Wayang Kulit |
Menelusuri
asal-usul wayang secara ilmiah memang bukan hal yang mudah. Sejak zaman
penjajahan Belanda hingga kini banyak para cendikiawan dan budayawan berusaha
meneliti dan menulis tentang wayang. Ada persamaan, namun tidak sedikit yang
saling-silang pendapat. Hazeu berbeda pendapat dengan Rassers
begitu pula pandangan dari pakar Indonesia seperti K.p.a. Kusumadilaga,
Ranggawarsita, Suroto, Sri Mulyono dan lain-lain.
Namun semua
cendikiawan tersebut jelas membahas wayang Indonesia dan menyatakan bahwa
wayang itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar tahun 1500 SM,
jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia.
Jadi, wayang
dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia, yang dalam
proses perkembangan setelah berseniuhan dengan unsur-unsur lain, terus
berkembang maju sehingga menjadi ujud dan isinya seperti sekarang ini. Sudah
pasti perkembangan itu tidak akan berhenti, melainkan akan berlanjut di
masa-masa mendatang.
Wayang yang kita
lihat sekarang ini berbeda dengan wayang pada masa lalu, begitu pula wayang di
masa depan akan berubah sesuai zamannya. Tidak ada sesuatu seni budaya yang
mandeg. Seni budaya akan selalu berubah dan berkembang, namun perubahan seni
budaya wayang ini tidak berpengaruh terhadap jati dirinya, karena wayang telah
memiliki landasan yang kokoh. Landasan utamanya adalah sifat "hamot,
hamong, hamemangkat yang menyebabkannya memiliki daya tahan dan daya
kembang wayang sepanjang zaman.
Hamot adalah
keterbukaan untuk menerima pengaruh dan masukan dari dalam dan luar; Hamong
adalah kemampuan untuk menyaring unsur-unsur baru itu sesuai nilai-nilai wayang
yang ada, untuk selanjutnya diangkat menjadi nilai-nilai yang cocok dengan
wayang sebagai bekal untuk bergerak maju sesuai perkembangan masyarakat.
Hamemangkat atau memangkat sesuatu nilai menjadi nilai baru. Dan, ini jelas tidak mudah. Harus melalui proses panjang yang dicerna dengan cermat. Wayang dan seni pedalangan sudah membuktikan kemampuan itu, berawal dari zaman kuna, zaman Hindu, masuknya agama Islam, zaman penjajahan hingga zaman merdeka, dan pada masa pembangunan nasional dewasa ini. Kehidupan global juga merupakan tantangan dan sudah barang tentu wayang akan diuji ketahanannya dalam menghadapinya.
Periodisasi
( pembabakan suatu masa )
Hamemangkat atau memangkat sesuatu nilai menjadi nilai baru. Dan, ini jelas tidak mudah. Harus melalui proses panjang yang dicerna dengan cermat. Wayang dan seni pedalangan sudah membuktikan kemampuan itu, berawal dari zaman kuna, zaman Hindu, masuknya agama Islam, zaman penjajahan hingga zaman merdeka, dan pada masa pembangunan nasional dewasa ini. Kehidupan global juga merupakan tantangan dan sudah barang tentu wayang akan diuji ketahanannya dalam menghadapinya.
Periodisasi
( pembabakan suatu masa )
Periodisasi
perkembangan budaya wayang juga merupakan bahasa yang menarik. Bermula zaman
kuna ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan
dinamisme. Dalam kepercayaan animisme dan dinamisme ini diyakini roh orang yang
sudah meninggal masih tetap hidup, dan semua benda itu bernyawa serta memiliki
kekuatan. Roh-roh itu bisa bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung
dan lain-lain. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek
moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan
dimintai pertolongan. Untuk memuja roh nenek moyang ini, selain melakukan
ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung Roh nenek
moyang yang dipuja ini disebut "hyang" atau "dahyang".
Orang bisa
berhubungan dengan para hyang ini untuk minta pertolongan dan
perlindungan, melalui seorang medium yang disebut ‘syaman’.
Ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman
inilah yang merupakan asal mula pertunjukan wayang. Hyang menjadi
wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman
menjadi dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek
moyang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Asli yang hingga sekarang
masih dipakai. Jadi, wayang itu berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang
bangsa Indonesia di sekitar tahun l500 SM.
Berasal dari
zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai pada
masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam. Bangsa Indonesia mulai berseniuhan
dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai,
Tarumanegara, bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang pun
berkembang pesat, mendapat pondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang
bermutu tinggi.
Pertunjukan roh
nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih berbobot,
Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang dalam
rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai
ditulis berbagai cerita tentang wayang. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan
Majapahit kepustakaan wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti
di candi-candi, karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah,
Empu Panuluh, Empu Tantular dan lain-lain. Karya sastra wayang yang
terkenal dari zaman Hindu itu antara lain Baratayuda, Arjuna Wiwaha,
Sudamala, sedangkan pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan
penciptaan peraga wayang terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam
tatanan pentas yang bagus dengan cerita Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran
wayang mencapai mutu seni yang tinggi sampai sampai digambarkan "Hannonton
ringgit menangis esekel", tontonan wayang sangat mengharukan.
Menarik untuk
diperhatikan Cerita Ramayana dan Mahabarata yang asli berasal dari India, telah
diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu hingga sekarang.
Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabarata. Namun perlu
dimengerti bahwa Ramayana dan Mahabarata versi India itu sudah banyak berubah.
Berubah alur ceritanya; kalau Ramayana dan Mahabarata India merupakan cerita
yang berbeda satu dengan lainnya, di Indoenesia menjadi satu kesatuan. Dalam
pewayangan cerita itu bermula dari kisah Ramayana terus bersambung dengan Mahabarata,
malahan dilanjutkan dengan kisah zaman kerajaan Kediri. Mahabarata asli berisi
20 parwa, sedangkan di Indonesia tinggal 18 parwa. ( artikel, cerita, kesusastraan Jawa Kuna ).
Yang sangat
menonjol perbedaannya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu.
Lebih-lebih setelah masuknya agama Islam. Falsafah Ramayana dan Mahabarata yang
Hinduisme diolah sedemikian rupa sehingga menjadi diwarnai nilai-nilai agama
Islam. Hal ini antara lain tampak pada kedudukan dewa, garis keturunan yang
patriarkhat, dan sebagainya. Wayang diperkaya lagi dengan begitu banyaknya
cerita gubahan baru yang bisa disebut lakon "carangan",
maka Ramayana dan Mahabarata benar-benar berbeda dengan aslinya. Begitu pula,
Ramayana dan Mahabarata dalam pewayangan tidak sama dengan Ramayana dan
Mahabarata yang berkembang di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat
lainnya. Ramayana dan Mahabarata dari India itu sudah menjadi Indonesia karena
diwarnai oleh budaya asli dan nilai-nilai budaya yang ada di Nusantara.
Rama & Shinta |
Masuknya agama
Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan
masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan.
Pembaharuan besar-besaran, tidak saja dalam bentuk dan cara pergelaran wayang,
melainkan juga isi dan fungsinya. Berangkat dari perubahan nilai-nilai yang
dianut, maka wayang pada zaman Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian
dengan zamannya. Bentuk wayang yang semula realistik proporsional seperti
tertera dalam relief candi-candi, distilir menjadi bentuk imajinatif seperti
wayang sekarang ini. Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam
peralatan seperti kelir atau layar, blencong, atau lampu, debog
yaitu pohon pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.
Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.
gambar Sunan Kalijaga
Dalang Wanita Cantiq |
Begitu pula para
dalang semakin profesional dalam menggelar pertunjukan wayang, tak
henti-hentinya terus mengembangkan seni tradisional ini. Dengan upaya yang tak
kunjung henti ini, membuahkan hasil yang menggembirakan dan membanggakan,
wayang dan seni pedalangan menjadi seni yang bermutu tinggi, dengan sebutan "Adiluhung".
Wayang terbukti mampu tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus
menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup. Dari landasan perkembangan
wayang tersebut di atas, tampak bahwa memang wayang itu berasal dari pemujaan
nenek moyang pada zaman kuna, dikembangkan pada zaman Hindu, kemudian diadakan
pembaharuan pada zaman masuknya agama Islam dan terus mengalami perkembangan
dari zaman kerajaan-kerajaan Jawa, zaman penjajahan, zaman kemerdekaan hingga
kini.
Indonesia Asli
Asal-usul wayang
menjadi jelas, asli Indonesia yang berkembang sesuai budi daya masyarakat
dengan Wayang Indonesia memiliki ciri khas yang merupakan jatidirinya. Sangat
mudah dibedakan dengan seni budaya sejenis yang berkembang di India, Cina, dan
negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Tidak saja berbeda bentuk serta cara
pementasannya, cerita Ramayana dan Mahabarata yang digunakan juga bisa berbeda.
Cerita terkenal ini sudah digubah sesuai nilai dan kondisi yang hidup dan
berkembang di Indonesia.
Keaslian wayang
bisa ditelusuri dari penggunaan bahasa seperti wayang, kelir, blencong,
kepyak, dalang, kotak, dan lain-lain. Kesemuanya itu bahasa Jawa Asli.
Berbeda misalnya dengan cempala yaitu alat pengetuk kotak, adalah
bahasa Sansekerta. Wayang asli menerima pengaruh dari India. Bahasa dalam
wayang ini terus berkembang secara pelan namun pasti dari bahasa Jawa Kuna atau
bahasa Kawi, bahasa Jawa Baru dan bukan tidak mungkin kelak wayang ini akan
menggunakan bahasa Indonesia. Wayang selalu menggunakan bahasa campuran yang
biasa disebut 'basa rinengga' maksudnya bahasa yang telah disusun
indah sesuai kegunaannya. Dalam seni pedalangan, kedudukan sastra amat penting
dan harus dikuasai dengan baik oleh para dalang.
Sendratari Ramayana |
Sarat dengan Falsafah
Kekuatan utama
budaya wayang, yang juga merupakan jati dirinya, adalah kandungan nilai
falsafahnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil
menyerap berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan terus dapat dilestarikan
dalam berbagai pertunjukan wayang.
Bertolak dari
pemujaan nenek moyang, wayang yang sudah sangat religius, mendapat masukan
agama Hindu, sehingga wayang semakin kuat sebagai media ritual dan pembawa
pesan etika. Memasuki pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang sebagai
tontonan yang mengandung tuntutan yaitu acuan moral budi luhur menuju
terwujudnya 'akhlaqulkarimah'.
Proses
akulturasi kandungan isi wayang itu meneguhkan posisi wayang sebagai salah satu
sumber etika dan falsafah yang secara tekun dan berlanjut disampaikan kepada
masyarakat. Oleh karena itu ada pendapat, wayang itu tak ubahnya sebagai buku
falsafah, yaitu falsafah Nusantara yang bisa dipakai sumber etika dalam
kehidupan pribadi dan bermasyarakat.
Wayang bukan
lagi sekedar tontonan bayang-bayang atau 'shadow play, melainkan
sebagai 'wewayangane ngaurip' yaitu bayangan hidup
manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang, dapat dinalar dan dirasakan bagaimana
kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk
berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertunjukan
wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan
keridloan Illahi.
Wayang juga
dapat secara nyata menggambarkan konsepsi hidup 'sangkan paraning
dumadi', manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali keharibaan-Nya.
Banyak ditemui seni budaya semacam wayang yang dikenal dengan 'puppet
show’, namun yang seindah dan sedalam maknanya sulit menandingi
Wayang Kulit Purwa.
Itulah asal-usul
wayang Indonesia, asli Indonesia yang senantiasa berkembang dari waktu ke
waktu. Secara dinamis mengantisipasi perkembangan dan kemajuan zaman.
Perkembangan
wayang dari waktu ke waktu selain didukung oleh masyarakat, juga digerakkan
oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat, bukan oleh pemerintah. Dahulu keraton
menjadi pusat dan acuan pengembangan wayang dan seni pedalangan. Peranan
keraton beralih pada lembaga-lembaga masyarakat antara lain berupa
sanggar-sanggar, lembaga pendidikan, paguyuban-paguyuban budaya, kesenian dan
dalam jaman modern sekarang ini telah tampil pula organisasi-organisasi
pewayangan. Organisasi pewayangan bersifat lokal ada pula yang bersifat
nasional. Organisasi pewayangan dan pedalangan yang bersifat nasional adalah Persatuan
Pedalangan Indonesia atau PEPADI dan SENAWANGI atau Sekretariat
Nasional Pewayangan Indonesia. Dua organisasi pewayangan yang sekarang
berkiprah dalam upaya melestarikan dan mengembangkan wayang.
SENAWANGI atau merupakan
organisasi pewayangan terkemuka dan terkonsolidasikan dengan baik. Didirikan
pada tahun 1975, di Jakarta. Setiap 5 tahun sekali, menyelenggarakan Pekan
Wayang Indonesia, yang merupakan puncak kegiatan pewayangan. Bersamaan dengan
Pekan Wayang, dilaksanakan pula Kongres SENA WANGI. Pada bulan Agustus 1999,
diselenggarakan Pekan Wayang Indonesia VII dan Kongres SENA WANGI yang ke enam.
SENAWANGI mengelola Gedung Pewayangan Kautaman yang terletak di kompleks
TMII Jakarta Timur. Diupayakan gedung ini bisa menjadi Pusat Pewayangan
Indonesia dan dunia.
PEPADI
organisasi profesi yang beranggotakan para dalang, pengrawit dan swarawati
memiliki cabang di seluruh wilayah Indonesia. Banyak bergerak dalam kegiatan
pagelaran wayang, pendidikan dan pelatihan dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar