SEJARAH KERAJAAN PERTAMA DI INDONESIA

Rabu, 25 Juni 2014



Berbicara tentang sejarah Indonesia maka tak lepas dari sederet nama kerajaan yang pernah berdiri di bumi Nusantara. Dari sekian banyak kerajaan itu, hanya sedikit yang kemudian familiar di telinga masyarakat. Kali ini saya akan mengajak anda mengingat kembali salah satunya. Kita akan bahas alur sejarah sebuah kerajaan yang diyakini sebagai peradaban tertua di Indonesia, Kutai

KERAJAAN KUTAI MARTADIPURA

Kita akan mulai dengan Kutai Martadipura, kerajaan bercorak Hindu yang memiliki bukti sejarah tertua di Nusantara. Berdiri sekitar abad ke-4, pusat kerajaan ini terletak di hulu sungai Mahakam (tepatnya di Muara Kaman, Kalimantan Timur). Nama Kutai diberikan oleh para ahli, diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas, yaitu mencakup hampir seluruh Kalimantan Timur bahkan hingga seluruh Pulau Kalimantan.

Ada tujuh buah Yupa (prasasti dalam upacara pengorbanan) yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai Martadipura. Yupa sendiri adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan.

Dari salah satu Yupa tersebut diketahui bahwa salah satu raja yang pernah memerintah Kutai Martadipura adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam Yupa karena kedermawanannya menyumbangkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat dipengaruhi bahasa Sansekerta bila dilihat dari cara penulisannya. Sedangkan nama Kudungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India, namun Kudungga diduga awalnya adalah seorang kepala suku yang setelah masuknya budaya India ke Nusantara kemudian diangkat menjadi seorang raja. Ada juga versi yang menyebutkan bahwa sebenarnya dia adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Nusantara dan mendirikan kerajaan disini.

Aswawarman diyakini sebagai Raja Kutai pertama yang beragama Hindu. Ia juga dikenal sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Mengapa bukan Kudungga yang menjadi pendiri dinasti tetapi justru anaknya? Hal ini diyakini karena Raja Kudungga belum memeluk agama Hindu, sehingga ia tidak bisa dianggap sebagai pendiri dinasti Hindu.

Aswawarman disebut sebagai seorang raja yang cakap dan kuat. Dia pula yang memiliki jasa paling besar atas perluasan wiayah Kerajaan Kutai Martadipura. Perluasan wilayah diakukan oleh Aswawarman dengan cara melakukan upacara Asmawedha, yaitu upacara pelepasan kuda untuk menentukan batas wilayah kerajaan. Kuda-kuda yang dilepas ini diikuti oleh prajurit kerajaan yang akan menentukan wilayah kerajaan sesuai dengan sejauh mana jejak telapak kaki kuda dapat ditemukan. Aswawarman memiliki 3 orang putera, yang salah satunya adalah Mulawarman.

Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah Kutai Martadipura:

  1. Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman
  2. Maharaja Asmawarman
  3. Maharaja Mulawarman
  4. Maharaja Marawijaya Warman
  5. Maharaja Gajayana Warman
  6. Maharaja Tungga Warman
  7. Maharaja Jayanaga Warman
  8. Maharaja Nalasinga Warman
  9. Maharaja Nala Parana Tungga
  10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
  11. Maharaja Indra Warman Dewa
  12. Maharaja Sangga Warman Dewa
  13. Maharaja Candrawarman
  14. Maharaja Sri Langka Dewa
  15. Maharaja Guna Parana Dewa
  16. Maharaja Wijaya Warman
  17. Maharaja Sri Aji Dewa
  18. Maharaja Mulia Putera
  19. Maharaja Nala Pandita
  20. Maharaja Indra Paruta Dewa
  21. Maharaja Dharma Setia
Dari Yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai Martadipura mengalami masa keemasan. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.

KESULTANAN KUTAI KARTANEGARA

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325), sama seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Batuta. Nama ‘Kutai’ disadur dari bahasa China, ‘Kho Thay’ yang berarti ‘negara yang besar’. Sedangkan ‘Kartanegara’ berarti ‘mempunyai peraturan’. Jadi makna nama Kutai Kartanegara adalah ‘negara besar yang mempunyai peraturan’.

Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah yang berhasil ditaklukan oleh Maha Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Maharaja Sultan (1370-1420), raja dan adiknya berkunjung ke Majapahit untuk belajar adat istiadat dan tata pemerintahan pada Maha Patih Gajah Mada. Sejak saat itu Majapahit menempatkan seorang Patih di Kutai Kartanegara sebagai representasi pengakuan kekuasaan Majapahit disana.

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), Kutai Kartanegara juga merupakan salah satu ‘tanah di atas angin’ (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, Raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14.

Adanya dua kerajaan di tanah Kutai menimbulkan rivalitas. Ketegangan demi ketengangan terjadi. Akhirnya riwayat Kerajaan Kutai Martadipura berakhir pada abad ke-16, saat Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara, Raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian mengubah nama kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai simbol peleburan antara dua kerajaan tersebut.

Sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang telah berhasil menguasai Sukadana dan berambisi menaklukan seluruh Kalimantan. Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. 

Sekitar tahun 1638 (sebelum perjanjian Bongaya), Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir, Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan. Hal ini disampaikan Sultan Makassar pada Kiai Martasura yang diutus ke Makassar untuk mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud, yaitu Raja Tallo yang menjabat sebagai Mangkubumi (Putra Mahkota) bagi Sultan Malikussaid (Raja Gowa) tahun 1638-1654.

Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan (ulama Makassar) diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Sejak itu gelar raja diganti menjadi sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1738) merupakan Sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan nama Islami. Dan kemudian nama kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Sebagai indikator kuatnya pengaruh agama Islam di Kutai, dikenal adanya Undang-undang Beraja Nanti (Undang-Undang Dasar kerajaan) bernama Panji Selaten yang disandarkan pada hukum Islam. 

Tahun 1732 ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan (sekarang Desa Jembayan, Loa Kulu).

Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo, La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Saat itu pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putra Mahkota kerajaan, Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai Putra Mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Tahun 1747 VOC mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal saat itu sebenarnya dia hanyalah Mangkubumi. Pada 1765 VOC berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC itu untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri, diantaranya Kutai berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756. 

Sementara itu di Kutai sedang berlangsung siasat embargo yang ketat oleh Sultan Muslihuddin terhadap Aji Kado. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap armada Aji Kado. Tahun 1778 Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi, karena di tahun itu VOC sedang disibukkan usaha merebut Landak dan Sukadana (sebagian besar wilayah Kalimantan Barat saat ini) dari kekuasaan Sultan Banten.

Pada tahun 1780, Sultan Muslihuddin berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan kembali sebagai sultan yang sah dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.

Sultan Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti ‘Rumah Raja’, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar resmi sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC. 

Tahun 1809 Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Banjarmasin dan menyerahkan benteng Tatas serta benteng Tabanio kepada Sultan Banjar. Setelah wilayah Hindia Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, sejak itu Alexander Hare menjadi Wakil Pemerintah Inggris di Banjarmasin sejak 1812. 

Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda, kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Banjar yang diwakili oleh Sultan Sulaiman dengan Hindia Belanda yang diwakili oleh Residen Aernout van Boekholzt. 

Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dengan Residen Tobias.

Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826.

Tahun 1838 Sultan Muslihuddin mangkat dan pucuk pimpinan Kesultanan Kutai Kartanegara digantikan oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin.

PERTEMPURAN MELAWAN PENJAJAH

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. 

Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di antara yang tewas tersebut.

Kabar insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. 

Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t’Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t’Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima Perang Kutai, Pangeran Senopati Awang Long bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur melawan armada t’Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kutai. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang residen yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan. 

Pada tahun 1850, Sultan Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Pada tahun 1853, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan Sulaiman. Dalam tahun 1853 itu penduduk Kesultanan Kutai Kartanegara tercatat sebanyak 100.000 jiwa.

Pada 17 Juli 1863, Kutai kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi daerah Swapraja dari Pemerintahan Hindia Belanda. Bentuk Swapraja dipilih karena Belanda menyadari tak memiliki kekuatan untuk memerintah secara langsung dari Batavia. Sehingga dengan status ini Kutai seperti halnya kerajaan yang lain dapat mengatur perundangan sendiri, melaksanakan otonomi, melakukan pengadilan sendiri dan melakukan tugas kepolisian sendiri. Status serupa juga diperoleh Kasultanan Ngayogyakarta, Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunagaran dan Kadipaten Pakualaman Adikarta di Jawa

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat ilustrasi pendopo istana Sultan Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.

Tahun 1899 Sultan Sulaiman wafat dan digantikan Putra Mahkotanya, Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin. Sultan Alimuddin mendiami istana baru yang terletak tak jauh dari bekas istana Sultan Sulaiman. Istana Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Istana ini dibangun menghadap sungai Mahakam.

Tahun 1905, Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memerintah secara langsung Kota Samarinda. Sejak itu Kutai tak memiliki lagi kekuasaan politik di salah satu kota terbesar Kalimantan itu.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu Putra Mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa kerabat tidak setuju dengan pengangkatan tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri lah yang berhak diangkat menjadi Sultan Kutai. Pada beberapa media juga disebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan kedua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak awal abad ke-20, perekonomian Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924 Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden, jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan Parikesit membongkar istana kayu peninggalan Sultan Alimuddin dan mendirikan istana baru yang megah nan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian menempati istana lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan istana baru ini dilaksanakan oleh HBM (Hollandsche Beton Maatschappij) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik bangunan istana selesai pada tahun 1937, baru setahun kemudian yakni pada tahun 1938 secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian istana yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya istana baru maka istana peninggalan Sultan Sulaiman kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang ini areal bekas istana Sultan Parikesit juga telah diganti dengan sebuah bangunan baru yakni Gedung Serapo LPKK.

Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, sejak itu Sultan Kutai harus tunduk pada Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan ‘Koo.

MASA KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Berdasar UU Darurat No.3 Tahun 1953, Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom tingkat kabupaten.

Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi beberapa wilayah yang ada di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:
  1. Kabupaten Kutai Kartanegara
  2. Kabupaten Kutai Barat
  3. Kabupaten Kutai Timur
  4. Kota Balikpapan
  5. Kota Bontang
  6. Kota Samarinda
  7. Kecamatan Penajam
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.
Namun pada tahun 1959 itu, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang “Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan”, wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
  1. Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
  2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
  3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960 bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga Daerah Swatantra tersebut, yakni:
  1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
  2. Kapten Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
  3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Istana Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo (Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai), Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit pun berakhir dan beliau hidup menjadi rakyat biasa.

Berikut adalah nama para raja yang pernah memerintah Kutai Kartanegara:

1.    Aji Batara Agung Dewa Sakti
2.    Aji Batara Agung Paduka Nira
3.    Aji Maharaja Sultan
4.    Aji Mandarsyah
5.    Aji Pangeran Tumenggung Baya-Baya
6.    Aji Raja Mahkota
7.    Aji Dilanggar
8.    Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa
9.    Aji Pangeran Agung
10.  Aji Pangeran Dipati Majakesuma
11.  Aji Bagi Gelar Ratu Agung
12.  Pangeran Jembangan
13.  Aji Yang Begawan
14.  Aji Sultan Muhammad Idris
15.  Aji Marhum Muhammad Muslihuddin
16.  Aji Sultan Muhammad Salehuddin
17.  Aji Sultan Muhammad Sulaiman
18.  Aji Sultan Muhammad Alimuddin
19.  Aji Sultan Muhammad Parikesit
20.  Sultan Aji Muhammad Salehuddin II

Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara berakhir, bangunan istananya seluas 2.270 m2 tetap menjadi kediaman Sultan Parikesit hingga tahun 1971. Istana Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas Istana Kutai kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola menjadi sebuah museum dengan nama Museum Mulawarman. Di dalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan Kesultanan Kutai Kartanegara, di antaranya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dan lain-lain.

Di dalam area istana Sultan Kutai juga terdapat makam para raja dan keluarga kerajaan. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di antaranya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan istana, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tahun 1999 Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun untuk upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara diharapkan dapat mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putra Mahkota Kutai Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni Putra Mahkota Aji Pangeran Prabu.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat resmi dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Salehuddin II

Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara kemudian membangun sebuah istana baru yang disebut Kedatonbagi Sultan Kutai Kartanegara. Bentuk istana yang terletak disamping Masjid Jami’ Aji Amir Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk istana Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.
 
GELAR KEBANGSAWANAN

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:
  • Aji Sultan: digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan.
  • Aji Ratu: gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan.
  • Aji Pangeran: gelar bagi putera Sultan.
  • Aji Puteri: gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
  • Aji Raden: gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
  • Aji Bambang: gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
  • Aji: gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
  • Aji Sayid: gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
  • Aji Syarifah: gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Demikianlah sedikit kisah mengenai sejarah peradaban tertua di Indonesia yang dapat kita bahas kali ini. Satu hal yang menarik adalah, ternyata peradaban ini tidak berdiri di tanah Jawa yang saat ini mendominasi roda pemerintahan Indonesia. Ini adalah bukti bahwa daerah di luar Jawa mampu dan memiliki kesempatan untuk mensejajarkan diri dalam berkembang meraih kemajuan dan kesejahteraan.
Read More..

Kerajaan Tertua di Indonesia



 
 
 
 
 
Sejarah mencatat bahwa di Indonesia terdapat beberapa kerajaan yang menorehkan sejarahnya dalam sejarah perkembangan Indonesia. Dari sekian kerajaan yang terdapat di Indonesia, Kerajaan Kutai Martadipura merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Kerajaan Kutau Martadipura ini merupakan kerajaan yang bercorak Hindu. Kerajaan ini terletak di Kalimantan Timur dimana pusat pemerintahannya terdapat di Kaman, lebih tepatnya di hulu sungai Mahakan.
 
Nama Kutai sendiri sebenarnay merupakan nama pemberian dari para ahli dimana nama tersebut diambil dari nama wilayah tepat ditemukannya prasasti - prasasti yang menjadi petunjuk tentang keberadaan kerajaan itu sendiri. Prasasti -prasati yang ditukan diantaranya berbentuk tiang - tiang batu yang disebut YUPA. Yupa merupakan tempat para korban dipersembahkan kepada dewa. Yupa - yupa tersebut dibangun atas perintah raja Mulawarman.
 
Nama mulawarman sendiri tercatat pada salah satu dari tujuh Yupa yang ditemukan. Pada prasasti tersebut menceritakan tentang kedermawanan hati seorang Mulawarman yang saat itu memberikan sedekah berupa 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana yang digunakan untuk kemakmuran hidup rakyatnya. Selain itu, kehidupan ekonomi kerajaan Kutai Martadipura juga terlihat sangat baik dimana pada saat itu sering diadakan korban emas yang walaupun hingga saat ini tidak diketahui darimana emas - emas tersebut berasal
 
Dari prasasti Yupa yang ditemukan, diketahui pula bahwa kerajaan tertua di Indonesia ini mengalami masa keemasan dibawah pemerintahan Raja Mulawarman dimana Mulawarman dikenal sebagai seorang raja yang kuat, arif, dan bijaksana . Kerajaan Kutai Martadipura ini berakhir saat Maharaja Dharma Setia tewas di tangan Aji Pangeran Anum Panji Mendapa, Raja Kutai Kartanegara ke-13 
Read More..

Sejarah Kerajaan Bali


Nama Bali ternyata telah dikenal pada masa kekuasaan Dinasti Tang di Cina. Mereka menyebut Bali dengan Po-li atau Dwa-pa-tan, yakni sebuah negeri yang terletak disebelah timur Kerajaan Ho-ling. Masyarakat Dwa-pa-tan mempunyai adat istiadat yang hampir sama dengan Ho-ling. Pada saat itu penduduk telah pandai menulis di atas lontar. Mereka telah dapat menanam padi dengan baik. Setiap penduduk yang meninggal, mayatnya diberi perhiasan emas yang dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian dibakar dengan wangi-wangian.

Berita tertua mengenai Bali sumbernya berasal dari Bali sendiri, yakni berupa beberapa buah cap kecil dari tanah liat yang berukuran 2,5 cm yang ditemukan di Pejeng. Cap-cap ini ditulisi mantra-mantra agama Buddha dalam bahasa Sansekerta yang diduga dibuat sekitar abad ke-8 Masehi. adapun prasasti tertua Bali yang berangka tahun 882 M memberitakan perintah membuat pertapaan dan pesanggrahan di Bukit Cintamani. Di dalam prasasti tersebut tidak ditulis nama Raja yang memerintah pada waktu itu. Demikian pula prasasti yang berangka tahun 911 M. Hanya menjelaskan pemberitaan izin kepada penduduk Desa Turunan untuk membangun tempat suci bagi pemujaan Batara da Tonta. 

Munculnya kerajaan Bali dapat diketahui dari tiga prasasti yang ditemukan di Belonjong (sanur), panempahan, dan Maletgede yang berangka tahun 913 M. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan huruf Nagari dan Kawi, sedangkan bahasanya ialah Bali kuno dan Sansekerta. Dari prasasti – prasasti tersebut tertulis Raja Bali yang bernama Kesariwarmadewa. Ia bertakhta di Istana Singhadwala (pintu istana negara singha). Ia adalah Raja yang mendirikan Dinasti Warmadewa di Bali. Dua tahun kemudian Kesariwarmadewa diganti oleh Ugrasena. Raja Ugrasena yang bertakhta di istana Singhamandawa memerintah kerajaan sampai tahun 942 M. Masa pemerintahannya sezaman dengan pemerintahan Mpu Sindok di Kerajaan Mataram. Selama tujuh tahun berikutnya tidak diketahui raja penerus Ugrasena. Setelah itu, muncul Raja Bali bernama Aji Tabenendra warmadewa (955-967).


Di tengah-tengah masa pemerintahan Tabenendra, pada tahun 960 muncul raja Bali lain, yaitu Indra Jayasingha warmadewa (Candrabhayasingha warmadewa). Pengganti Candrabhayasingha , yaitu Janasadhu warmadewa (975-983),kemudian Wijaya Mahadewi (983-989). Setelah itu muncul raja Bali yang bernama Udayana (989-1011) dan bergelar Sri Dharmodayana warmadewa. Udayana memerintah Kerajaan Bali bersama-sama dengan permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni yang dikenal dengan nama Mahendradatta. Dari hasil perkawinan Udayana dengan Mahendradatta lahir tiga orang putra yaitu Airlangga, Marakatapangkaja dan Anak Wungsu. Airlangga yang menjadi putra mahkota ternyata tidak pernah memerintah di Bali, sebab ia pergi ke Jawa Timur dan menikah dengan putri Dharmawangsa, Raja Mataram. Oleh karena itu, pewaris kerajaan bali jatuh kepada Marakatapangkaja (1011-1022). Ia dianggap sebagai kebenaran hukum yang selalu melindungi rakyatnya. Ia juga memperhatikan kehidupan rakyat sehingga disegani dan di taati. Masa pemerintahan Marakatapangkaja sezaman dengan Airlangga di Jawa Timur. Dari tahun 1022 sampai tahun 1049 tidak dipaparkan berita mengenai raja yang memerintah Bali. 

Anak wungsu (1049-1077) kemudian melanjutkan kekuasaan Marakatapangkaja. Ia dikenal sebagai raja yang penuh belas kasihan terhadap rakyatnya. Ia pun senantiasa memikirkan kesempurnaan dunia yang dikuasainya. Selama masa pemerintahannya, ia berhasil mewujudkan negara yang aman, damai dan sejahtera. Penganut agama hindu dapat hidup berdampingan dengan agama Buddha. Anak Wungsu sempat pula membangun sebuah kompleks percandian di gunung Kawi (sebelah selatan Tampaksiring) yang merupakan peninggalan terbesar di Bali. Atas perannya yang gemilang itu, Anak Wungsu kemudian dianggap rakyatnya sebagai penjelmaan Dewa Hari (Dewa Kebaikan). 

Anak Wungsu tidak meninggalkan seorang putra pun. Raja yang memerintah setelah Anak Wungsu adalah Walaprabhu dan Bhatara Mahaguru Dharmotungga warmadewa. Setelah itu tidak ada lagi raja yang berkuasa dari Dinasti Warmadewa. Raja dari dinasti lain yang muncul ialah Sri Jayasakti (1133-1150). Masa pemerintahan Jayasakti sezaman dengan Raja Jayabhaya di kerajaan Kediri. Pada saat itu agama Buddha, Siwaisme dan Waisnawa berkembang dengan baik. Sri Jayasakti disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Sebagai raja yang bijaksana, ia memerintah kerajaan berdasarkan pedoman hukum yang didasari rasa keadilan dan kemanusiaan. Kitab undang-undang yang berlaku ialah utara-widhi-balawan dan Rajawacana. 

Raja Bali yang terkenal lainnya ialah Jayapangus (1177-1181). Di dalam kitab Usana Bali disebutkan bahwa Jayapangus memerintah setelah Jayakusunu. Dari 43 prasasti yang ditinggalkannya, Jayapangus banyak menyebut dua orang permaisurinya, yaitu Arkajalancana dan Sasangkajacihna. Arkaja bermakna putri Matahari, sedangkan Sasangkaja berarti putri bulan. Setela h Jayapangus meninggal, raja-raja Bali yang memerintah tidak begitu terkenal, karena sumber sejarahnya tidak banyak diketahui. 


Masyarakat kerajaan Bali menerima pengaruh budaya Hindu dan Buddha melalui daerah Jawa Timur. Hal ini dapat diketahui karena Bali pernah dikuasai oleh kerajaan-kerajaan di Jawa Timur. Yaitu pada abad ke-10 oleh kerajaan Singhasari dan abad ke-14 oleh kerajaan Majapahit. Selain itu, ketika Majapahit runtuh, banyak penduduk yang tidak mau beragama Islam lantas menyeberang ke Bali. Dalam perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali, ternyata jumlah Pedanda (pendeta) agama siwa yang bergelar Dang Acaryya lebih banyak daripada pedanda Buddha yang bergelar Dang Upadhyaya. Hal ini menunjukkan bahwa agama hindu pengaruhnya lebih besar daripada agama Budhha. Namun, agama hindu yang berkembang di Bali telah tercampur dengan adat istiadat setempat, sehingga Hindu khas di Bali saat ini disebut Hindu Dharma.


Dari keterangan prasasti-prasasti di Bali diketahui bahwa umumnya masyarakat Bali telah dapat bercocok tanam di sawah, Parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun) dan mmal (ladang daerah pegunungan). Jenis tanaman yang sudah dikenal, antara lain padi gaga, kelapa, bambu, enau, kemiri, bawang merah, jahe, wortel dan lain-lain. Selain itu rakyat telah mampu beternak itik, kambing, sapi, kerbau, anjing, kuda, ayam, babi dan burung. Rupanya, binatang yang paling berharga pada saat itu adalah kuda. Kuda merupakan binatang yang paling cocok untuk membawa barang dagangan yang melintasi daerah pegunungan. Kegiatan perdagangan pun sudah cukup maju. Dibeberapa desa terdapat golongan saudagar yang disebut wanigrama (saudagar laki-laki) dan wanigrami (saudagar perempuan). Mereka memiliki kepala atau pejabat yang mengurus kegiatan perdagangan yang disebut Banigrama atau Banigrami. Setiap kegiatan usaha penduduk telah dikenakan pajak atau iuran yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintah kerajaan.
Read More..

Sejarah Kerajaan Sunda


Di wilayah Jawa Barat Muncul kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Menurut kitab Carita Parahiyangan, sebenarnya lahirnya Tarumanegara telah didahului oleh sebuah kerajaan yang bernama Salakanagara yang beribukota di Rajataputra. Kerajaan salakanagara sebelum diperintah oleh raja Dewawarman (Dharmalokapala) merupakan sekumpulan pedukuhan kecil-kecil yang dikuasai oleh Aki Tirem. Namun,sayang sekali sumber sejarah lain tidak ada yang menguatkannya sehingga keberadaan keraaj tersebut masih diragukan.

Berita pertama kemunculan Kerajaan sunda diperoleh dari prasasti Canggal (732). Prasasti canggal menerangkan , Sanjaya (Raja Mataram) telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja (daerah Wukir). Dia adalah anak Sannaha, saudara perempuan Raja sanna.

Berkenaan dengan hal tersebut, kitab carita parahiyangan mengatakan bahwa raja Sena berkuasa di kerajaan Galuh. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora. Raja sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke Gunung merapi bersama keluarganya. Selanjutnya, sanjaya putra Sannaha berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora dan menduduki takhta Galuh. Beberapa waktu kemudian, Raja sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Kerajaan Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada puteranya, Rahyang Tamperan. Sampai saat ini para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan sanjaya di dalam prasasti Canggal dengan raja sena dan Sanjaya di dalam kitab carita parahiyangan. 


Dalam waktu yang cukup lama tidak diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul lagi pada tahun 1030 ketika dipimpin oleh Maharaja Sri Jayahbhupati. Nama Sri Jayabhupati terdapat pada Sang Hyang Tapak yang ditemukan di daerah Cibadak (Sukabumi). Ia bergelar Wikramottunggadewa, sebuah gelar yang sering digunakan pemerintahan Airlangga di Mataram. Adanya gelar tersebut menimbulkan bermacam dugaan. Sri Jayabhupati mungkin takluk-kan Airlangga, atau sebaliknya musuh airlangga, atau tak ada keterkaitan sama sekali. Yang jelas, Sri Jayabhupati menegaskan dirinya sebagai Hajiri ri sunda (Raja di Sunda). Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Sunda adalah Pakuan Pajajaran.

Pengganti Sri Jayabhupati adalah Prabu Raja wastu (Rahyang Niskala Wastu Kancana). Ia memindahkan ibukota kerajaan dari pakuan Pajajaran ke Kawali (Ciamis) dan membangun istana di Surawisesa. Setelah meninggal , Prabu raja wastu digantikan oleh anaknya, Rahyang Ningrat Kencana (Rahyang Dewa Niskala). Selanjutnya tampuk pemerintahan jatuh kepada sri baduga Maharaja. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Sunda dirundung duka dengan terjadinya peristiwa Bubat (1357). Dalam peristiwa Bubat itu hampir seluruh pasukan sunda gugur di daerah Kerajaan Majapahit. Keadaan ini tidak berarti bahwa sunda tidak mempunyai raja lagi. 

Ketika peristiwa bubat terjadi, putra mahkota kerajaan sunda, Niskala wastu Kancana masih kecil, sehingga untuk sementara waktu pemerintahan dipegang oleh Hyang bunisora (1357-1371). Setelah menginjak dewasa, Niskala wastu Kancana (1371-1474) menerima kembali tampuk kekuasaan dari Hyang bunisora. Ia memerintah cukup lama, yaitu 104 tahun. Masa pemerintahan yang panjang ini disebabkan Niskala Wastu Kancana menjalankan pemerintahan dengan baik. Selalu menaati ajaran agama dan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan penggantinya, Ningrat Kencana (1474-1482) banyak melanggar tradisi-tradisi raja sunda. Akibatnya ia kurang disenangi rakyat dan masa pemerintahannya relatif pendek. 

Ningrat Kencana diganti oleh Sang Ratu Jayadewata (1482-1521). Sang Ratu Jayadewata memindahkan ibukota kerajaan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran. Pada saat itu pengaruh islam mulai memasuki Kerajaan sunda. Penduduk di wilayah utara sudah banyak menganut islam, terutama di daerah Banten dan Cirebon. Dalam menghadapi situasi seperti itu, raja berusaha menjalin persekutuan dengan portugis di Malaka. Pada tahun 1512 dan 1521 di kirimlah utusan ke Malaka dibawah pimpinan prabu Surawisesa (1521-1535), Putra mahkota kerajaan sunda. 


Prabu Surawisesa kemudian menggantikan takhta sang Ratu Jayadewata. Di tengah-tengah masa kekuasaannya, pelabuhan besar Sunda kelapa jatuh ke tangan Kerajaan islam Banten. Portugis yang menjanjikan bantuannya ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya pusat kerajaan sunda terputus hubungannya dengan daerah luar. Pengganti Surawisesa, Prabu ratudewata (1535-1543) harus menjalani masa-masa kritis dengan adanya serangan tentara Islam yang bertubi-tubi. Akan tetapi, sejauh itu kedaulatan Kerajaan Sunda masih dapat dipertahankan.
Prabu Ratudewata dalam kesehariannya lebih berperan sebagai pendeta daripada sebagai raja, bahkan tidak menghiraukan kesejahteraan rakyat. Raja yang kemudian menggantikannya, yaitu sang Ratu Saksi (1543-1551) ternyata seorang raja kejam dan selalu hidup bersenang-senang. Demikian penggantinya, Tohaan Di Majaya (1551-1567) malah memperindah istana, suka mabuk-mabukan, berfoya-foya dan melupakan tugas kerajaan. Keadaan ini diperparah dengan gencarnya serangan Islam dari sebelah Utara. Akibatnya, pada masa pemerintahan Nusiya Mulya, negara sudah lemah sekali sehingga mudah dikalahkan tentara Islam banten pada akhir abad ke-16. 


Pada masa kekuasaan raja-raja sunda, aspek sosial ekonomi rakyat cukup mendapat perhatian. Meskipun pusat kekuasaan kerajaan sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan sunda memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa dan Cimanuk. Di kota-kota tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan piaraan. Disamping kegiatan perdagangan , pertanian merupakan kegiatan yang banyak digeluti rakyat. Cara bertani yang dilakukan umumnya berladang atau berhuma. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindah-pindah. Hal ini ternyata menjadi salah satu bagian tradisi sosial kerajaan sunda yang dibuktikan seringnya memindahkan pusat kerajaan. Oleh karena itu, kerajaan sunda tidak banyak meninggalkan keraton yang permanen, candi atau prasasti-prasasti. Candi yang paling dikenal di Jawa Barat hanyalah candi Cangkuang yang berada di Leles, garut.

Candi cangkuang yang ditemukan tahun 1966 susunan bangunannya bersorak Siwaistis. Keterkaitan candi cangkuang dengan kerajaan sunda kurang begitu jelas. Namun, karena lokasi candi tersebut berada di daerah kekuasaan kerajaan sunda, maka dapatlah diduga bahwa masyarakat sunda lebih dipengaruhi agama Hindu daripada Buddha.


Read More..

Sejarah Kerajaan Majapahit


Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293 setelah Raden Wijaya berhasil memukul mundur tentara mongol dari Kerajaan Singhasari. Sebelumnya Majapahit merupakan kawasan hutan Tarik yang berada di sekitar delta sungai Brantas (Mojikerto). Atas bantuan Wiraraja, Bupati Sumenep, daerah Tarik kemudian berubah menjadi kawasan yang maju dan diberi nama Majapahit. 

Raden Wijaya (1293-1308) dinobatkan menjadi raja Majapahit pada 1293 dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Raden Wijaya mengawini empat orang putri Raja Kertanegara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Prajnaparamita dan Gayatri. Dari Tribhuwaneswari lahir Jayanegara. Dari Gayatri diperoleh dua anak perempuan, yaitu Tribhuanattunggadewi jayawisnuwardhani dan Rajadewi Maharajasa, sedangkan dari Narendraduhita dan Prajnaparamita tidak diperoleh seorang anak pun. Resen Wijaya melakukan perkawinan dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan dan agar seluruh warisan Kerajaan Singhasari berpindah kepadanya. 

Raden Wijaya memerintah dengan baik dan bijaksana. Orang-orang dahulu yang membantunya diberi imbalan. Arya Wiraraja diberi tanah di Lumajang dan diangkat sebagai penasihat. Nambi dijadikan sebagai Mahapatih. Lembu Sora diangkat sebagai patih di Daha. Ranggalawe menjadi adipati di tuban. Kebo Anabrang yang berperan di dalam ekspedisi pamalayu diangkat sebagai panglima perang. Akan tetapi kebijakan Raden Wijaya tersebut menimbulkan rasa tidak puas bagi Ranggalawe, Ranggalawe tidak menyetujui Nambi menduduki jabatan tinggi sebagai mahapatih. Ia beranggapan dirinyalah atau Lembu Sora yang pantas menjadi mahapatih karena lebih berjasa dan lebih gagah berani di medan pertempuran. 

Munculnya pertentangan diantara para pejabat kerajaan kemudian dimanfaatkan oleh Mahapati, seorang tokoh yang berambisi menduduki jabatan tinggi di Kerajaan Majapahit. Mahapati ternyata biang dari semua kerusuhan, sumber fitnah, dan adu domba. Kepada Raden Wijaya diisukan bahwa Ranggalawe akan memberontak sehingga berkobarlah peperangan antara Tuban dan pasukan Kerajaan pada tahun 1295. Dalam pertempuran itu, ranggalawe gugur di tangan Kebo Anabrang. Namun Kebo Anabrang dibunuh pula oleh Lembu Sora karena ia tidak tahan atas kematian sahabatnya itu. Rupanya peristiwa tersebut dijadikan alasan Mahapati untuk menyingkirkan Lembu Sora dengan menghasut raja agar menghukumnya. Oleh karena itu, pertempuran pecah antara Lembu Sora dan pihak Kerajaan pada tahun 1298-1300. Lembu Sora terbunuh dalam peperangan itu, selanjutnya Mahapati tinggal menyingkirkan Nambi. Nambi yang mengetahui niat jahat Mahapati, segera menyingkir dari Majapahit dengan alasan menengok ayahnya (Wiraraja) yang sakit di Lumajang. Dengan demikian cita-cita Mahapati tinggal selangkah lagi akan tercapai, namun Raden Wijaya wafat pada tahun 1309. Raden Wijaya dicandikan dalam candi Sumberjati, di selatan Blitar. 


Menurut keterangan prasasti Sukamerta dan Prasasti Balawi, Raja yang memerintah Kerajaan Majapahit menggantikan raden Wijaya ialah Jayanegara (1309-1328). Raja kedua Majapahit ini bergelar Sri Sundarapandyadewadhiswaranamarajabhiseka Wikramotungga-dewa. Dalam masa pemerintahannya, timbul berbagai pemberontakan yang merupakan kelanjutan dari pemberontakan yang terjadi sebelumnya. Peristiwa pemberontakan ini pun disebabkan oleh fitnah Mahapati. Pada tahun 1316 Nambi yang tidak mau kembali ke Majapahit diserbu dan segenap keluarganya dibunuh. Kemudian pasukan semi (1318) dan Kuti (1319) dapat ditumpas dan dibinasakan tokohnya. Sejak adanya peristiwa itu, jayanegara menyadari akan kekeliruannya. Ternyata Mahapati seorang yang berhati jahat dan tukang fitnah sehingga ia lantas ditangkap dan dibunuhnya. Dari beberapa pemberontakan yang terjadi di masa kekasaan jayanegara, serangan Kuti dianggap paling berbahaya. Hal ini dikarenakan serangan itu telah membuat Jayanegara terpaksa mengungsi ke Badander. Namun ia dapat diselamatkan oleh pasukan pengawal Raja (Bhayangkari) di bawah pimpinan Gajah Mada. Sebagai tanda terima kasih, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi patih kahuripan .


Di dalam kitab Pararaton dikatakan bahwa Jayanegara sama dengan Kalagemet, anak Raden Wijaya dari hasil perkawinan dengan selirnya. Berbagai pemberontakan yang terjadi umumnya dikarenakan mereka tidak menyetujui Jayanegara menjadi Raja Majapahit, sebab ia bukan keturunan asli Majapahit. Ibunya yang bernama Dara Petak adalah seorang putri Kerajaan Melayu. Jayanegara sendiri hanyalah anak angkat dari permaisuri Tribhuwaneswari. 

Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh Tanca, tabib istana. Jayanegara tidak meninggalkan seorang keturunan seorang pun. Pilihan pengganti jatuh kepada Gayatri. Akan tetapi, Gayatri memilih menjadi seorang Biksuni daripada seorang Ratu. Akhirnya, takhta Kerajaan Majapahit ke-3 jatuh kepada anak Gayatrti, yaitu Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350). 

Pemerintahan Tribhuwanattunggadewi tidak lepas juga dari usaha pemberontakan . pada tahun 1331 Sadeng dan Keta (daerah besuki) berupaya melepaskan diri dari kekuasaan majapahit, berkat tindakan Gajah Mada ayng taktis, pemberontakan tersebut dengan mudah dapat dipadamkan. Sebagai balas jasa, Gajah Mada diangkat menjadi Mahapati atau Perdana Menteri. 

Hayam Wuruk (1350-1389) naik takhta menjadi Raja Majapahit ke-4 dan bergelar Rajasanegara. Ia adaldah putra dari perkawinan Tribhuwanattunggadewi dengan kertawardhana. Hayam Wuruk memerintah dengan didampingi Mahapatih Gajah Mada. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk itulah Kerajaan Majapahit mencapai zaman keemasan. Banyak bukti yang memperlihatkan kebesaran Majapahit. 

a. Wilayah kekuasaan dan sistem pemerintahan 

Seperti yang dipaparkan dalam kitab Negarakertagama. Daerah-daerah yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi Sumatera, Melayu, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian (papua), bahkan beberapa daerah di daratan Asia Tenggara. Hayam Wuruk menerapkan politik yang berwawasan cakrawala mandala seperti yang dilakukan oleh Kertanegara. 

Sebagai Kerajaan yang besar, wilayah kekuasaan Majapahit mempunyai sistem kenegaraan yang teratur. Raja Majapahit dan keraton dianggap sebagai pusat dunia yang memiliki kekuasaan tertinggi. Para anggota keluarga kerajaan yang berperan sebagai bhattara di negara-negara bagian, mengelilingi sang raja dari berbagai penjuru. 

Raja majapahit memerintah dengan dibantu oleh suatu dewan yang disebut Pahom Narendra atau Bhattara saptaprabhu karena beranggotakan tujuh sesepuh kerajaan. Dewan ini bertugas memberikan saran kepada raja-raja Majapahit. Selain itu, raja Yuwaraja atau kumaraja (raja muda) dan rakyan Mahamantri katrini yang biasanya dijabat oleh para putra raja. Rakyan Mahamantri katrini terdiri dari tiga orang Mahamenteri yang masing-masing bergelar i Hino, i Halu, dan i Sirikan. Sebagai pelaksana pemerintahan, raja menunjuk rakyan Mantri ri Pakirakiran, yaitu sekelompok pejabat tinggi yang merupakan sebuah dewan menteri. 

b. Kemajuan di bidang sastra dan bangunan candi 

Bidang sastra dan keindahan bangunan candi amat diperhatikan oleh pemerintahan Majapahit. Hal ini menyebabkan para pujangga rajin berkarya. Selain itu, karya-karya yang dihasilkan banyak berisi puji-pujian terhadap raja. 


Candi-candi yang dibangun pada saat beridirinya Kerajaan Majapahit, misalnya candi Panataran, Bajangratu, Sawentar, Sumberjati, Tigawangi, Surawana, Jabung, Pari, Tikus, kedaton dan Sukuh.


c. Toleransi Kehidupan beragama 

Penduduk Majapahit sebagian besar memeluk agama Hindu dan Buddha. Adanya perbedaan agama di majapahit ternyata amat dihargai. Hal ini dapat dibuktikan dengan aktifnya pihak Kerajaan memperhatikan aspek kehidupan agama yang berbeda itu. Pemerintah telah mengatur kehidupan beragama dengan membentuk Dharmadyhaksa ring Kasaiwan yang mengurus Siwaisme (Hindu pemuja Siwa)dan Dharmadyhaksa ring Kasogatan untuk agama buddha. Selain itu, hayam Wuruk yang memeluk agama Hindu dapat bekerja sama dengan Gajah Mada yang beragama Buddha. Rakyat bahu-membahu membangun Kebesaran Majapahit. Perbedaan agam ternyata tidak menghalangi kerjasama diantara keduanya. Para pembesar Majapahit memberikan teladan yang baik sehingga rakyat bersikap taat. 

Gambaran kehidupan berinteraksi di Majapahit dipaparkan dalam kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Kitab ini berisi ajaran agama yang di dalamnya terdapat ungkapan Bhineka Tunggal Ika. Ungkapan ini sesungguhnya digunakan untuk menyatakan bahwa ajaran Hindu dan Buddha, meskipun berbeda tetapi mempunyai asas yang sama. Kini ungkapan tersebut menjadi semboyan bangsa Indonesia yang tertulis di atas pita dalam cengkraman burung garuda. 

d. Keadaan sosial ekonomi 

Sebagai negara agraris, Majapahit melaksanakan pembangunan ekonomi dengan baik. Sistem pertaniannya sudah sangat maju dengan pengairan yang teratur dan pengolahan yang baik. Ada dua bendungan yang telah dibuat saat itu, yaitu bendungan Jiwu untuk daerah persawahan Kalamasa dan bendungan Trailokyapuri untuk mengaliri daerah hilirnya. Semua ini tergambar dalam prasasti dan relief-relief candi yang dibangun pada masanya. 

Majapahit juga memiliki bandar-bandar dagang yang besar, seperti bandar tuban, surabaya, ujung Galuh, canggu dan gresik. Kapal-kapal yang tidak terlalu besar dapat berlayar hingga mendekati ibukota Kerajaan. Di bandar-bandar ini dijual beras dan rempah-rempah yang sangat dibutuhkan konsumen. Wang Ta Yuan, seorang pedagang cina yang pernah berkunjung ke Majapahit berkisah, bahwa lada, garam, kain dan burung kakak tua banyak diperdagangkan disitu. 

Kemunduran Majapahit diawali terjadinya peristiwa bubat (1375) yang menimbulkan perselisihan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Ketika itu raja Hayam Wuruk berkeinginan untuk memperistri Dyah Pitaloka, seorang putri dari keajaan di tanah sunda. Beserta keluarganya, sang putri telah tiba di Majapahit untuk melangsungkan perkawinan. Mereka berkemah dilapangan Bubat. Namun, disinilah terjadi perselisihan antara Gajah Mada dan utusan dari kerajaan sunda. Masing-masing bersikeras dengan keputusannya sendiri.

Rupanya perselisihan itu menjadi pertentangan yang keras. Peperangan sudah tidak dapat dihindarkan lagi. Namun, peperangan itu berlangsung tidak seimbang, karena pihak kerajaan sunda hanya sedikit membawa senjata dan peralatan untuk pesta perkawinan. Akhirnya, raja sunda beserta keluarga kerajaan tewas dilapangan Bubat. Mendengar kejadian tersebut, Hayam Wuruk sangat menyesalkannya. Ia kemudian memberhentikan Gajah Mada dari jabatan Mahapatih. Ia tidak lupa untuk memberikan tanah Sima di Madakaripura kepada Gajah Mada. 

Selain itu ada juga faktor lain yang menjadi penyebab mundurnya Kerajaan Majapahit, yaitu :

1. Tiada tokoh pengganti yang cakap dan berwibawa sesudah wafatnya Hayam Wuruk (1389) dan Gajah Mada (1364) 

2. Perang Paregreg (1401-1406), yakni perang saudara antara pewaris kerajaan (Bhre Wirabumi dan Wikrama-wardhana) telah melemahkan Majapahit secara keseluruhan . 

3. Banyak negeri bawahan Majapahit yang berusaha melepaskan diri. 

4. Berkembangnya agama Islam di pesisir pantai utara pulau Jawa telah mengurangi dukungan terhadap Kerajaan majapahit. 

Masa sesudah Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada merupakan kemunduran kerajaan Majapahit. Keruntuhan kerajaan Majapahit hingga kini masih diperdebatkan . candrasengkala yang berbunyisirna-ilang-kertaning-bumi (1478) sebagai bukti keruntuhan Majapahit masih berbeda penafsirannya. Hal ini disebabkan dalam prasasti Jiwu I yang bertarikh 1486 M. Disebutkan bahwa Girindrawardhana Dyah Ranawijaya masih sebagai sri Paduka Maharaja wilwatikta pura janggala kadiri prabhunata. Hal ini mempunyai makna, pada saat itu Prabu Girindrawardhana masih berkuasa di Kerajaan Majapahit (Wilwatikta)
Read More..
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogroll

About

Blogger news