oe.H. 1976. Sumba di Dalam Jangkauan Jaman.Waingapu. BPK Gunung Mulia.
Prasetyo, Bagyo. 1986. “Tata Letak Tempat Penguburan pada Pemukiman Masyarakat Tradisi Megalitik Sumba Barat: Suatu Tinjuan Etnoarkeologi”. Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. Jakarta. Proyek Penelitian Purbakala Jakarta.
Soejono, R.P. (ed) 1984. Sejarah Nasional Indonesia I, Jakarta. Balai Pustaka
Read More..

Bahasa Sumba, Satu Suku Beragam Logat



wacananusantara.org | Bahasa Sumba, Satu Suku Beragam Logat
Suku Sumba adalah masyarakat di Pulau Sumba yang menduduki wilayah Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur. Sebagai suku yang berdiam di Nusa Tenggara Timur dan tergolong ke dalam gugusan Austronesia, suku Sumba memiliki bahasa daerah yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia.
Dalam perkembangannya bahasa daerah Sumba membentuk beberapa logat atau dialek. Bahasa Sumba mempunyai suatu ciri karakteristik, yaitu bersifat setangah vocal. Hanya sebagian dari perbendaharaan kata yang akar katanya merupakan huruf mati. Dengan huruf-huruf, /h/, /k/, /l/, /ng/, /r/, /s/, /t/. Semua akar kata yang berhuruf mati itu kemudian berubah menjadi huruf hidup dengan tambahan aksara /u/, /0/, dan /a/.  Pembeda dari dialek Sumba Barat dan Timur adalah dalam pelafalan. Lafal dalam  logat Sumba Barat ialah /o/ dan /a/. Sementara pelafalan dalam logat Sumba Timur adalah /u/.
Berikut contoh lafal dari berbagai daerah di Sumba:
Sumba Barat Sumba Timur Arti
Logat Kodi Loga Mamboro Logat Kambera Bahasa Indonesia
bandololepetopato banjalalapitapata bijalulapitupatu jalan gunung melipat empat
Logat Sumba Barat yang paling populer–dalam arti bahwa logat itu dapat dipahami, dimengerti oleh sebagian besar penduduk yang menghuni berbagai daerah Sumba Barat–ialah logat wewewa. Tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa di seluruh daerah Sumba Barat hanya terdapat logat wewewa saja. Di Sumba Barat terdapat beberapa logat lokal, yaitu; logat kodi, logat lamboya, logat mamboro, logat wanokak, logat laora, logat laoli, logat ana kalang.
Adapun logat Sumba Timur yang paling populer ialah ligar kambera. Malah logat kambera ini juga dipahami, dimengerti oleh sebagian penduduk Sumba Barat. Logat Kambera juga dipahami dan dimengerti oleh penduduk daerah Ana Kalang dan Wanokak.
Bahkan penduduk di daerah Ponduk, dapat memahami, mengeri logat Wewewa dan logat Kambera secara aktif, dengan mengucapkan kedua logat itu secara bersamaan dalam sebuah dialog.
Lafal logat Kambera, sebagian besar tidak mengenal palatal, yaitu aksara /nj/, /j/, /ny/. Aksara /s/ dalam logat Kambera diucapkan sebagai aksara /h/. Contoh kata kabisu diucapkan [kabihu]. Dalam logat Mamboro, logat Laoli, logat Ana Kalang, dan logat Lamboya, aksara /s/ tidak berubah dalam ucapan.
Berbeda hal-nya dengan logat Wewewa, dan logat Laora, aksara /s/ diucapkan sebagai aksara /z/. Begitu pun dengan logat Kodi yang mengucapkan aksara /s/ menjadi /h/, seperti halnya dalam ucapan logat Kambera. Bahasa Sumba tidak mengenal kelamin kata dan juga tidak mengenal kelas kata.
Berikut perbedaan logat masing-masing daerah:
Sumba Barat Sumba Timur Arti
Logat Kodi Loat Wawewa Logat Ana Kalang Logat Kambera
HuhuKabihu susukabisu zuzukabizu huhukabihu suku, kelompok kekerabatan (clan)
Hubungan sejarah Sumba di masa lampau, dengan sendirinya memperkaya perbendaharaan kata-kata dalam bahasa Sumba. Bahasa-bahasa Nusantara yang banyak memperkaya perbendaharaan kata-kata dalam bahasa Sumba, antara lain; bahasa-bahasa Sulawesi, Makassar-Bugis, bahasa Jawa dan bahasa melayu yang lebih tua. Bila dilihat dari hubungan sejarahnya, bahasa-bahasa tua dari luar daerah tersebut masih tetap hidup dalam bahasa Sumba.

Sumber  Rujukan:
Soelarto, B. Pustaka Budaya Sumba. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Pos-Kupang, “Orang Sumba Lupa Bahasa Ibu”, 12 Januari 2011 <http://ilovesumba.blogspot.com/2011/01/orang-sumba-lupa-bahasa-ibu.html> [2012]
Read More..

Kerajaan Berau (abad ke-15) di Kalimantan Timur.



wacananusantara.org | Kerajaan Berau (abad ke-15) di Kalimantan Timur.
Kerajaan Berau merupakan institusi pemerintahan yang pernah berdiri di Kalimantan pada abad ke-15. Kemudian terpecah dua pada awal abad ke-19, menjadi Kesultanan Sambliung dan Kesultanan Gunung Tabur. Lingkup wilayah yang dahulu pernah berada di bawah kerajaan Berau, kini menjadi wilayah administratif Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Berdirinya kerajaan ini diprakarsai oleh para imigran Melayu asal Sumatera.
Menurut J. Skrom Kontler, Berau, dalam Memorie Overgave en Overname 31 Juli 1940, asal Barrau itu adalah sebagai berikut :
“Penduduk asli Berau dahulu disebut orang Banuwa. Mereka berasal dari keturunan bangsa Melayu yang membuat koloni atau pemukiman beberapa abad lampau. Tidak dapat dipungkiri bahwa dahulu Berau di bawah pengaruh Majapahit”.
DR. Ahmad Ramli sangat tertarik tentang masalah ini. Ia mencoba dengan metode bleodgroepbepaling (ketentuan golongan darah). Melalaui cara ini, ia berhasil dan membuat kesimpulan bahwa orang Berau berasal dari Deutro Melayu-Sumatera (Melayu – Muda – Sumatera). Jika diperhatikan bahasa lisan dalam percakapannya, terdapat kata-kata dalam bahasa suku lain, akan tetapi pada umumnya bahasa Berau sama dengan bahasa melayu. Walaupun pada beberapa tempat, terjadi percampuran darah dengan orang Bugis, Solok, Basap dan lain-lain. Tetapi orang Berau masih tetap mempertahankan identitas (jati dirinya), terutama raja-raja dan para bangsawan yang asli keturunan Malayu.
Kenyataan ini membenarkan sebuah teori bahwa pada abad ke 7 sampai abad ke 13, kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya. Jalur perdagangan antara Timur Tengah dengan Negeri Cina melalui Sriwijaya. Pedagang-pedagang Arab, Parsi, India dan Cina, menjadikan Selat Malaka, Pantai Timur Sumatera, Pantai Barat, dan Pantai Timur-Utara Kalimantan sebagai jalur pelayarannya. Banyak bandar-bandar dan kota-kota kecil di pantai Timur Sumatera dan di pesisir pulau Kalimantan menjadi besar sehingga kehidupan rakyatnya bertambah makmur.
Sejumlah peneliti sejarah mengemukakan, Kerjaan Berau lahir dari penggabungan lima “nagari” (disebut juga “banuwa”) dan dua “kampung”, yakni wilayah-wilayah administratif yang berlaku pada zaman itu. Nagari-nagari dan kampung-kampung tersebut adalah Nagari Marancang, Nagari Kuran, Nagari Bulalung, Nagari Sawakung, Nagari Pantai, Kampung Bunyut, serta Kampung Lati. Atas kesepakatan tujuh wilayah tersebut, ditunjuk Baddit Dipppatung dari Kampung Lati, sebagai raja pertama Kerajaan Berau. Sejak berdirinya, kerajaan ini hidup dengan aman dan tentram, dan perlahan wilayah yang dikuasainya pun semakin luas. Sebagai hasil dari penaklukan sejumlah kerajaan lain, di antaranya Kerajaan Bulungan, Tidung, Sabah, Alas, dan Tungku.
Selanjutnya, Kerajaan Berau juga mengalami periodesasi Islam. Ajaran Islam mulai masuk dan berkembang di lingkungan Kerajaan Berau, diperkirakan pada era pemerintahan raja ke-6, yakni Aji Temanggung Barani (1557-1589). Pada masa tersebut, penerapan beberapa hukum islam mulai diberlakukan, meskipun Islam belum menjadi agama wajib Kerajaan. Ajaran Hindu dan Budha, yang merupakan bawaan dari kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, masih sangat kuat dianut oeh sebagian besar penduduk Berau.
Pada pemerintahan Sultan Muhammad Hasanuddin (1731-1767) dan Sultan Zainal Abidin (1779-1800), Islam menjadi agama mayoritas penduduk Berau. Gelar “Sultan” yang disandang raja (sebagai pengganti “Aji”) merupakan penanda bahwa Islam menjadi agama resmi kerajaan.
Seperti juga yang dialami kerajaan lainnya di Nusantara, Kerajaan Berau juga tidak terlepas dari upaya intervensi Belanda. Pada 1671, pihak Belanda mengirimkan utusannya yang bernama Paulus de Beck dan Chialloup de Noorman untuk membuka hubungan dagang dengan Kutai dan Berau. Namun di Berau, usaha Belanda itu tidak membuahkan hasil lantaran sikap raja Berau yang antipati terhadap Belanda. Baru pada 1833, pihak asing berhasil masuk ke wilayah Berau, setelah Kerajaan Berau terpecah dua sebagai pemerintahan yang berdiri sendiri-sendiri.
Bibit perpecahan dalam lingkungan keluarga kerajaan sejatinya sudah dimulai setelah era kekuasaan Aji Dilayas, raja Berau ke-9. Ketika itu, sang Raja yang beristri banyak memiliki banyak keturunan. Kemudian dua di antaranya sama kuat sebagai kandidat pengganti raja, yakni Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Dalam memutuskan siapa yang berhak mengantikan ayah mereka, terjadi sejumlah perdebatan besar di kalangan keluarga kerajaan. Khawatir konflik akan semakin membesar, diambillah keputusan bersama, bahwa Kerajaan Berau akan dipimpin secara bergantian oleh keduanya dan oleh keturunan keduanya. Sebagai putra sulung, Pangeran Tua mendapat kesempatan memerintah sejak 1673 hingga 1700. Sementara adiknya, Pangeran Dipati memerintah sejak 1700 hingga 1731.
Kondisi ini terus berlangsung hingga akhirnya perseteruan yang terjadi di antara dua dinasti tidak bisa lagi damaikan. Pada 1800, Kerajaan Berau dibagi untuk dua keturunan. Keturunan Aji Pangeran Dipati, dengan pewaris tahta Sultan Gazi Mahyudi memperoleh wilayah di sebelah utara Sungai Berau serta wilayah kiri dan kanan Sungai Segah.
Sementara keturunan Aji Pangeran Tua, dengan pewaris tahta Raja Alam bergelar Sultan Alimuddin, mendapat wilayah di sebelah selatan Sungai Berau, serta di wilayah kiri dan kanan Sungai Kelay. Sultan Gazi Mahyudi kemudian mendirikan Kesultanan Gunung Tabur. Sementara Raja Alam mendirikan Kesultanan Sambaliung. Raja Alam dicatat oleh sejarah sebagai pemimpin yang gigih melawan Belanda, hingga akhirnya dia diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, karena perlawanannya.

Sumber Rujukan:
_________,2009. Historis asal-usul berau. (http://bumibatiwakkal.blogspot.com/2009/01/historis-asal-usul-berau.html)
__________. 2010. Kerajaan Berau. (http://melayuonline.com/ind/history/dig/374/kerajaan-berau, diakses pada 18 Desember 2012)
__________. 2009. Sejarah Singkat Berau. (http://hasbullah.blog.com/2009/05/25/sejarah-singkat-berau/, diakses pada 20 Desember, 2012)
_________, Kesultanan Berau (http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Berau)
_________,Sejarah Berau (http://sejarahberau.blogspot.com/2011/04/silsilah-kerajaan-berau-penjelasan.html)

Read More..

Tarawangsa, Alat Musik dari Tatar Parahyangan



wacananusantara.org | Tarawangsa, Alat Musik dari Tatar Parahyangan
Tarawangsa
Tarawangsa salah satu alat musik masyarakat Sunda. Keberadaannya telah disebut-sebut dalam naskah-naskah Sunda Kuno seperti Jatiraga dan Sewa ka Darma yang ditulis pada masa Kerajaan Sunda-Pajajaran masih berdiri tegak.
Kini, tradisi seni tarawangsa masih hidup di beberapa daerah Jawa Barat. Walau tinggal hitungan  jari. Sebutlah Rancakalong di Sumedang, Cipatujah di Tasikmalaya, dan di daerah-daerah tertentu di Bandung dan Banten.
Tarawangsa dan Jentreng
Tarawangsa merupakan alat musik kayu yang terdiri atas dua bagian. Tangkai penampang dawai dan badan (body) berbentuk kotak. Dawainya memiliki dua senar yang dimainkan oleh lengan kiri. Sementara penggeseknya dimainkan oleh tangan kanan. Adapun senar yang satu dan paling dekat dengan pemain dimainkan dengan cara digesek. Sedangkan senar satu lagi dipetik dengan jari telunjuk. Jenis kayu yang digunakan untuk membuat tarawangsa adalah kayu kemiri, jengkol, dadap, dan kenanga.
Tarawangsa tak berdiri sendiri. Ia merupakan ensemble yang ditemani oleh alat musik lain bernama jentreng’ Bentuknya seperti kecapi. Jentreng terbuat dari kayu dan terdiri atas tujuh dawai dan dimainkan dengan dipetik.
Sementara laras atau tangga nada yang digunakan dalam memainkan tarawangsa adalah pelog (tiap oktafnya terdiri atas lima, enam, atau tujuh nada yg jaraknya tidak sama). Disesuaikan dengan steman jentreng yang pelog (bernada da-mi-na-ti-la).
Asal Mula Tarawangsa
Sukar sekali melacak sejak kapan alat musik tarawangsa lahir di Tanah Pasundan, karena ketiadaan sumber tertulis mengenai hal tersebut. Namun, kita masih diuntungkan oleh sejumlah tradisi lisan yang hidup hingga kini yang mengisahkan asal mula tarawangsa. Salah satunya tradisi lisan masyarakat Rancakalong, Sumedang. Menurut versi lisan Rancakalong, seni tarawangsa telah ada sejak masa Kerajaan Mataram Kuno, sekitar abad ke-8 atau ke-9 Masehi.
Dikisahkan bahwa pada saat itu di Tatar Sunda belum ada bibit padi (sawah). Syahdan, sekelompok pemain musik jalanan alias pengamen dari Tatar Sunda, membawa berbagai alat tatabeuhan seperti celempung, rengkong, dan tarawangsa, tiba di wilayah Mataram (antara Jawa Tengah dan Yogyakarta kini). Sebuah negara dengan wilayah yang menghasilkan beras melimpah. Dari benak para pengamen ini lahir sebuah gagasan konyol namun revolusioner: mencuri benih padi.
Para pengamen pun mencoba menyembunyikan benih padi ke dalam celempung, alat musik pukul dari bambu. Namun, upaya penyembunyian ini gagal. Tak kehilangan akal, para pengamen ini mencoba memasukkan benih ke dalam rengkong, yakni pikulan untuk padi dari bambu (awi gombong). Akan tetapi, lagi-lagi usaha para pengamen ini gagal. Mereka terus mencari akal dan kemudian, seorang dari mereka yang bernama Eyang Sinapel atau Eyang Wisya Mangkunegara berhasil membawa benih padi dengan cara menyembunyikan di lubang tarawangsa. Usaha si eyang ini berhasil, mereka pun lalu pulang ke kampung halamannya di Rancakalong dengan membawa benih padi asal Mataram itu. Konon, sejak itu Tanah Sunda menjadi salah satu penghasil beras utama, selain Jawa.
Kisah di atas, selain mengisahkan hal ikhwal keberadaan tarawangsa pada awal sekali, juga memberitakan bahwa masyarakat Sunda pada masa tersebut (abad ke-8 dan ke-9) belum mengenal jenis padi sawah, melainkan hanya padi huma. Dalam versi cerita rakyat ini pada masa itu masyarakat Sunda membawa padi hasil panen mereka langsung ke rumah dengan bantuan rangkong. Budaya ladang dari masyarakat Sunda pun terlihat dari alat-alat musik yang mayoritas terbuat dari bambu.
Cerita rakyat lainnya dari Sumedang yang berkisah tentang asal mula Tarawangsa, ditemukan dalam laporan penelitian Yetti Setianingsih, dkk (2006). Ringkas cerita, seorang bernama Eyang Muhari mengalami mati suri karena penyakit yang diderita.  Ketika jenazahnya hendak dimandikan oleh orang-orang Rancakalong, datanglah Eyang Salia. Untunglah Eyang Salia datang tepat waktu. Ia menyuruh orang-orang tersebut untuk mengurungkan niatnya.
Eyang Salia kemudian mengamati tubuh Eyang Muhari. Ia menerawang dengan mata batinya. Eyang Salia yakin, bahwa Eyang Muhari masih dapat hidup kembali. Setelah ditunggu dua jam, Eyang Muhari bangun. Ia begitu heran melihat banyak orang berkumpul di rumahnya.
Eyang Muhari lalu bercerita tentang apa yang dialaminya ketika mati suri. “Aku bermimpi bertemu dengan seorang tua berjenggot panjang. Orang tua tersebut menyuruhku untuk melakukan apa yang dikatakannya”. Apa yang diceritakannya tersebut merupakan cikal bakal kesenian Tarawangsa. Orang berjenggot itu memberikan sebagian tata cara melaksanakan kesenian Tarawangsa.
Cerita rakyat di atas, jelas lebih tua dari kisah sebelumnya, (para pengamen Sunda ke Mataram). Cerita dari laporan penelitian Yetti Setia Ningsih, dkk ini mengisahkan ihwal inspirasi penciptaan Tarawangsa. Namun sayang dalam kisah tersebut tidak terdapat tahun kejadian “Mati Suri”-nya Eyang Muhari.
Bukan suatu kebetulan jika wilayah-wilayah lain di Jawa Barat memiliki tradisi lisan serupa dalam versi yang belum tentu sama persis. Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai sejarah lahirnya tarawangsa.
Persembahan kepada Sanghyang Sri
Tarawangsa diperagakan saat digelarnya perayaan hasil panen dan diperuntukkan kepada Sanghyang Pohaci Sri, makhluk langit penguasa padi. Dalam perayaan ini, para penari yang terdiri atas sejumlah lelaki dan perempuan, turun ke gelanggang dengan diiringi ensemble tarawangsa dan jentreng.  Mereka menari dengan pola tak beraturan, karena memang musik tarawangsa ini tidak menuntut tarian dengan pola tertentu. Prosesi tarawangsa dipimpin oleh saehu atau sesepuh adat, dengan sepasang patung lelaki dan perempuan perwujudan Aki Balangantrang dan Nini Pohaci, wajib dihadirkan.
Alat Musik Kahyangan
Kata tarawangsa sudah disebut-sebut dalam sejumlah naskah berbahasa dan beraksara Sunda Kuno seperti Jatiniskala (Jatiraga). Dalam naskah-naskah ini disebutkan bahwa alat tarawangsa diperdengarkan di alam kahyangan. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan teks Jatiniskala berikut:
Yata nira nu mangih / ning bumi kumirincing / Rari sada tatabeuhhan / ri aci bemiring kumirinycing / kumarenycang kumarenycong / rari ti nu rari aci kwaswar(r)anan / hya(ng) gending (gending) narawangsa / kaamsuh ku deneng pawana (Maka dialah yang menemukan, dunia gemerincing. Ramai suara bunyi-bunyian, dalam pusat dunia gemerincing, kumarencyang-kumarenycong, lebih ramai daripada pusat keramaian di bawah, gamelan keramat dibunyikan diiringi tarawangsa, tersebar oleh hembusan angin).
Selain tarawangsa, ada sejumlah atal musik lain yang disebutkan oleh sejumlah naskah Sunda Kuno seperti Para Putra Rama dan Rawana, Sri Ajnyana, Bujangga Manik. Mereka adalah goong (gong) kuning, goong jawa, gending (gendang), sarunay (seruling), gangsa (gamelan perunggu, canang), caning,  karinding,  dan kacapi, di mana sebagian alat musik tersebut, terutama alat pukul (tatabeuhan), sering diperdengarkan di alam kasorgaan dan kahyangan.

Sumber Rujukan
Noorduyn, J. dan A. Teeuw. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya.
Yetti Setianingsih, dkk. 2006. Aspek Didaktis dalam Teks Cerita Sastra Lisan di Kabupaten Sumedang. Laporan Penelitian. Fakultas Sastra Unpad.
“Jentreng Tarawangsa: Menari untuk Dewi Padi”. Diunduh 22 Oktober 2011. Dari http://berita.liputan6.com/read/331218/jentreng-tarawangsa-menari-untuk-dewi-padi
Read More..

Marapu: Ajaran dan Kepercayaan Leluhur Masyarakat Sumba




wacananusantara.org | Marapu: Ajaran dan Kepercayaan Leluhur Masyarakat Sumba
Sumba ternyata bukan sekadar pulau dengan hamparan bukit-bukit dan padang sabana yang terlihat hijau, subur selama musim hujan dan akrab dengan ringkikan kuda sandel. Juga, bukan sekadar tempat yang menawan mata ketika kaum pria mempertontonkan kemahiran berkuda, dengan tubuh duduk tegap di punggung kuda menggiring ternak gembalaannya. Pulau seluas ± 11.500 km2 ini dihuni oleh sekitar 350.000 orang, menyimpan warisan budaya dari zaman megalitikum dan kepercayaan mereka yang mengagumkan.
Kepercayaan Marapu adalah “keyakinan hidup” yang masih dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba yang masih menganut kepercayaan Merapu atau “ajaran para leluhur” senantiasa melakukan upacara dan perayaan ritual untuk mengiringi berbagai sendi kehidupan mereka. Kepercayaan ini dilambangkan dengan ritual, perayaan upacara, dan pengorbanan untuk penghormatan kepada sang pencipta juga arwah para leluhur mereka. Merapu dalam bahasa Sumba berarti “Yang dipertuan atau dimuliakan” terutama untuk menyebut arwah-arwah para leluhur mereka.
Soeriadiredja seorang ‘ethnographer’ yang memiliki perhatian pada budaya Sumba menjelaskan bahwa secara Hirarki, Merapu terbagi menjadi dua golongan, yaitu Merapu dan Merapu Ratu. Merapu yang pertama merupakan arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan). Sedangkan merapu Ratu ialah merapu yang dianggap turun dari langit dan merupkan leluhur dari para Merapu lainnya.
Kehadiran para marapu bagi masyarakat sumba di dunia nyata diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu.
Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Sang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para leluhur saja, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa.
Pengakuan adanya Sang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan. Itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Sang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan.
Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya.
Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup, serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Orang Sumba juga percaya bahwa manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan.
Bagi masyarakat Sumba, hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati.
Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala nuku-hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara.
Tradisi leluhur yang diwariskan selama berabad-abad bersamaan dengan pandangan hidup orang Sumba, dewasa ini mulai dipengaruhi oleh kehidupan yang berasal dari luar kehidupan mereka. Generasi muda Sumba kini telah memperoleh cara pandang yang baru dan berbeda dengan tradisi serta ajaran yang telah leluhur mereka wariskan. Kendati demikian generasi muda Sumba masih menyimpan hormat dengan menjalankan nilai-nilai kepercayaan Merapu dalam kehidupannya.
Read More..

”Kematian Sempurna” pada Masyarakat Batak



wacananusantantara.org | ”Kematian Sempurna” pada Masyarakat Batak
ragi hotang a
Dalam upacara kematian, ulos Ragi Hotang ini dipakai untuk mengafani jenazah atau untuk membungkus tulang belulang dalam upacara penguburan kedua kalinya. (Foto Oleh: biliatersitungkir.blogspot.com)
Masyarakat Batak sangat percaya bahwa kematian merupakan sebuah peristiwa yang tak kalah istimewanya dengan kelahiran. Mereka percaya bahwa orang yang mati hanya raga, sedangkan jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain. Alam yang sangat gaib dan tak terjanggau oleh mereka yang masih hidup. Orang yang masih hidup menganggap, perjalanan jiwa orang mati menuju alam lain itu memerlukan perlakuan khusus agar rohnya merasa “tenteram” dan “dihargai” oleh keturunannya.
Dalam tradisi Batak, orang yang mati disebut saur dan akan disembah dalam upacara saur matua, setidaknya oleh semua anaknya. Penyembahan yang diterima roh orang tua alias si mati melalui upacara saur matua dan upacara mangongkal holi dari para keturunannya, akan menambah kekuatan sahala (kekuatan) roh bersangkutan di alam lain. Sementara keturunannya mendapatkan berkat sahala dari roh bersangkutan.
Konsep kepercayaan yang berawal dari sekadar mengantarkan si mati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan si mati melalui ritual pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan terhadap roh si mati. Karena sangat istimewanya, perlakuan terhadap jasad si mati tentunya sangat spesial; begitu pula setelah upacara penguburan usai maka keluarga yang ditinggalkan masih merasa perlu mengekspresikan kesedihan mereka yang ditinggal oleh si mati.
Kini, masyarakat Batak masih mengekspresikan pemujaan si mati dalam sebuah upacara penguburan sekunder yang disebut mangongkal holi. Disebut sekunder, karena sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) si mati. Upacara penguburan sekunder dilalukan melalui penggalian tulang-belulang si mati dari kubur awal (primer), untuk dikuburkan kembali ke dalam kubur sekunder.
Pada masyarakat Batak, kematian (mate) di usia yang sudah sangat tua—terutama telah menikahkan semua anaknya dan memiliki cucu—merupakan kematian yang paling diinginkan. Dalam tradisi budaya masyarakat Batak (khususnya Batak Toba), kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua.
Upacara adat kematian pada masyarakat Batak diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) maka ia belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa namun belum menikah (mate ponggol). Keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat: mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan ulos untuk mate dakdanak dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati.
Mate saur matua-lah yang menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Sebenarnya, masih ada tingkat kematian yang lebih di atasnya, yaitu mate saur matua bulung yakni mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga dan bahkan telah bercicit). Baik mate saur matua maupun mate saur matua bulung keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal karena meninggal saat tidak memiliki tanggungan anak lagi.
Ketika seorang Batak mati saur matua, sudah seharusnya pihak-pihak kerabat segera mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja). Membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu.
Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat Batak. Terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan: pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan, keluarga perempuan pihak ayah). Serta pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat yang membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-masing.
Pada hari yang sudah ditentukan, upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya di halaman rumah duka). Ketika seluruh pelayat dari kalangan masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Setelah jamuan makan, dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama).
Jambar terdiri dari empat jenis berupa: juhut (daging), hepeng (uang), tor-tor (tari), dan hata (berbicara). Masing-masing pihak dari dalihan natolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib, karena pembagian jambar juhut dianggap menggantikan jambar hepeng. Bagi keluarga status sosial terpandang, jambar hepeng biasanya ada.
Selepas itu, dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang mati saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula, dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru / bere, dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan, diselingi ritual jambar tor-tor, yaitu ritus manortor (menarikan tarian tor-tor).
Pada kesempatan manortor pihak tulang (saudara laki-laki ibu almarhum), menyelimutkan ulos ragi idup langsung ke badan mayat. Selain itu bona tulang (hula-hula dari pihak marga saudara laki-laki nenek almarhum) dan bona ni ari (hula-hula dari pihak marga ibu kakek almarhum) juga memberikan ulos (biasanya ulos sibolang). Ulos dikembangkan di atas peti mayat, sebagai tanda kasih sayang yang terakhir.
Kemudian pihak hula-hula secara khusus mangulosi (menyematkan ulos) kepada pihak boru dan hela (menantu) sebagai simbol pasu-pasu (berkat) yang diucapkannya. Pihak hula-hula memberikan ulos sibolang sebagai ulos sampetua kepada istri / suami yang ditinggalkan, dengan meletakkan di atas bahu. Apabila orang yang mati telah lebih dahulu ditinggalkan istri / suaminya, tentunya ulos tidak perlu lagi diberikan). Kemudian hula-hula memberikan ulos panggabei kepada semua keturunan, dengan menyampirkan ulos (sesaat secara bergantian) di bahu masing-masing anak laki-laki yang tertua sampai yang paling bungsu (terakhir diberikan kembali ke anak lelaki tertua disertai kata-kata berkat).
Setelah jambar tor-tor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tor-tor tadi. Selanjutnya, salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain, diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah menghadiri upacara tersebut, sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.
Sepulang dari pekuburan pun biasanya dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan si mendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini, telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung, keluarga yang kematian orang tua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.
Sebagian masyarakat Batak dewasa ini lebih memahami upacara saur matua bukan untuk menyembah si orang tua agar kekuatan sahala diberikan kepada anak-cucunya, tetapi sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas anugerah umur panjang kepada orang yang mati saur matua. Namun, konsep saur matua sebagai “kematian sempurna” tetap dipertahankan, karena orientasi sosial budaya masa kini juga menganggap mati di usia yang sangat tua adalah kematian yang paling baik.
Read More..

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogroll

About

Blogger news