Sekapur Sirih
Ciri khas masyarakat adat Baduy (Urang Kanekes) yang tinggal di pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten ini adalah masih kokohnya tradisi yang diwariskan oleh karuhun (nenek moyang) mereka. Bagaimana mereka berladang, memperlakukan alam, dan memperlakukan sesama telah dikukuhkan sebagai sebuah keyakinan yang mencerminkan nilai tradisi dan budaya masyarakatnya.
Salah satu tradisi yang dinilai masih bertahan adalah cara mereka berbusana dan aktivitas membuat kain dengan cara ditenun. Kain tenun, bagi masyarakat adat Baduy, selain berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sandang, juga memiliki fungsi sebagai identitas. Khusunya terhadap nilai-nilai adat yang juga melambangkan eksistensi mereka. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat dilihat dari warna dan tenunan yang mereka kenakan.
Kegiatan menenun juga memiliki makna ketaatan bagi para wanita Baduy. Pada perkembangannya, tenun baduy, khusunya tenun selendang yang mereka sebut tenun suat, hadir sebagai kreasi tenunan baru yang lambat laun dikembangkan oleh mereka sendiri dan mulai dikenal serta diminati oleh beberapa kalangan. Tenunan suat ini tidak memiliki makna khusus yang mendasari pembuatannya karena tenun tersebut lebih ditunjukan untuk kareuseupan (berkesenian) dan juga untuk kepentingan ekonomi mereka.
Tulisan ini mencoba untuk mengangkat perkembangan tenun Baduy sebagai Identitas masayarakat adat Baduy (Urang Kanekes) di masa lampau hingga keberadaannnya sekarang yang masih berusaha tetap dijaga.
I. Pendahuluan.
Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang berlimpah jika dibandingkan dengan bangsa manapun di dunia ini. Bahkan, setiap suku di Indonesia mempunyai ciri busana khas sendiri. Selain batik yang telah dikenal secara luas, warisan budaya bangsa Indonesia yang menjadi ciri berbusana hadir pada aneka ragam jenis kain tenun yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, seperti; Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, juga di beberapa daerah di Bali serta Jawa.
Masing-masing daerah memiliki corak, warna, dan gaya tenunan tersendiri. Perbedaan ini terjadi karena setiap daerah memiliki perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan kain tenun, seperti; letak geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan sosial, gaya hidup masyarakat serta lingkungan alam sebagai tempat mereka tinggal.
Salah satu tenunan yang terdapat di Pulau Jawa adalah tenunan Baduy. Meskipun tidak begitu dikenal seperti kain songket Palembang atau batik Pesisiran. Tenun Masyarakat Adat Baduy ini memiliki kekhasan tersendiri baik dari segi bahan maupun ragam hias yang mendasari pembuatannya. Tenun Baduy juga dipercaya mengandung fungsi dan makna-makna simbolis yang berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan Urang Kanekes.
Masyarakat adat Baduy merupakan komunitas adat yang bermukim di lereng Pegunungan Kendeng yang secara administratif termasuk dalam Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Keajegan Urang Kanekes ini dalam mempertahankan kepercayaan dan tradisi mereka dari dulu hingga sekarang dinilai tidak mengalami perubahan. Serta memiliki kecenderungan sebagaimana yang diungkapkan oleh Garna (1996:251), bahwasannya makin tinggi arus pengaruh budaya luar makin teguhlah sistem sosial Masyarakat adat Baduy.
Seni tenun mereka tetap lestari dan terus diwariskan dari generasi ke generasi untuk menopang kemandirian mereka dalam memenuhi kebutuhan berbusana agar keberlangsungan dan eksistensi mereka tidak bergantung kepada pihak lain.
II. Tenun Baduy Sebagai Identitas Masyarakat Adat Baduy
Seperti yang diungkapkan Kayam (1981:60), bahwa dalam batasan geografis khususnya di Asia Tenggara, kesenian telah tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan masyarakatnya. Dengan demikian, kesenian mengandung sifat-sifat atau ciri-ciri yang khas. Pertama, memiliki jangkauan yang terbatas pada kebudayaan yang menunjangnya. Kedua, merupakan pencerminan dari satu budaya yang berkembang. Ketiga, merupakan bagian dari satu ‘kosmos’ kehidupan yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi. Keempat, merupakan kreativitas individu, tetapi tercipta secara bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang menunjangnya.
Keunggulan cita rasa dari pembuatan kain yang dimiliki Orang Kanekes berkembang dalam berbagai wujud, sifat, bentuk, kegunaan, ragam hias, serta menjadi jati diri dan ciri khas masyarakat adat tersebut. Bahan kain untuk memenuhi kebutuhan sandang telah dibuat sendiri dari potensi alam yang ada dan dibuat dengan menggunakan alat tenun yang mereka buat sendiri. Betapapun sederhananya bahan, bentuk, pola hias, dan teknik pembuatannya, tenun Baduy merupakan benda budaya yang didasari oleh fungsi, nilai-nilai adat istiadat, sejarah, dan kekayaan alam setempat yang merupakan cerminan dari budaya mereka.
Keterampilan membuat seni tenun pada masyarakat adat Baduy (Urang Kanekes) bisa dikatakan tidak terlepas dari latar belakang yang dipengaruhi pelbagai unsur sejarah. Diperkirakan keahlian ini telah dimiliki oleh masyarakat yang hidup pada masa perundagian atau perunggu mulai abad ke-8 sampai abad ke-2 SM.
Sumber daya alam kapas merupakan salah satu bahan dalam membuat kain tenun. Kapas ini diproses dengan pemintalan sederhana, kemudian ditenun dengan alat dari kayu dan bambu yang ada di sekitar mereka. Pengetahuan tentang kapas sebagai bahan benang diduga telah dimiliki oleh Orang Kanekes sejak lama. Pada masa Kerajaan Pajajaran, Urang Kanekes setiap tahun sudah biasa memberikan persembahan 10 pikul kapas kepada kerajaan dan tradisi pembuatan kain dari bahan kapas dinyatakan sudah ada sejak masa tersebut (Iskandar, 2005:236). Ada yang beranggapan bahwa busana Urang Kanekes saat ini merupakan busana yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat pada masa silam.
Senada dengan hal tersebut, Anisjatisunda dalam Nanang (2009), memberikan pandangan lebih luas lagi tentang keberadaan kain tenun Baduy yang menurutnya sudah ada sejak masyarakat itu menetap di balik Gunung Kendeng (wilayah Kanekes sekarang). Hal ini kemudian dipertegas oleh pendapat Blume dalam Garna (1993) yang menyatakan keberadaan kain tenun di satu wilayah etnis sangat berkaitan dengan sejarah masyarakat itu sendiri.
Kain tenun sebagai fungsi utamanya untuk dijadikan pakaian, merupakan satu dari kebutuhan hidup bagi Urang Kanekes di samping makanan dan rumah untuk tempat tinggal. Tenun Baduy tampak sederhana jika dibanding dengan tenunan dari daerah lain. Namun, reka hias dan kerajinan tangan tenun Urang Kanekes ini merupakan karya cipta yang tinggi. Selain karena merupakan gabungan dari ungkapan estetis dan alam, reka hias itu juga mewakili sikap hidup mereka yang menyimpan ribuan tabu dan alam kosmos masyarakat adat Baduy. Dalam setiap kegiatan ritual keluarga atau agama, sepotong kain tenun hampir selalu menjadi bagian yang amat penting dalam kehidupan mereka.
Keragaman dan keunikan kain tenun Baduy merupakan cerminan dari filosofi kehidupan masyarakat adat Baduy. Serta merupakan kreasi dari bentuk-bentuk simbolis yang tertuang dalam adat hingga keseharian mereka. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai kepercayaan ini, oleh Kartiwa (2007:9) dikatakan bahwa unsur-unsur tersebut merupakan satu bentuk ekspresi pengakuan terhadap keberadaan, keagungan, dan kebesaran Tuhan, Sang Maha Pencipta kehidupan semua makhluk di dunia.
Kain tenun dalam Masyarakat adat Baduy, tidak hanya berfungsi sekedar penutup tubuh yang melindungi pemakainya dari kondisi cuaca atau iklim. Bukan pula sekedar benda fisik yang dapat digunakan untuk menggendong bayi, atau fungsi-fungsi fisik lainnya. Kain tenun juga memiliki arti lain daripada sekedar kebutuhan fungsional. Bentuk dan corak keindahan dalam selembar kain, tidak semata-mata bertalian dengan pemenuhan keindahan saja. Melainkan terkait secara menyeluruh dengan kebudayaan dan ciri khas pemangkunya.
Sehingga keindahannya tidak dipandang sebagai satu-satunya dari dampak keberadaan seni tenun pada masyarakat adat Baduy. Selain itu, seni tenun Baduy juga mencerminkan keajegan Urang Kanekes dalam mempertahankan kepercayaan, tradisi, serta memiliki kecenderungan sebagaimana diungkapkan oleh Garna (1996:251), bahwa makin tinggi arus pengaruh budaya luar, makin kuat sistem sosial mereka. Hal itu juga tercermin pada tradisi mereka dalam membuat sehelai kain dengan cara bertenun.
Kegiatan menenun dalam masyarakat adat Baduy juga merupakan salah satu perwujudan dari konsep amalan tapa yang dilakukan perempuan Baduy. Karena membuat kain tenun merupakan pemenuhan kebutuhan sandang. Tidak ada hari tanpa bekerja, baik pria maupun wanita, sesuai dengan posisi dan porsinya dalam kehidupan. Itulah makna dari tapa bagi masyarakat adat Baduy. Serta sebagian besar amalan tapa Urang Kanekes memang berhubungan dengan padi dan kegiatan perladangan. (wawancara Jaro Dainah, 11 April 2010).
Urang Kanekes percaya bahwa mereka harus tetap ada dalam kesahajaan dan kesederhanaan. Karena menurut kepercayaan mereka, meninggalkan kesederhanaan berarti membatalkan tapa di dunia. Tapa dalam pengertiannya Urang Kanekes, seperti yang diungkapkan Permana (1996:40-41), bukan melakukan samadi (berdiam diri di tempat sunyi), melainkan melaksanakan semua aturan yang sebelumnya telah digariskan oleh karuhun (nenek moyang) mereka.
Orientasi masyarakat adat Baduy dalam tinggkatan status sosial juga terlihat pada kepatuhan meraka terhadap pakaian yang mereka kenakan. Masyarakat adat Baduy dipisahkan oleh garis sosial yang membentuk status dan tampak memperlihatkan dua subkultur berbeda. Masyarakat Baduy memisahkan status sosial berdasarkan wilayah pemukiman mereka ke dalam tiga bagian; Tangtu, Panamping, dan Dangka. Tangtu merujuk pada masyarakat adat Baduy Dalam, sedangkan Panamping dan Dangka merujuk pada masyarakat adat Baduy Luar.
Pada gilirannya, pelapisan sosial ini pun memengaruhi tata cara mereka berpakaian dan menenun. Warna putih digunakan pada bahan kain tenun dan pakaian yang dikenakan oleh Baduy Dalam. Sedangkan Baduy Luar diberi identitas yang berbeda, yaitu berpakaian hitam. Selain itu, mereka yang disebut Baduy Dalam menenun kain tenun terbatas pada kain yang berwarna putih atau hitam saja. Sedangkan pada Baduy Luar mereka telah diperbolehkan menenun dengan variasi warna yang lebih beragam.
Baduy Dalam adalah masyarakat Baduy yang merepresentasikan Masyarakat Adat Baduy pada masa lalu. Sedangkan Baduy Luar adalah bagian dari masayarakat adat Baduy yang dipersiapkan sebagai penjaga, penyangga, penyaring, pelindung dan sekaligus silaturahmi yang intensif dengan pihak luar wilayah adat Baduy (Kurnia dan Sihabudin, 2010:27).
Akan tetapi, dalam kaitan ini, Garna (1988), melihat bahwa antara Baduy Luar dan Baduy Dalam adalah seperti rangka dengan isi. Baduy Dalam merupakan nenek moyang atau karuhun, dengan istilah lain dapat dikatakan sebagai pusat dari seluruh masayarakat adat Baduy. Sementara Baduy Luar, merupakan isi dari seluruh keturunannya. Baduy Luar jika melihat pada adat di masyarakat adat Baduy, merupakan masyarakat yang telah diberikan kebijakan berupa kelonggaran pada peraturan adat dalam pelaksanaan kegiatan hidup sehari-hari.
Kebijakan dan kelonggaran pada masayarakat Baduy Luar dapat dilihat dalam berbagai segi kehidupannya, seperti; penggunaan transportasi di luar kawasan Baduy, pembukaan lahan di luar kawasan hak ulayat (adat) Baduy, penggunaan alat perlengkapan hidup khususnya dalam bidang kesehatan dan rumah tangga, hingga menenun dengan variasi warna dan jenis yang tidak terbatas pada hitam dan putih saja. Kelonggaran-kelonggaran tersebut pada dasarnya masih tidak diperbolehkan untuk masayarakat Baduy Dalam.
Sementara itu dalam kaitan dengan seni tenun, warna putih yang digunakan pada bahan kain tenun Baduy tidak diwarnai atau tetap menggunakan warna asli kapas yang putih. Dalam kepercayaan Urang Kanekes warna putih bermakna terang, bersih, atau sebagai Hyang yang tidak memiliki wujud. Hal ini berkaitan dengan makna kesucian, terletak pada tingkat atas dari sistem nilai kepercayaan yang mereka anut. Sedangkan Warna hitam pada pakaian Baduy Luar, menurut penelaahan Jatisunda (2008), mengandung makna gelap atau malam. Gelap atau hitam dalam konteks budaya Baduy akan menjadi pelindung di balik yang putih atau terang.
Kreativitas Urang Kanekes dalam membuat kain tenun terbentuk melalui suatu perjalanan panjang. Selama kurun waktu yang lama, melalui pelbagai kegiatan tradisi dan budaya yang mendasarinya, masyarakat adat Baduy menciptakan pelbagai teknik pembuatan kain tenun dan ragam hiasnya. Apabila dilihat dari latar belakang kehidupan Urang Kanekes, seni tenun Baduy telah hidup di tengah-tengah masyarakat yang bersatu dengan kegiatan sehari-hari mereka. Menenun mempunyai nilai estetika. Motif-motif yang tergambar pada kain tenun tidak sekadar mengikuti perkembangan pasar, tetapi sebagian besar masih terikat oleh nilai tradisional yang dikembangkan.
Seni tenun Baduy dalam keseluruhan penggarapan seni di Desa Kanekes, menjadi satu dengan unsur-unsur seperti lingkungan hidup, persediaan bahan mentah, kesempatan pemasaran, kreativitas, dan latar budaya etnik yang mendasarinya hingga dapat terus lestari hingga kini. Tradisi pengajaran pengetahuan menenun yang dilakukan oleh setiap wanita Baduy yang terampil menenun kepada anak atau saudara perempuannya yang memiliki minat untuk menenun, menjadi faktor utama lestarinya seni tenun di Desa Kanekes.
Seni tenun baduy dalam lingkup kehidupan masyarakat adat Baduy menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Kain telah terjalin erat ke dalam lingkaran budaya hidup masyarakatnya. Sejak lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal dunia ‘dibungkus’ dengan kain tenun.
Tenun sangat dekat dengan kehidupan, khususnya dalam lingkungan keluarga. Aktivitas menenun sepintas memang tampak sebagai kegiatan sambilan yang seolah-olah hanya merupakan aktivitas pengisi waktu luang bagi kaum perempuan Baduy. Namun, apabila ditelusuri secara mendetail dan mendalam, ternyata aktivitas menenun mengandung sejumlah nilai. Menenun mempunyai nilai kedisiplinan. Kepada setiap anak perempuan yang lahir di Baduy, sejak kecil, mereka sudah ditanamkan kedisiplinan yang tinggi dengan cara mempelajari aturan adat dan nilai-nilai Masyarakat Adat Baduy. Salah satunya berhubungan dengan aktivitas menenun.
Seni tenun sebagai seni kriya kewanitaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1985:16), bahwa kegiatan menenun merupakan warisan keterampilan turun temurun serta garis penghubung antar generasi yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan di beberapa tempat terutama di daerah pedesaan. Bahkan di beberapa daerah, keterampilan menenun adalah suatu kewajiban adat istiadat yang menunjukkan salah suatu ukuran feminin bagi seorang wanita.
Kegiatan menenun pada masyarakat Kanekes pun dipercaya merupakan wujud dari ketaatan yang dilakukan oleh perempuan Baduy terhadap aturan adat yang mereka junjung. Orang Baduy yang selalu merasakan kondisi ketercukupan, dan karenanya tidak lagi merasa perlu atau gelisah mencari sesuatu hal lain dari luar. Konsep bermukim dalam ketercukupan inilah yang terus-menerus dibina oleh tradisi Baduy dari generasi ke generasi, hingga saat ini. Kegiatan menenun merupakan penjabaran dari konsep tersebut. Kegiatan memenun terus mereka galakan sebagai bagian dari upaya untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian yang dapat mereka upayakan secara mandiri.
Tidak dikembangkannya sistem pemikiran ataupun teknik yang lebih canggih, bukan karena rendahnya mutu sumber daya manusianya, tetapi lebih dapat dimengerti dari nilai kesahajaan dan kesederhanaan mereka. Sebagaimana yang tertuang dalam ungkapan bijak mereka: sare tambah teu tunduh, ngawadang tambah teu lapar, make tambah teu taranjang. Artinya, tidur sekedar pelepas kantuk, makan sekedar pelepas lapar, berpakaian agar tidak telanjang
1. Kekhususan Seni Tenun Baduy
Seni tenun di daerah-daerah lainnya di Nusantara sekilas tampak memiliki pola-pola hias yang hampir sama. Kendati demikian, kain-kain tersebut tetap mempunyai ciri, keunikan, dan kekhasannya tersendiri. Hal ini menjadi bukti bahwa setiap daerah atau kelompok komunitas memiliki ungkapan keindahannya sendiri yang dipertahankan dan dituangkan kedalam sehelai kain tenun.
Kekhasan tenun Baduy adalah bahannya yang agak kasar dan warnanya cenderung dominan. Bintik-bintik kapas dari proses pemintalan tradisional telah menghasilkan tekstur yang khas tenun Baduy dengan alat pemintal tradisional yaitu gedogan/raraga. Kain tenun yang awalnya dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan sandang, dibuat sederhana dengan menggunakan motif geometris.
Ragam hias pada tenun Urang Kanekes yang berbentuk geometris tersebut telah dihasilkan oleh para wanita secara turun-temurun sehingga tidak ada yang tahu pasti asal usul dari ragam hias tersebut. Akan tetapi, dalam ragam hias tenunan Indonesia, pengetahuan seni ragam hias geometris merupakan gambaran dari pengetahuan konsep tentang alam dan lingkungan hidup.
Konsep ragam hias yang diilhami oleh lingkungan alam menunjukkan bahwa sudah sejak dahulu alam dan lingkungan dianggap mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Dalam ragam hias tenun Baduy, unsur-unsur tadi diwujudkan dalam bentuk-bentuk garis geometris seperti garis berbentuk kait, spiral atau disebut juga pilin, garis lurus, segi tiga, segi empat, bulatan, dan masih banyak lagi.
Meskipun demikian, di antara teknik penciptaan ragam hias lainnya, menenun adalah yang paling menonjol karena pembuatannya yang relatif lebih rumit dan lama dibandingkan kerajinan lain. Bisa dikatakan proses penciptaan motif dengan menenun sangat sulit karena membutuhkan kemampuan kreativitas, serta ketekunan dan ketelitian yang tinggi dari pembuatnya.
Wanita Tangtu (Baduy Dalam) hanya menenun dua warna tenunan yaitu hitam/biru tua (nila) dan putih polos. Sedangkan jenis dan motif yang dihasilkan para perajin tenun Baduy dari masa ke masa relatif tidak mengalami perubahan begitu banyak. Wanita suku Baduy dalam pembuatan kain tenun, biasanya berfokus pada dua jenis kain tenun, antara lain:
Menenun merupakan runtutan menyusun atau mengatur benang-benang pakan (benang yang ditata dengan arah melebar) dan benang-benang lungsi (benang yang ditata dengan arah memanjang) yang ditenun sedemikian rupa pada alat tenun. Sehingga ketika berlangsung penenunan, berlangsung pula pembentukan ragam hias sebagai akibat paduan warna dari kedua jenis benang tersebut (Tim Museum Purna Bhakti Pertiwi, 1996: 28).
Pemintalan, pencelupan, dan penenunan merupakan pekerjaan wanita. Banyak larangan perilaku dan tabu yang dihubungungkan dengan keindahan tatacara dan aturan menenun di masyarakat adat Baduy. Di antaranya adalah perempuan Baduy tidak boleh menenun pada saat bulan-bulan yang dilarang, dan hari saat akan dilaksanakan upacara adat.
Selain itu larangan dan tabu juga menggambarkan hubungan antara norma keindahan dan fungsi sosial seni. Di antaranya adalah wanita Baduy Dalam tidak boleh menenun selain warna hitam dan putih. Di seluruh Indonesia, kita menemukan adanya penekanan yang kuat akan hal-hal yang diatur secara ketuhanan atau aspek moral estetika. Dan kecenderungannya adalah, jika terjadi pelanggaran terhadap norma-norma tersebut maka akan meniadakan fungsi sosial dari benda itu.
Kegiatan menenun dilakukan pada waktu senggang di siang hari oleh wanita-wanita Baduy setelah mereka memasak, membenahi rumah, mengurus anak, mencari kayu bakar, dan pergi ke ladang. Sehingga tidak ada waktu senggang yang mereka lewatkan, karena mereka gunakan untuk bertenun.
Proses pembuatan kain tenun Baduy dibagi menjadi dua bagian, yaitu proses persiapan dan proses penenunan. Masyarakakat Baduy menenun dengan alat tenun yang oleh Urang Kanekes lebih dikenal dengan sebutan pakara atau raraga (seperangkat alat tenun). Sampai saat ini, kebanyakan para perajin tenun Baduy masih menggunakan alat tenun tradisional yang terbuat dari konstruksi kayu dan bambu yang kurang lebih berukuran 2 x 1.5 meter sebagai tempat merentangkan benang yang akan ditenun dalam proses penenunan seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
b) Taropong, sepotong bambu (tamiang), tempat memasukkan benang kanteh (pakan).
c) Tali caor, tali yang mengikatkan bilah caor dengan kain yang ditenun di sebelah kiri dan kanan penenun.
d) Suri/Sisir, alat berbentuk sisir, untuk membereskan benang pakan dan benang lusi.
e) Hapit, bilahan papan untuk menggulung kain hasil tenun.
f) Barera, sebilah kayu alat bertenun untuk merapatkan benang pakan agar kain tenun menjadi rapat
g) Jingjingan, bagian dari gedogan, tempat menambatkan lusi.
h) Limbuhan, sebilah kayu yang memanjang seperti mistar berbentuk bulat untuk merenggangkan kedudukan benang tenun
i) Kekedal, patitihan, totojer, bilahan kayu tempat kaki penenun bertelekan
j) Rorogan, sebilah kayu alat penahan berera, terletak sebelah kanan penenun.
k) Totogan, bilahan papan/kayu sebagai alat penahan ketika proses bertenun.
l) Cangcangan, bilahan papan/kayu, sebagai penguat alat bertenun
Selain raraga (seperangkat alat tenun) di atas, terdapat alat atau perlengkapan lainnya yang biasa digunakan dalam menenun tenun Baduy di antaranya: dadampar (bilahan papan yang digunakan untuk tempat duduk penenun), Galeger (bilahan papan/kayu, sebagai penguat alat bertenun), Kincir (alat untuk memintal benang kanteh), golebag (tempat untuk memindahkan benang hasil pintalan) pihane (alat untuk membereskan benang kanteh). Seungkeur (sebilah papan/bambu untuk menentukan ukuran lebar kain yang ditenun), tudingan/tutuding (sebilah kayu/bambu untuk alat mengait atau mengambil dan atau membetulkan sesuatu yang letaknya agak jauh dari penenun).
III. Perkembangan Seni Tenun Baduy di Desa Kanekes
Sejarah mencatat bahwa kebudayaan senantiasa berubah dan berkembang. Perkembangan tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan itu sendiri atau karena perubahan lingkungan alam, dan atau fisik tempat masyarakat tersebut berada. Haviland (1993: 251), menganalisa kemampuan berubah dan berkembang dalam kebudayaan tersebut sebagai salah satu sifat yang penting dalam kebudayaan manusia.
Tanpa adanya kemampuan itu, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah. Semua kebudayaan pada suatu waktu pasti berubah karena bermacam-macam sebab, salah satu sebabnya adalah perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif (mudah menyesuaikan diri dengan keadaan).
Kemampuan berubah merupakan sifat penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa perubahan, kebudayaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Akan teteapi, pelestarian budaya lokal juga mempunyai muatan ideologis yaitu sebagai gerakan untuk mengukuhkan kebudayaan, sejarah dan identitas (Lewis, 1983: 4). Serta sebagai penumbuh kepedulian masyarakat untuk mendorong munculnya rasa memiliki masa lalu yang sama di antara anggota komunitas (Smith, 1996: 68).
Soekanto (2005:142-143) mengatakan bahwa suatu masyarakat yang disebut ‘statis’ (dalam keadaaan diam atau tetap) adalah masyarakat yang mengalami sedikit sekali perubahan, sedangkan pada masyarakat yang dinamis (mudah menyesuaikan diri dengan keadaan) merupakan masyarakat yang mengalami perubahan dengan cepat. Perubahan di masyarakat dapat berkenaan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola perilaku, organisasi, struktur lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan interaksi sosial. Selanjutnya, jika unsur-unsur pembentuk kebudayaan tersebut berubah, maka akan terjadi perubahan pada persepsi, sikap, dan perilaku sosial masayarakatnya.
Keterbukaan yang telah mengundang masuknya banyak unsur yang baru dalam kebiasaan masyarakat, merupakan sebuah proses mencairnya batas-batas lingkungan kebudayaan yang lama menuju batas-batas lingkungan kebudayaan yang lebih luas. Dengan kata lain, adalah berubahnya konsep solidaritas yang lebih sempit menuju ke konsep solidaritas yang lebih luas. Atau, untuk mengutip rumusan lain, proses tersebut oleh Kayam (1981:158,159) dinamakan sebagai proses tawar-menawar nilai-nilai antara pelbagai masyarakat atau lingkungan kebudayaan.
Masyarakat adat Baduy, meski dikatakan merupakan kelompok masyarakat tertutup, tidak menutup kemungkinan telah dan akan mengalami perubahan. Lambat atau cepat perubahan pasti terjadi, perubahan yang dimaksudkan bisa jadi terlihat di dalam perilaku (tingkah laku) dari anggota masyarakat sehari-hari maupun secara individual, dalam berkelompok atau antar kelompok.
Cara seseorang atau sekelompok orang berpikirpun bisa berubah. Perubahan sering dapat diamati dengan jelas, misalnya dari cara seseorang berperilaku, berpakaian, atau menampilkan dirinya dari bentuk atau gaya rumah dan tata ruangan, cara berbicara dan lain-lain. Pada beberapa poin-point di atas, beberapa peneliti telah mendeskripsikan perubahan tersebut telah terjadi pada masyarakat adat Baduy.
1. Perkembangan Tenun Baduy dalam kehidupan Masyarakat Kanekes
Masyarakat adat Baduy sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam sebuah keseimbangan telah memolakan kegiatan komunitasnya berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sakral dan harus dipatuhi olah setiap anggota masyakaratnya. Bila terjadi perubahan pada salah satu bagian, mereka percaya hal itu akan mempengaruhi bagian lain yang pada akhirnya mempengaruhi sistem keseluruhan. Oleh karenanya, perubahan budaya pada masyarakat adat Baduy senantiasa dilahirkan dari perubahan makna dan nilai yang didasarkan atas pemuasan terhadap kebutuhan yang benar-benar tidak bisa dielakan.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan banten yang memasukkan Kanekes ke dalam wilayahnya tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan (pengakuan) kepada penguasa Kesultanan Banten, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) ke Kesultanan Banten (Garna,1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan dalam kurun waktu satu tahun sekali kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes (khususnya Baduy Luar) kerap berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Peningkatan penduduk di daerah Kanekes juga ikut membawa arus perkembangan dalam pola kehidupan mereka. Pertumbuhan penduduk Baduy yang relatif pesat (6-8% per tahun) telah mengakibatkan perkembangan nilai kehidupan di Suku Baduy. Salah satunya terlihat telah mengakibatkan tekanan pada sektor mata pencaharian dan perekonomian yang tidak lagi dapat ditampung oleh sektor pertanian. Di samping adanya kenyataan bahwa pertambahan jumlah kampung di Desa Kanekes tersebut juga telah menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak oleh keperluan lahan untuk penyediaan permukiman. Menenun kemudian menjadi salah satu bagian dari sektor kerajinan yang diangkat guna memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada pola pola kehidupan Urang Kanekes juga berkembang sejalan dengan arus pariwisata yang mulai tumbuh sejak tahun 1992. Dengan menjadikan tanah ulayat (adat) Baduy yang terkenal akan keindahan ekologinya sebagai obyek wisata. Orientasi wilayah Baduy sebagai objek wisata pun kemudian diikuti dengan pembangunan beberapa sarana dan prasarana guna memudahkan pengunjung datang ke wilayah Baduy. Salah satunya adalah pembangunan terminal di Ciboleger yang merupakan tempat pemberhentian terakhir menuju pemukiman Masyarakat Adat Baduy.
Intensitas kunjungan orang luar ke wilayah adat Baduy, maupun seringnya Urang Kanekes pergi ke luar untuk berdagang (dan atau berkunjung), sedikit banyak telah terjadi interaksi dengan budaya di luar masyarakat adat Baduy itu sendiri. Interaksi ini juga didukung dari mudahnya akses dalam mendapatkan informasi oleh masyarakat adat Baduy. Dengan terbukanya jalan masuk yang mudah diakses oleh Urang Kanekes maupun masyarakat luar Baduy.
Interaksi yang insentif antara wisatawan dan penduduk lokal secara kognitif mampu merubah pola hidup penduduk. Berdasarkan data yang diperoleh, tiap bulannya ratusan wisatawan datang untuk mengunjungi tanah ini dan juga menginap di rumah-rumah penduduk. Hal ini lambat laun membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat adat Baduy.
Sejalan dengan perkembangannya, tenun Baduy yang pada dekade 80-an masih digunakan sebagai media pertukaran barter, kini telah berkembang dan masuk dalam sektor-sektor perekonomian penting bagi masyarakat adat Baduy. Menurut hasil wawancara dengan beberapa tokoh dan masayarakat Baduy, tenun pada masa lalu digunakan sebagai alat pembayaran bagi pola perekomonian mereka. Seorang yang diminta untuk menggarap lahan selain di bayar menggunakan hasil garapan tersebut (dua hari kerja diganti dengan tiga ikat padi), bagi mereka yang membutuhkan kain tenun dan tidak bisa menenun akan dibayar dengan menggunakan kain tenun sebagai pengganti padi. (wawancara Erwin, 9 April 2011).
Tenun juga menjadi bagian dari sistem pertukaran dengan barang lain yang mereka butuhkan sehari-hari. Ketika satu hasil kerajinan mereka ditukar dengan menggunakan tenun, ukuran pembayaran ini ditentukan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Tenun yang dibuat oleh Masyarakat Adat Baduy, lambat laun telah melekat menjadi jati diri yang menjadi ciri khas bagi masyarakatnya. Terutama kini tenun Baduy berfungsi sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang menunjang penghidupan dan mata pencaharian mereka.
Sektor ekonomi merupakan perangsang bagi sektor lain. Pada awalnya, perekonomian masyarakat adat Baduy lebih menggambarkan sistem yang tertutup, dalam arti aktivitas perekonomian dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan diproduksi serta dikosumsi di lingkungan mereka sendiri. Pada akhirnya, sektor ekonomi lah yang merangsang perubahan di sana. Suku Baduy kini telah akrab dengan sistem jual beli. Perubahan tersebut terjadi karena mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan ”keseharian” mereka dengan cara seperti itu.
Banyaknya kebutuhan yang timbul dan terjadinya perubahan karena perkembangan zaman mengakibatkan perkembangan budaya tidak dapat dihindari oleh masyarakat adat Baduy Luar. Pola hidup yang sebelumnya baku dan kaku, mulai tumbuh sikap keterbukaan terhadap pola-pola hidup modern. Bahkan sebagian dinilai telah mengadopsi gaya-gaya hidup masyarakat luar walaupun tidak secara draktis.
Meskipun Urang Kanekes telah cukup lama mengenal uang sebagai alat pembayaran berdampingan dengan sistem perekonomian pertukaran, barter. (wawancara Abah, 9 April 2010). Akan tetapi, pola pola pertukaran dengan sistem barter kadang tetap mereka lakukan antar sesama warga Baduy hingga saat ini. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger (wawancara Pulung, 9 April 2010). Hanya sedikit kini dari mereka yang menggunakan model pertukaran, uang sebagai alat penukarpun merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat adat Baduy.
Seni tenun Baduy yang pada awalnya untuk memenuhi kehidupan dan bagian dari keseharian mereka. Kini, menenun dapat juga dikategorikan sebagai kegiatan yang menambah dan membantu perekonomian Urang Kanekes berdampingan dengan kegiatan berladang. Menenun kini mempunyai nilai ekonomi. Nilai ekonomi inilah yang secara tidak langsung telah mengangkat derajat perempuan-perempuan Baduy dari sektor domestik ke sektor publik. Tenunan buatan Urang Kanekes sekarang mulai dijual kepada para pengunjung luar sebagai barang kerajinan khas untuk cenderamata.
Permintaan kain tenun Baduy bahkan terus meningkat karena didorong oleh banyaknya para pengunjung (turis domestik ataupun asing) yang datang ke Baduy. Serta ketertarikan masayarakat luar terhadap kain tenun Baduy ini, telah membuat sebuah perkembangan baru dalam tradisi seni tenun mereka. Perkembangan ini tampak pada produksi benang sebagai bahan baku kain tenun. Menenun dengan membuat benang sendiri dinilai memakan waktu yang lama, sedangkan permintaan kain terus bertambah.
Untuk memangkas durasi produksi, pembuatan dan pewarnaan bahan benang (bodasan) dan bahan celup yang digunakan untuk mewarnai benang tersebut memasuki periode tahun 90-an telah dipasok dari luar Baduy (wawancara Erwin, 9 April 2011). Kawasan yang terkenal sebagai pemasok bahan-bahan tersebut adalah daerah Majalaya, Kabupaten Bandung. Pengrajin tenun Baduy hanya mencelupnya (bahkan pencelupan pun sebagian sudah tidak dilakukan) dan menggulungnya sebelum ditenun; pada awalnya bahan benang dan pewarnaan itu dibuat sendiri oleh Masyarakat Adat Baduy.
Penggarapan seni tenun Baduy pada perkembangannnya kemudian diarahkan agar bersifat komunal. Pengerjaan tenun Baduy di Desa Kanekes telah bergerak ke arah produksi skala rumah tangga yang telah memiliki pola distirbusi yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang lebih luas. Perubahan seperti ini telah lebih dulu hadir pada usaha-usaha perladangan mereka dengan munculnya pengusaha perkebunan dengan jaringan yang cukup luas.
2. Perkembangan Ragam dan Jenis Tenunan
Variasi awal yang dikembangkan adalah tenunan selendang polos putih dengan deretan hiasan tumpal pada kedua ujungnya seperti yang terlihat pada gambar di atas. Tenunan tersebut dapat dijadikan ikat pinggang oleh Masyarakat Adat Baduy. Tenunan selendang masyarakat adat Baduy yang berkesan lebih dinamis kemudian hadir pada tenunan selendang putih mereka yang dihiasi corak kotak-kotak tipis diselingi benang warna-warni. Selain itu ada pula bentuk corak geometris merah seperti yang terlihat pada tenun Adu Mancung.
Kreativitas dan perkembangan tenun Badu tampil pada tenunan selendang yang disebut suat. Tenunan suat ini hadir dalam beberapa variasi tenunan yang menampakkan perkembangan motif maupun variasi warna baru. Meskipun demikian, warna benang hitam atau biru tua tetap sebagai warna-warna yang sering ditonjolkan.
IV. Pungkasan
Seni Tenun Baduy pada masyarakat adat Baduy berkemampuan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang, tetapi menciptakan identitas keajegan Urang Kanekes dalam mempertahankan kepercayaan dan tradisi mereka. Di samping itu, Kegiatan menenun juga menjadi transmisi adat dan istiadat mereka kepada generasi selanjutnya agar dapat hidup mandiri.
Perkembangan yang terjadi pada seni tenun masyarakat adat Baduy dapat dinilai merupakan ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Ketika masyarakat yang menyangga kebudayaan tersebut selain mencipta, juga memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, dan mengembangkan dengan memberi sebuah muatan lain dalam proses menciptakan kebudayaan baru. Kreativitas kesenian harus dipahami dalam konteks perkembangan sebuah masyarakat. Kekayaan tradisi dan ciri khas artistik masyarakat adat baduy luar biasanya justru tetap dijaga dan diupayakan tetap melekat.
Eksplorasi yang dilakukan terhadap ragam hias tenun Baduy ternyata tidak bertujuan untuk mengubah tatanan budaya mereka, namun eksplorasi ini dilakukan untuk menambah macam ragam hias dari tenun Baduy. Bahkan, Masyarakat Baduy jarang menggunakan sendiri tenunan selendang suat yang mereka buat. Terlebih bagi masyarakat Baduy Dalam yang hanya memakai warna putih atau hitam saja. Tenunan selendang suat hanya mereka jual khususnya kepada para pengunjung yang datang ke wilayah Baduy, atau sengaja mereka pasarkan sendiri keluar. Karena itulah tenunan variasi baru yang hadir pada perkembangan tenun Baduy tidak mempuyai makna khusus bagi masyarakatnya selain untuk kareseupan (berkesenian).
Sumber Rujukan
Garna, Judistira K. (1987). Orang Baduy. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
__________ (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
__________ (1996). Masyarakat Tradisional Banten dan Upaya Pelestarian Nilai-nilai Budaya: Studi Kasus Masyarakat Baduy, dalam Hasan Muarif Ambary (peny.) Masyarakat dan Budaya Banten: Kumpulan Karangan Ruang Lingkup Arkeologi, Sejarah dan Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Haviland, William A. (1993). Antropologi Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Iskandar, Johan (1992) Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
Kayam, Umar (1981) Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan
Kartiwa, Suwati. (2007). Tenun Ikat: Ragam Kain Tradisional Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kurnia, Asep, Ahmad Sihabudin. (2010). Saatnya Baduy Bicara. Jakarta : Bumi Aksara
Koentjaraningrat. (1985). Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Lewis, M. (1983). Conservation: A Regional Point of View. dalam M. Bourke, M. Miles dan B. Saini (eds). Protecting the Past for the Future. Canberra: Austraalian Government Publishing Service.
Rangkuti, Nurhadi (1988). Orang Baduy dari Inti Jagat. Yogyakarta: Bentara Budaya, Harian Kompas, Etnodata, Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Praseda.
Suardi, Dedi (2000) Ornamen Geometris. Bandung : Rosdakarya
Soekanto, Soerjono (2005). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Garna, Judistira K. (1988). TangtuTeluJaro:Tujuh Kajian Struktutal Masyarakat baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia. Tesis Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Permana, C.E. (1996). Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Pascasarjana Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta: Tidak diterbitkan
Prawira, Nanang G. (2009). Mengenal Budaya Rupa Sunda Wiwitan [online] Tersedia:http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._SENI_RUPA/196202071987031/NANANG_GANDA_PRAWIRA/MENGENAL_BUDAYA_RUPA_SUNDA_WIWITAN.pdf [20 Januari 2011]
Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Lebak. (1990). Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 13 Tahun 1990 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak
Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Lebak. (2001). Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor:32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy
Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-batas Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Ciri khas masyarakat adat Baduy (Urang Kanekes) yang tinggal di pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten ini adalah masih kokohnya tradisi yang diwariskan oleh karuhun (nenek moyang) mereka. Bagaimana mereka berladang, memperlakukan alam, dan memperlakukan sesama telah dikukuhkan sebagai sebuah keyakinan yang mencerminkan nilai tradisi dan budaya masyarakatnya.
Salah satu tradisi yang dinilai masih bertahan adalah cara mereka berbusana dan aktivitas membuat kain dengan cara ditenun. Kain tenun, bagi masyarakat adat Baduy, selain berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sandang, juga memiliki fungsi sebagai identitas. Khusunya terhadap nilai-nilai adat yang juga melambangkan eksistensi mereka. Perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar dapat dilihat dari warna dan tenunan yang mereka kenakan.
Kegiatan menenun juga memiliki makna ketaatan bagi para wanita Baduy. Pada perkembangannya, tenun baduy, khusunya tenun selendang yang mereka sebut tenun suat, hadir sebagai kreasi tenunan baru yang lambat laun dikembangkan oleh mereka sendiri dan mulai dikenal serta diminati oleh beberapa kalangan. Tenunan suat ini tidak memiliki makna khusus yang mendasari pembuatannya karena tenun tersebut lebih ditunjukan untuk kareuseupan (berkesenian) dan juga untuk kepentingan ekonomi mereka.
Tulisan ini mencoba untuk mengangkat perkembangan tenun Baduy sebagai Identitas masayarakat adat Baduy (Urang Kanekes) di masa lampau hingga keberadaannnya sekarang yang masih berusaha tetap dijaga.
I. Pendahuluan.
Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang berlimpah jika dibandingkan dengan bangsa manapun di dunia ini. Bahkan, setiap suku di Indonesia mempunyai ciri busana khas sendiri. Selain batik yang telah dikenal secara luas, warisan budaya bangsa Indonesia yang menjadi ciri berbusana hadir pada aneka ragam jenis kain tenun yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, seperti; Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, juga di beberapa daerah di Bali serta Jawa.
Masing-masing daerah memiliki corak, warna, dan gaya tenunan tersendiri. Perbedaan ini terjadi karena setiap daerah memiliki perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan kain tenun, seperti; letak geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan sosial, gaya hidup masyarakat serta lingkungan alam sebagai tempat mereka tinggal.
Salah satu tenunan yang terdapat di Pulau Jawa adalah tenunan Baduy. Meskipun tidak begitu dikenal seperti kain songket Palembang atau batik Pesisiran. Tenun Masyarakat Adat Baduy ini memiliki kekhasan tersendiri baik dari segi bahan maupun ragam hias yang mendasari pembuatannya. Tenun Baduy juga dipercaya mengandung fungsi dan makna-makna simbolis yang berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan Urang Kanekes.
Masyarakat adat Baduy merupakan komunitas adat yang bermukim di lereng Pegunungan Kendeng yang secara administratif termasuk dalam Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Keajegan Urang Kanekes ini dalam mempertahankan kepercayaan dan tradisi mereka dari dulu hingga sekarang dinilai tidak mengalami perubahan. Serta memiliki kecenderungan sebagaimana yang diungkapkan oleh Garna (1996:251), bahwasannya makin tinggi arus pengaruh budaya luar makin teguhlah sistem sosial Masyarakat adat Baduy.
Seni tenun mereka tetap lestari dan terus diwariskan dari generasi ke generasi untuk menopang kemandirian mereka dalam memenuhi kebutuhan berbusana agar keberlangsungan dan eksistensi mereka tidak bergantung kepada pihak lain.
II. Tenun Baduy Sebagai Identitas Masyarakat Adat Baduy
Seperti yang diungkapkan Kayam (1981:60), bahwa dalam batasan geografis khususnya di Asia Tenggara, kesenian telah tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan masyarakatnya. Dengan demikian, kesenian mengandung sifat-sifat atau ciri-ciri yang khas. Pertama, memiliki jangkauan yang terbatas pada kebudayaan yang menunjangnya. Kedua, merupakan pencerminan dari satu budaya yang berkembang. Ketiga, merupakan bagian dari satu ‘kosmos’ kehidupan yang tidak terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi. Keempat, merupakan kreativitas individu, tetapi tercipta secara bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang menunjangnya.
Keunggulan cita rasa dari pembuatan kain yang dimiliki Orang Kanekes berkembang dalam berbagai wujud, sifat, bentuk, kegunaan, ragam hias, serta menjadi jati diri dan ciri khas masyarakat adat tersebut. Bahan kain untuk memenuhi kebutuhan sandang telah dibuat sendiri dari potensi alam yang ada dan dibuat dengan menggunakan alat tenun yang mereka buat sendiri. Betapapun sederhananya bahan, bentuk, pola hias, dan teknik pembuatannya, tenun Baduy merupakan benda budaya yang didasari oleh fungsi, nilai-nilai adat istiadat, sejarah, dan kekayaan alam setempat yang merupakan cerminan dari budaya mereka.
Keterampilan membuat seni tenun pada masyarakat adat Baduy (Urang Kanekes) bisa dikatakan tidak terlepas dari latar belakang yang dipengaruhi pelbagai unsur sejarah. Diperkirakan keahlian ini telah dimiliki oleh masyarakat yang hidup pada masa perundagian atau perunggu mulai abad ke-8 sampai abad ke-2 SM.
Sumber daya alam kapas merupakan salah satu bahan dalam membuat kain tenun. Kapas ini diproses dengan pemintalan sederhana, kemudian ditenun dengan alat dari kayu dan bambu yang ada di sekitar mereka. Pengetahuan tentang kapas sebagai bahan benang diduga telah dimiliki oleh Orang Kanekes sejak lama. Pada masa Kerajaan Pajajaran, Urang Kanekes setiap tahun sudah biasa memberikan persembahan 10 pikul kapas kepada kerajaan dan tradisi pembuatan kain dari bahan kapas dinyatakan sudah ada sejak masa tersebut (Iskandar, 2005:236). Ada yang beranggapan bahwa busana Urang Kanekes saat ini merupakan busana yang digunakan oleh masyarakat Jawa Barat pada masa silam.
Senada dengan hal tersebut, Anisjatisunda dalam Nanang (2009), memberikan pandangan lebih luas lagi tentang keberadaan kain tenun Baduy yang menurutnya sudah ada sejak masyarakat itu menetap di balik Gunung Kendeng (wilayah Kanekes sekarang). Hal ini kemudian dipertegas oleh pendapat Blume dalam Garna (1993) yang menyatakan keberadaan kain tenun di satu wilayah etnis sangat berkaitan dengan sejarah masyarakat itu sendiri.
Kain tenun sebagai fungsi utamanya untuk dijadikan pakaian, merupakan satu dari kebutuhan hidup bagi Urang Kanekes di samping makanan dan rumah untuk tempat tinggal. Tenun Baduy tampak sederhana jika dibanding dengan tenunan dari daerah lain. Namun, reka hias dan kerajinan tangan tenun Urang Kanekes ini merupakan karya cipta yang tinggi. Selain karena merupakan gabungan dari ungkapan estetis dan alam, reka hias itu juga mewakili sikap hidup mereka yang menyimpan ribuan tabu dan alam kosmos masyarakat adat Baduy. Dalam setiap kegiatan ritual keluarga atau agama, sepotong kain tenun hampir selalu menjadi bagian yang amat penting dalam kehidupan mereka.
Keragaman dan keunikan kain tenun Baduy merupakan cerminan dari filosofi kehidupan masyarakat adat Baduy. Serta merupakan kreasi dari bentuk-bentuk simbolis yang tertuang dalam adat hingga keseharian mereka. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai kepercayaan ini, oleh Kartiwa (2007:9) dikatakan bahwa unsur-unsur tersebut merupakan satu bentuk ekspresi pengakuan terhadap keberadaan, keagungan, dan kebesaran Tuhan, Sang Maha Pencipta kehidupan semua makhluk di dunia.
Kain tenun dalam Masyarakat adat Baduy, tidak hanya berfungsi sekedar penutup tubuh yang melindungi pemakainya dari kondisi cuaca atau iklim. Bukan pula sekedar benda fisik yang dapat digunakan untuk menggendong bayi, atau fungsi-fungsi fisik lainnya. Kain tenun juga memiliki arti lain daripada sekedar kebutuhan fungsional. Bentuk dan corak keindahan dalam selembar kain, tidak semata-mata bertalian dengan pemenuhan keindahan saja. Melainkan terkait secara menyeluruh dengan kebudayaan dan ciri khas pemangkunya.
Sehingga keindahannya tidak dipandang sebagai satu-satunya dari dampak keberadaan seni tenun pada masyarakat adat Baduy. Selain itu, seni tenun Baduy juga mencerminkan keajegan Urang Kanekes dalam mempertahankan kepercayaan, tradisi, serta memiliki kecenderungan sebagaimana diungkapkan oleh Garna (1996:251), bahwa makin tinggi arus pengaruh budaya luar, makin kuat sistem sosial mereka. Hal itu juga tercermin pada tradisi mereka dalam membuat sehelai kain dengan cara bertenun.
Kegiatan menenun dalam masyarakat adat Baduy juga merupakan salah satu perwujudan dari konsep amalan tapa yang dilakukan perempuan Baduy. Karena membuat kain tenun merupakan pemenuhan kebutuhan sandang. Tidak ada hari tanpa bekerja, baik pria maupun wanita, sesuai dengan posisi dan porsinya dalam kehidupan. Itulah makna dari tapa bagi masyarakat adat Baduy. Serta sebagian besar amalan tapa Urang Kanekes memang berhubungan dengan padi dan kegiatan perladangan. (wawancara Jaro Dainah, 11 April 2010).
Urang Kanekes percaya bahwa mereka harus tetap ada dalam kesahajaan dan kesederhanaan. Karena menurut kepercayaan mereka, meninggalkan kesederhanaan berarti membatalkan tapa di dunia. Tapa dalam pengertiannya Urang Kanekes, seperti yang diungkapkan Permana (1996:40-41), bukan melakukan samadi (berdiam diri di tempat sunyi), melainkan melaksanakan semua aturan yang sebelumnya telah digariskan oleh karuhun (nenek moyang) mereka.
Orientasi masyarakat adat Baduy dalam tinggkatan status sosial juga terlihat pada kepatuhan meraka terhadap pakaian yang mereka kenakan. Masyarakat adat Baduy dipisahkan oleh garis sosial yang membentuk status dan tampak memperlihatkan dua subkultur berbeda. Masyarakat Baduy memisahkan status sosial berdasarkan wilayah pemukiman mereka ke dalam tiga bagian; Tangtu, Panamping, dan Dangka. Tangtu merujuk pada masyarakat adat Baduy Dalam, sedangkan Panamping dan Dangka merujuk pada masyarakat adat Baduy Luar.
Pada gilirannya, pelapisan sosial ini pun memengaruhi tata cara mereka berpakaian dan menenun. Warna putih digunakan pada bahan kain tenun dan pakaian yang dikenakan oleh Baduy Dalam. Sedangkan Baduy Luar diberi identitas yang berbeda, yaitu berpakaian hitam. Selain itu, mereka yang disebut Baduy Dalam menenun kain tenun terbatas pada kain yang berwarna putih atau hitam saja. Sedangkan pada Baduy Luar mereka telah diperbolehkan menenun dengan variasi warna yang lebih beragam.
Baduy Dalam adalah masyarakat Baduy yang merepresentasikan Masyarakat Adat Baduy pada masa lalu. Sedangkan Baduy Luar adalah bagian dari masayarakat adat Baduy yang dipersiapkan sebagai penjaga, penyangga, penyaring, pelindung dan sekaligus silaturahmi yang intensif dengan pihak luar wilayah adat Baduy (Kurnia dan Sihabudin, 2010:27).
Akan tetapi, dalam kaitan ini, Garna (1988), melihat bahwa antara Baduy Luar dan Baduy Dalam adalah seperti rangka dengan isi. Baduy Dalam merupakan nenek moyang atau karuhun, dengan istilah lain dapat dikatakan sebagai pusat dari seluruh masayarakat adat Baduy. Sementara Baduy Luar, merupakan isi dari seluruh keturunannya. Baduy Luar jika melihat pada adat di masyarakat adat Baduy, merupakan masyarakat yang telah diberikan kebijakan berupa kelonggaran pada peraturan adat dalam pelaksanaan kegiatan hidup sehari-hari.
Kebijakan dan kelonggaran pada masayarakat Baduy Luar dapat dilihat dalam berbagai segi kehidupannya, seperti; penggunaan transportasi di luar kawasan Baduy, pembukaan lahan di luar kawasan hak ulayat (adat) Baduy, penggunaan alat perlengkapan hidup khususnya dalam bidang kesehatan dan rumah tangga, hingga menenun dengan variasi warna dan jenis yang tidak terbatas pada hitam dan putih saja. Kelonggaran-kelonggaran tersebut pada dasarnya masih tidak diperbolehkan untuk masayarakat Baduy Dalam.
Sementara itu dalam kaitan dengan seni tenun, warna putih yang digunakan pada bahan kain tenun Baduy tidak diwarnai atau tetap menggunakan warna asli kapas yang putih. Dalam kepercayaan Urang Kanekes warna putih bermakna terang, bersih, atau sebagai Hyang yang tidak memiliki wujud. Hal ini berkaitan dengan makna kesucian, terletak pada tingkat atas dari sistem nilai kepercayaan yang mereka anut. Sedangkan Warna hitam pada pakaian Baduy Luar, menurut penelaahan Jatisunda (2008), mengandung makna gelap atau malam. Gelap atau hitam dalam konteks budaya Baduy akan menjadi pelindung di balik yang putih atau terang.
Kreativitas Urang Kanekes dalam membuat kain tenun terbentuk melalui suatu perjalanan panjang. Selama kurun waktu yang lama, melalui pelbagai kegiatan tradisi dan budaya yang mendasarinya, masyarakat adat Baduy menciptakan pelbagai teknik pembuatan kain tenun dan ragam hiasnya. Apabila dilihat dari latar belakang kehidupan Urang Kanekes, seni tenun Baduy telah hidup di tengah-tengah masyarakat yang bersatu dengan kegiatan sehari-hari mereka. Menenun mempunyai nilai estetika. Motif-motif yang tergambar pada kain tenun tidak sekadar mengikuti perkembangan pasar, tetapi sebagian besar masih terikat oleh nilai tradisional yang dikembangkan.
Seni tenun Baduy dalam keseluruhan penggarapan seni di Desa Kanekes, menjadi satu dengan unsur-unsur seperti lingkungan hidup, persediaan bahan mentah, kesempatan pemasaran, kreativitas, dan latar budaya etnik yang mendasarinya hingga dapat terus lestari hingga kini. Tradisi pengajaran pengetahuan menenun yang dilakukan oleh setiap wanita Baduy yang terampil menenun kepada anak atau saudara perempuannya yang memiliki minat untuk menenun, menjadi faktor utama lestarinya seni tenun di Desa Kanekes.
Seni tenun baduy dalam lingkup kehidupan masyarakat adat Baduy menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Kain telah terjalin erat ke dalam lingkaran budaya hidup masyarakatnya. Sejak lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal dunia ‘dibungkus’ dengan kain tenun.
Tenun sangat dekat dengan kehidupan, khususnya dalam lingkungan keluarga. Aktivitas menenun sepintas memang tampak sebagai kegiatan sambilan yang seolah-olah hanya merupakan aktivitas pengisi waktu luang bagi kaum perempuan Baduy. Namun, apabila ditelusuri secara mendetail dan mendalam, ternyata aktivitas menenun mengandung sejumlah nilai. Menenun mempunyai nilai kedisiplinan. Kepada setiap anak perempuan yang lahir di Baduy, sejak kecil, mereka sudah ditanamkan kedisiplinan yang tinggi dengan cara mempelajari aturan adat dan nilai-nilai Masyarakat Adat Baduy. Salah satunya berhubungan dengan aktivitas menenun.
Seni tenun sebagai seni kriya kewanitaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (1985:16), bahwa kegiatan menenun merupakan warisan keterampilan turun temurun serta garis penghubung antar generasi yang sampai saat ini masih tetap dipertahankan di beberapa tempat terutama di daerah pedesaan. Bahkan di beberapa daerah, keterampilan menenun adalah suatu kewajiban adat istiadat yang menunjukkan salah suatu ukuran feminin bagi seorang wanita.
Kegiatan menenun pada masyarakat Kanekes pun dipercaya merupakan wujud dari ketaatan yang dilakukan oleh perempuan Baduy terhadap aturan adat yang mereka junjung. Orang Baduy yang selalu merasakan kondisi ketercukupan, dan karenanya tidak lagi merasa perlu atau gelisah mencari sesuatu hal lain dari luar. Konsep bermukim dalam ketercukupan inilah yang terus-menerus dibina oleh tradisi Baduy dari generasi ke generasi, hingga saat ini. Kegiatan menenun merupakan penjabaran dari konsep tersebut. Kegiatan memenun terus mereka galakan sebagai bagian dari upaya untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian yang dapat mereka upayakan secara mandiri.
Tidak dikembangkannya sistem pemikiran ataupun teknik yang lebih canggih, bukan karena rendahnya mutu sumber daya manusianya, tetapi lebih dapat dimengerti dari nilai kesahajaan dan kesederhanaan mereka. Sebagaimana yang tertuang dalam ungkapan bijak mereka: sare tambah teu tunduh, ngawadang tambah teu lapar, make tambah teu taranjang. Artinya, tidur sekedar pelepas kantuk, makan sekedar pelepas lapar, berpakaian agar tidak telanjang
1. Kekhususan Seni Tenun Baduy
Seni tenun di daerah-daerah lainnya di Nusantara sekilas tampak memiliki pola-pola hias yang hampir sama. Kendati demikian, kain-kain tersebut tetap mempunyai ciri, keunikan, dan kekhasannya tersendiri. Hal ini menjadi bukti bahwa setiap daerah atau kelompok komunitas memiliki ungkapan keindahannya sendiri yang dipertahankan dan dituangkan kedalam sehelai kain tenun.
Kekhasan tenun Baduy adalah bahannya yang agak kasar dan warnanya cenderung dominan. Bintik-bintik kapas dari proses pemintalan tradisional telah menghasilkan tekstur yang khas tenun Baduy dengan alat pemintal tradisional yaitu gedogan/raraga. Kain tenun yang awalnya dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan sandang, dibuat sederhana dengan menggunakan motif geometris.
Ragam hias pada tenun Urang Kanekes yang berbentuk geometris tersebut telah dihasilkan oleh para wanita secara turun-temurun sehingga tidak ada yang tahu pasti asal usul dari ragam hias tersebut. Akan tetapi, dalam ragam hias tenunan Indonesia, pengetahuan seni ragam hias geometris merupakan gambaran dari pengetahuan konsep tentang alam dan lingkungan hidup.
Konsep ragam hias yang diilhami oleh lingkungan alam menunjukkan bahwa sudah sejak dahulu alam dan lingkungan dianggap mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Dalam ragam hias tenun Baduy, unsur-unsur tadi diwujudkan dalam bentuk-bentuk garis geometris seperti garis berbentuk kait, spiral atau disebut juga pilin, garis lurus, segi tiga, segi empat, bulatan, dan masih banyak lagi.
Meskipun demikian, di antara teknik penciptaan ragam hias lainnya, menenun adalah yang paling menonjol karena pembuatannya yang relatif lebih rumit dan lama dibandingkan kerajinan lain. Bisa dikatakan proses penciptaan motif dengan menenun sangat sulit karena membutuhkan kemampuan kreativitas, serta ketekunan dan ketelitian yang tinggi dari pembuatnya.
Wanita Tangtu (Baduy Dalam) hanya menenun dua warna tenunan yaitu hitam/biru tua (nila) dan putih polos. Sedangkan jenis dan motif yang dihasilkan para perajin tenun Baduy dari masa ke masa relatif tidak mengalami perubahan begitu banyak. Wanita suku Baduy dalam pembuatan kain tenun, biasanya berfokus pada dua jenis kain tenun, antara lain:
- Sarung/samping, sarung atau samping Baduy sangat sederhana, terutama pada tenunan kain samping aros dan sarung poleng hideung yang berwarna biru tua atau hitam yang dihiasi motif kotak-kotak tipis berwarna hitam atau hanya bermotif polos, samping pada umumnya berwarna dasar hitam dipadu dengan garis-garis kecil warna biru terang. Samping dapat dijahit dibuat menjadi sarung atau kulot (semacam rok pada wanita).
- Tenunan bodasan/boeh tenunan polos putih yang biasanya digunakan sebagai bahan untuk membuat baju, ikat kepala, atau selendang. Ikat kepala selalu dikenakan kaum laki-laki, baik anak-anak maupun dewasa.
Menenun merupakan runtutan menyusun atau mengatur benang-benang pakan (benang yang ditata dengan arah melebar) dan benang-benang lungsi (benang yang ditata dengan arah memanjang) yang ditenun sedemikian rupa pada alat tenun. Sehingga ketika berlangsung penenunan, berlangsung pula pembentukan ragam hias sebagai akibat paduan warna dari kedua jenis benang tersebut (Tim Museum Purna Bhakti Pertiwi, 1996: 28).
Pemintalan, pencelupan, dan penenunan merupakan pekerjaan wanita. Banyak larangan perilaku dan tabu yang dihubungungkan dengan keindahan tatacara dan aturan menenun di masyarakat adat Baduy. Di antaranya adalah perempuan Baduy tidak boleh menenun pada saat bulan-bulan yang dilarang, dan hari saat akan dilaksanakan upacara adat.
Selain itu larangan dan tabu juga menggambarkan hubungan antara norma keindahan dan fungsi sosial seni. Di antaranya adalah wanita Baduy Dalam tidak boleh menenun selain warna hitam dan putih. Di seluruh Indonesia, kita menemukan adanya penekanan yang kuat akan hal-hal yang diatur secara ketuhanan atau aspek moral estetika. Dan kecenderungannya adalah, jika terjadi pelanggaran terhadap norma-norma tersebut maka akan meniadakan fungsi sosial dari benda itu.
Kegiatan menenun dilakukan pada waktu senggang di siang hari oleh wanita-wanita Baduy setelah mereka memasak, membenahi rumah, mengurus anak, mencari kayu bakar, dan pergi ke ladang. Sehingga tidak ada waktu senggang yang mereka lewatkan, karena mereka gunakan untuk bertenun.
Proses pembuatan kain tenun Baduy dibagi menjadi dua bagian, yaitu proses persiapan dan proses penenunan. Masyarakakat Baduy menenun dengan alat tenun yang oleh Urang Kanekes lebih dikenal dengan sebutan pakara atau raraga (seperangkat alat tenun). Sampai saat ini, kebanyakan para perajin tenun Baduy masih menggunakan alat tenun tradisional yang terbuat dari konstruksi kayu dan bambu yang kurang lebih berukuran 2 x 1.5 meter sebagai tempat merentangkan benang yang akan ditenun dalam proses penenunan seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Keterangan Gambar:
a) Caor/dodogong, sebilah papan yang diletakkan
horizontal, sebagai sandaran punggung penenun. Selain itu berfungsi jug
untuk menarik kain tenunan agar terbentang kencang.b) Taropong, sepotong bambu (tamiang), tempat memasukkan benang kanteh (pakan).
c) Tali caor, tali yang mengikatkan bilah caor dengan kain yang ditenun di sebelah kiri dan kanan penenun.
d) Suri/Sisir, alat berbentuk sisir, untuk membereskan benang pakan dan benang lusi.
e) Hapit, bilahan papan untuk menggulung kain hasil tenun.
f) Barera, sebilah kayu alat bertenun untuk merapatkan benang pakan agar kain tenun menjadi rapat
g) Jingjingan, bagian dari gedogan, tempat menambatkan lusi.
h) Limbuhan, sebilah kayu yang memanjang seperti mistar berbentuk bulat untuk merenggangkan kedudukan benang tenun
i) Kekedal, patitihan, totojer, bilahan kayu tempat kaki penenun bertelekan
j) Rorogan, sebilah kayu alat penahan berera, terletak sebelah kanan penenun.
k) Totogan, bilahan papan/kayu sebagai alat penahan ketika proses bertenun.
l) Cangcangan, bilahan papan/kayu, sebagai penguat alat bertenun
Selain raraga (seperangkat alat tenun) di atas, terdapat alat atau perlengkapan lainnya yang biasa digunakan dalam menenun tenun Baduy di antaranya: dadampar (bilahan papan yang digunakan untuk tempat duduk penenun), Galeger (bilahan papan/kayu, sebagai penguat alat bertenun), Kincir (alat untuk memintal benang kanteh), golebag (tempat untuk memindahkan benang hasil pintalan) pihane (alat untuk membereskan benang kanteh). Seungkeur (sebilah papan/bambu untuk menentukan ukuran lebar kain yang ditenun), tudingan/tutuding (sebilah kayu/bambu untuk alat mengait atau mengambil dan atau membetulkan sesuatu yang letaknya agak jauh dari penenun).
III. Perkembangan Seni Tenun Baduy di Desa Kanekes
Sejarah mencatat bahwa kebudayaan senantiasa berubah dan berkembang. Perkembangan tersebut dapat berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan itu sendiri atau karena perubahan lingkungan alam, dan atau fisik tempat masyarakat tersebut berada. Haviland (1993: 251), menganalisa kemampuan berubah dan berkembang dalam kebudayaan tersebut sebagai salah satu sifat yang penting dalam kebudayaan manusia.
Tanpa adanya kemampuan itu, kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah. Semua kebudayaan pada suatu waktu pasti berubah karena bermacam-macam sebab, salah satu sebabnya adalah perubahan lingkungan yang dapat menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif (mudah menyesuaikan diri dengan keadaan).
Kemampuan berubah merupakan sifat penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa perubahan, kebudayaan tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Akan teteapi, pelestarian budaya lokal juga mempunyai muatan ideologis yaitu sebagai gerakan untuk mengukuhkan kebudayaan, sejarah dan identitas (Lewis, 1983: 4). Serta sebagai penumbuh kepedulian masyarakat untuk mendorong munculnya rasa memiliki masa lalu yang sama di antara anggota komunitas (Smith, 1996: 68).
Soekanto (2005:142-143) mengatakan bahwa suatu masyarakat yang disebut ‘statis’ (dalam keadaaan diam atau tetap) adalah masyarakat yang mengalami sedikit sekali perubahan, sedangkan pada masyarakat yang dinamis (mudah menyesuaikan diri dengan keadaan) merupakan masyarakat yang mengalami perubahan dengan cepat. Perubahan di masyarakat dapat berkenaan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola perilaku, organisasi, struktur lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan interaksi sosial. Selanjutnya, jika unsur-unsur pembentuk kebudayaan tersebut berubah, maka akan terjadi perubahan pada persepsi, sikap, dan perilaku sosial masayarakatnya.
Keterbukaan yang telah mengundang masuknya banyak unsur yang baru dalam kebiasaan masyarakat, merupakan sebuah proses mencairnya batas-batas lingkungan kebudayaan yang lama menuju batas-batas lingkungan kebudayaan yang lebih luas. Dengan kata lain, adalah berubahnya konsep solidaritas yang lebih sempit menuju ke konsep solidaritas yang lebih luas. Atau, untuk mengutip rumusan lain, proses tersebut oleh Kayam (1981:158,159) dinamakan sebagai proses tawar-menawar nilai-nilai antara pelbagai masyarakat atau lingkungan kebudayaan.
Masyarakat adat Baduy, meski dikatakan merupakan kelompok masyarakat tertutup, tidak menutup kemungkinan telah dan akan mengalami perubahan. Lambat atau cepat perubahan pasti terjadi, perubahan yang dimaksudkan bisa jadi terlihat di dalam perilaku (tingkah laku) dari anggota masyarakat sehari-hari maupun secara individual, dalam berkelompok atau antar kelompok.
Cara seseorang atau sekelompok orang berpikirpun bisa berubah. Perubahan sering dapat diamati dengan jelas, misalnya dari cara seseorang berperilaku, berpakaian, atau menampilkan dirinya dari bentuk atau gaya rumah dan tata ruangan, cara berbicara dan lain-lain. Pada beberapa poin-point di atas, beberapa peneliti telah mendeskripsikan perubahan tersebut telah terjadi pada masyarakat adat Baduy.
1. Perkembangan Tenun Baduy dalam kehidupan Masyarakat Kanekes
Masyarakat adat Baduy sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam sebuah keseimbangan telah memolakan kegiatan komunitasnya berdasarkan norma-norma yang dianut bersama serta dianggap sakral dan harus dipatuhi olah setiap anggota masyakaratnya. Bila terjadi perubahan pada salah satu bagian, mereka percaya hal itu akan mempengaruhi bagian lain yang pada akhirnya mempengaruhi sistem keseluruhan. Oleh karenanya, perubahan budaya pada masyarakat adat Baduy senantiasa dilahirkan dari perubahan makna dan nilai yang didasarkan atas pemuasan terhadap kebutuhan yang benar-benar tidak bisa dielakan.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan banten yang memasukkan Kanekes ke dalam wilayahnya tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan (pengakuan) kepada penguasa Kesultanan Banten, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) ke Kesultanan Banten (Garna,1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan dalam kurun waktu satu tahun sekali kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes (khususnya Baduy Luar) kerap berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Peningkatan penduduk di daerah Kanekes juga ikut membawa arus perkembangan dalam pola kehidupan mereka. Pertumbuhan penduduk Baduy yang relatif pesat (6-8% per tahun) telah mengakibatkan perkembangan nilai kehidupan di Suku Baduy. Salah satunya terlihat telah mengakibatkan tekanan pada sektor mata pencaharian dan perekonomian yang tidak lagi dapat ditampung oleh sektor pertanian. Di samping adanya kenyataan bahwa pertambahan jumlah kampung di Desa Kanekes tersebut juga telah menunjukkan lahan garapan mereka semakin didesak oleh keperluan lahan untuk penyediaan permukiman. Menenun kemudian menjadi salah satu bagian dari sektor kerajinan yang diangkat guna memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi pada pola pola kehidupan Urang Kanekes juga berkembang sejalan dengan arus pariwisata yang mulai tumbuh sejak tahun 1992. Dengan menjadikan tanah ulayat (adat) Baduy yang terkenal akan keindahan ekologinya sebagai obyek wisata. Orientasi wilayah Baduy sebagai objek wisata pun kemudian diikuti dengan pembangunan beberapa sarana dan prasarana guna memudahkan pengunjung datang ke wilayah Baduy. Salah satunya adalah pembangunan terminal di Ciboleger yang merupakan tempat pemberhentian terakhir menuju pemukiman Masyarakat Adat Baduy.
Intensitas kunjungan orang luar ke wilayah adat Baduy, maupun seringnya Urang Kanekes pergi ke luar untuk berdagang (dan atau berkunjung), sedikit banyak telah terjadi interaksi dengan budaya di luar masyarakat adat Baduy itu sendiri. Interaksi ini juga didukung dari mudahnya akses dalam mendapatkan informasi oleh masyarakat adat Baduy. Dengan terbukanya jalan masuk yang mudah diakses oleh Urang Kanekes maupun masyarakat luar Baduy.
Interaksi yang insentif antara wisatawan dan penduduk lokal secara kognitif mampu merubah pola hidup penduduk. Berdasarkan data yang diperoleh, tiap bulannya ratusan wisatawan datang untuk mengunjungi tanah ini dan juga menginap di rumah-rumah penduduk. Hal ini lambat laun membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat adat Baduy.
Sejalan dengan perkembangannya, tenun Baduy yang pada dekade 80-an masih digunakan sebagai media pertukaran barter, kini telah berkembang dan masuk dalam sektor-sektor perekonomian penting bagi masyarakat adat Baduy. Menurut hasil wawancara dengan beberapa tokoh dan masayarakat Baduy, tenun pada masa lalu digunakan sebagai alat pembayaran bagi pola perekomonian mereka. Seorang yang diminta untuk menggarap lahan selain di bayar menggunakan hasil garapan tersebut (dua hari kerja diganti dengan tiga ikat padi), bagi mereka yang membutuhkan kain tenun dan tidak bisa menenun akan dibayar dengan menggunakan kain tenun sebagai pengganti padi. (wawancara Erwin, 9 April 2011).
Tenun juga menjadi bagian dari sistem pertukaran dengan barang lain yang mereka butuhkan sehari-hari. Ketika satu hasil kerajinan mereka ditukar dengan menggunakan tenun, ukuran pembayaran ini ditentukan dengan kesepakatan kedua belah pihak. Tenun yang dibuat oleh Masyarakat Adat Baduy, lambat laun telah melekat menjadi jati diri yang menjadi ciri khas bagi masyarakatnya. Terutama kini tenun Baduy berfungsi sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang menunjang penghidupan dan mata pencaharian mereka.
Sektor ekonomi merupakan perangsang bagi sektor lain. Pada awalnya, perekonomian masyarakat adat Baduy lebih menggambarkan sistem yang tertutup, dalam arti aktivitas perekonomian dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari dan diproduksi serta dikosumsi di lingkungan mereka sendiri. Pada akhirnya, sektor ekonomi lah yang merangsang perubahan di sana. Suku Baduy kini telah akrab dengan sistem jual beli. Perubahan tersebut terjadi karena mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan ”keseharian” mereka dengan cara seperti itu.
Banyaknya kebutuhan yang timbul dan terjadinya perubahan karena perkembangan zaman mengakibatkan perkembangan budaya tidak dapat dihindari oleh masyarakat adat Baduy Luar. Pola hidup yang sebelumnya baku dan kaku, mulai tumbuh sikap keterbukaan terhadap pola-pola hidup modern. Bahkan sebagian dinilai telah mengadopsi gaya-gaya hidup masyarakat luar walaupun tidak secara draktis.
Meskipun Urang Kanekes telah cukup lama mengenal uang sebagai alat pembayaran berdampingan dengan sistem perekonomian pertukaran, barter. (wawancara Abah, 9 April 2010). Akan tetapi, pola pola pertukaran dengan sistem barter kadang tetap mereka lakukan antar sesama warga Baduy hingga saat ini. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger (wawancara Pulung, 9 April 2010). Hanya sedikit kini dari mereka yang menggunakan model pertukaran, uang sebagai alat penukarpun merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat adat Baduy.
Seni tenun Baduy yang pada awalnya untuk memenuhi kehidupan dan bagian dari keseharian mereka. Kini, menenun dapat juga dikategorikan sebagai kegiatan yang menambah dan membantu perekonomian Urang Kanekes berdampingan dengan kegiatan berladang. Menenun kini mempunyai nilai ekonomi. Nilai ekonomi inilah yang secara tidak langsung telah mengangkat derajat perempuan-perempuan Baduy dari sektor domestik ke sektor publik. Tenunan buatan Urang Kanekes sekarang mulai dijual kepada para pengunjung luar sebagai barang kerajinan khas untuk cenderamata.
Permintaan kain tenun Baduy bahkan terus meningkat karena didorong oleh banyaknya para pengunjung (turis domestik ataupun asing) yang datang ke Baduy. Serta ketertarikan masayarakat luar terhadap kain tenun Baduy ini, telah membuat sebuah perkembangan baru dalam tradisi seni tenun mereka. Perkembangan ini tampak pada produksi benang sebagai bahan baku kain tenun. Menenun dengan membuat benang sendiri dinilai memakan waktu yang lama, sedangkan permintaan kain terus bertambah.
Untuk memangkas durasi produksi, pembuatan dan pewarnaan bahan benang (bodasan) dan bahan celup yang digunakan untuk mewarnai benang tersebut memasuki periode tahun 90-an telah dipasok dari luar Baduy (wawancara Erwin, 9 April 2011). Kawasan yang terkenal sebagai pemasok bahan-bahan tersebut adalah daerah Majalaya, Kabupaten Bandung. Pengrajin tenun Baduy hanya mencelupnya (bahkan pencelupan pun sebagian sudah tidak dilakukan) dan menggulungnya sebelum ditenun; pada awalnya bahan benang dan pewarnaan itu dibuat sendiri oleh Masyarakat Adat Baduy.
Penggarapan seni tenun Baduy pada perkembangannnya kemudian diarahkan agar bersifat komunal. Pengerjaan tenun Baduy di Desa Kanekes telah bergerak ke arah produksi skala rumah tangga yang telah memiliki pola distirbusi yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang lebih luas. Perubahan seperti ini telah lebih dulu hadir pada usaha-usaha perladangan mereka dengan munculnya pengusaha perkebunan dengan jaringan yang cukup luas.
2. Perkembangan Ragam dan Jenis Tenunan
Memasuki kurun waktu sepuluh
tahun terakhir ini telah terjadi kerja sama antara perajin tenun Baduy
dengan seniman tenun dari daerah lain. Bahkan hingga desainer akademis
yang mencoba melakukan pendampingan kepada warga Baduy untuk
mengembangkan motif, warna, serta ukuran tenunan.
Walaupun menemui kendala dalam
mengembangkan tenun Baduy, karena tradisi masyarakat adat Baduy yang
sulit menerima perubahan, kreativitas masyarakat adat Baduy dalam
menenun telah berkembang. Hasilnya, tercipta desain-desain baru bagi
penenun Baduy yang memberikan harapan untuk dipasarkan lebih luas lagi.
Kain tenun khas Baduy bahkan oleh beberapa kalangan telah didesain
sebagai bahan baku bagi prodak dan bahan dasar fashion.
Kain tenun yang paling awal dihasilkan oleh Masyarakat Adat Baduy adalah kain tenun dengan warna putih polos yang disebut boeh/kafan yang digunakan untuk baju, ikat kepala (telekung) dan ikat pinggang (sabuk), juga samping berwarna hitam yang disebut aros. Warna putih dalam artefak kain tenun Baduy dipercaya merupakan bahan dasar yang awal diciptakan Masyarakat Adat Baduy.
Wanita suku Baduy dalam pembuatan kain tenun, awalnya berfokus pada dua jenis kain tenun, antara lain: (1) kain sarung atau samping, (2) Kain Boeh/kafan untuk
baju atau ikat kepala dan selendang. Sejalan dengan perkembangannya,
memasuki kurun waktu 1900-2000, Ketaatan wanita Baduy pada aturan adat
rupanya tidak mematikan kreativitas mereka untuk berkreasi. Kreasi
tersebut, hadir pada tenunan selendang mereka.Variasi awal yang dikembangkan adalah tenunan selendang polos putih dengan deretan hiasan tumpal pada kedua ujungnya seperti yang terlihat pada gambar di atas. Tenunan tersebut dapat dijadikan ikat pinggang oleh Masyarakat Adat Baduy. Tenunan selendang masyarakat adat Baduy yang berkesan lebih dinamis kemudian hadir pada tenunan selendang putih mereka yang dihiasi corak kotak-kotak tipis diselingi benang warna-warni. Selain itu ada pula bentuk corak geometris merah seperti yang terlihat pada tenun Adu Mancung.
Kreativitas dan perkembangan tenun Badu tampil pada tenunan selendang yang disebut suat. Tenunan suat ini hadir dalam beberapa variasi tenunan yang menampakkan perkembangan motif maupun variasi warna baru. Meskipun demikian, warna benang hitam atau biru tua tetap sebagai warna-warna yang sering ditonjolkan.
IV. Pungkasan
Seni Tenun Baduy pada masyarakat adat Baduy berkemampuan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang, tetapi menciptakan identitas keajegan Urang Kanekes dalam mempertahankan kepercayaan dan tradisi mereka. Di samping itu, Kegiatan menenun juga menjadi transmisi adat dan istiadat mereka kepada generasi selanjutnya agar dapat hidup mandiri.
Perkembangan yang terjadi pada seni tenun masyarakat adat Baduy dapat dinilai merupakan ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Ketika masyarakat yang menyangga kebudayaan tersebut selain mencipta, juga memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, dan mengembangkan dengan memberi sebuah muatan lain dalam proses menciptakan kebudayaan baru. Kreativitas kesenian harus dipahami dalam konteks perkembangan sebuah masyarakat. Kekayaan tradisi dan ciri khas artistik masyarakat adat baduy luar biasanya justru tetap dijaga dan diupayakan tetap melekat.
Eksplorasi yang dilakukan terhadap ragam hias tenun Baduy ternyata tidak bertujuan untuk mengubah tatanan budaya mereka, namun eksplorasi ini dilakukan untuk menambah macam ragam hias dari tenun Baduy. Bahkan, Masyarakat Baduy jarang menggunakan sendiri tenunan selendang suat yang mereka buat. Terlebih bagi masyarakat Baduy Dalam yang hanya memakai warna putih atau hitam saja. Tenunan selendang suat hanya mereka jual khususnya kepada para pengunjung yang datang ke wilayah Baduy, atau sengaja mereka pasarkan sendiri keluar. Karena itulah tenunan variasi baru yang hadir pada perkembangan tenun Baduy tidak mempuyai makna khusus bagi masyarakatnya selain untuk kareseupan (berkesenian).
Sumber Rujukan
Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda. (1985). Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung Proyek Sundanologi, Dep. Pendidikan & Kebudayaan R.I.
Ekadjati, Edi S. (1995). Sunda, Nusantara, dan Indonesia : suatu tinjauan sejarah. Bandung. Dep. Dik Bud UnpadGarna, Judistira K. (1987). Orang Baduy. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
__________ (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
__________ (1996). Masyarakat Tradisional Banten dan Upaya Pelestarian Nilai-nilai Budaya: Studi Kasus Masyarakat Baduy, dalam Hasan Muarif Ambary (peny.) Masyarakat dan Budaya Banten: Kumpulan Karangan Ruang Lingkup Arkeologi, Sejarah dan Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Haviland, William A. (1993). Antropologi Jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Iskandar, Johan (1992) Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
Kayam, Umar (1981) Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan
Kartiwa, Suwati. (2007). Tenun Ikat: Ragam Kain Tradisional Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kurnia, Asep, Ahmad Sihabudin. (2010). Saatnya Baduy Bicara. Jakarta : Bumi Aksara
Koentjaraningrat. (1985). Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Lewis, M. (1983). Conservation: A Regional Point of View. dalam M. Bourke, M. Miles dan B. Saini (eds). Protecting the Past for the Future. Canberra: Austraalian Government Publishing Service.
Rangkuti, Nurhadi (1988). Orang Baduy dari Inti Jagat. Yogyakarta: Bentara Budaya, Harian Kompas, Etnodata, Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Praseda.
Suardi, Dedi (2000) Ornamen Geometris. Bandung : Rosdakarya
Soekanto, Soerjono (2005). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Garna, Judistira K. (1988). TangtuTeluJaro:Tujuh Kajian Struktutal Masyarakat baduy di Banten Selatan Jawa Barat Indonesia. Tesis Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Permana, C.E. (1996). Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Pascasarjana Program Studi Antropologi Universitas Indonesia, Jakarta: Tidak diterbitkan
Prawira, Nanang G. (2009). Mengenal Budaya Rupa Sunda Wiwitan [online] Tersedia:http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._SENI_RUPA/196202071987031/NANANG_GANDA_PRAWIRA/MENGENAL_BUDAYA_RUPA_SUNDA_WIWITAN.pdf [20 Januari 2011]
Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Lebak. (1990). Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak Nomor 13 Tahun 1990 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy di Kabupaten Daerah Tingkat II Lebak
Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Lebak. (2001). Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor:32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy
Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-batas Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
0 komentar:
Posting Komentar