Sebagian dari kita tentu baru mendengar agama Kaharingan. Wajar, karena agama ini hanya dianut oleh masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, Dayak Tunjung, Benuaq (Kaltim), Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan Siang. Sementara, agama yang serupa dianut juga oleh Dayak Uud Danum (Ot Danum) di Embalau dan Serawai (Kalbar) yang menggelar Tiwah (upacara penguburan kedua).
Sebagai agama peninggalan leluhur, kepercayaan Kaharingan bagi masyarakat setempat erat kaitannya dengan aktivitas keseharian mereka, yakni merambah hutan, berhuma, berburu, serta pelaksanaan upacara adat. Akan tetapi, seiring waktu berjalan, kegiatan upacara keagamaan dan kebudayaan masyarakat Dayak telah mengalami pergeseran dan mulai kehilangan makna. Desakan teknologi yang makin canggih dan merambah hingga ke pedalaman di mana warga Dayak tinggal, mendorong generasi mudanya beranggapan bahwa pelaksanaan upacara adat dipandang sebagai hal yang “kuno”.
Seperti keyakinan-keyakinan kuno di Nusantara, ajaran-ajaran agama ini tidak tertuang dalam kitab suci, melainkan beredar melalui budaya bertutur yang disampaikan oleh tetuha adat atau balian atau mereka yang memiliki kemampuan khusus untuk itu. Kini, jumlah tetuha adat yang menguasai dan mampu menuturkan ajaran Kaharingan pun jumlahnya makin sedikit dan hanya dapat ditemui saat pelaksanaan upacara adat.
Bagi sebagian orang,  Kaharingan dianggap sebagai Agama Helo alias agama lama,  Agama Huran alias agama kuno, atau Agama Tato-hiang alias agama nenek-moyang.
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’. Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan”. Menurut orang Dayak Ngaju, Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan semesta, sejak Ranying Hatalla Langit menciptakan alam semesta. Ranying, istilah yang mengacu kepada Zat Tunggal Yang Mutlak, secara turun temurun dihayati oleh masyarakat Dayak.
Kaharingan yang sudah dianut sebagai kepercayaan sejak zaman leluhur itu terbagi dalam dua jenis. Kaharingan murni yang sangat spesifik mempraktikkan ritualnya, dan Kaharingan campuran, yang sudah berbaur dengan agama lain, namun masih menjaga kepercayaan asli. Meski begitu, perbedaan keduanya tak terlalu mencolok.
Menurut kepercayaan ini, suku Dayak mempercayai banyak dewa. Seperti dewa penguasa tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Dewa tertinggi memiliki sebutan berbeda di antara sub suku Dayak. Dayak Ot Danum, misalnya, menyebut dewa tertinggi “Mahatara”, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya “Ranying Mahatalla Langit”.
Penganut kepercayaan Kaharingan memiliki tempat pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Juga memiliki waktu Ibadah rutin yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sedangkan untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah.
Sebagai kepercayaan, Kaharingan memuat aturan hidup. Nilai dan isinya bukan sekadar adat-istiadat, tapi juga ajaran berperilaku yang disampaikan secara lisan turun temurun. Aturan hidup tersebut terdapat dalam sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah: Panaturan (sejenis kitab suci), Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkawinan dan Buku Penyumpahan / Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.
Sebagai agama kepercayaan masyarakat Daya Ngaju di Kalimantan Tengah, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Bedasarkan BPS, pada tahun 2007, di Kalimantan Tengah yang terdiri dari 13 Kabupaten dan 1 Kotamadya terdapat 223.349 orang penganut agama kepercayaan tersebut.
Kaharingan yang disimbolkan dengan Pohon Kehidupan memiliki rincian makna filosofis sebagai berikut: pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.
Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sementara Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi.
Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan.
Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
Kaharingan sendiri berarti “tumbuh” atau “hidup”. Bagi mereka, agama mereka telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen.  Kedatangan agama-agama tersebut mendorong Kaharingan dipandang sebagai agama helo atau “agama lama”,  agama huran “agama kuno”, atau agama tato-hiang “agama nenek-moyang”.
Orang Dayak Ngaju dulunya tidak mempunyai nama khusus yang terberikan untuk  menyebutkan  sistem kepercayaan mereka.  Ketika bertemu dengan  orang-orang non-Dayak,  mereka menyebut agama mereka sebagai agama Dayak  atau agama Tempon. Nama Kaharingan baru diperoleh pada pertengahan 1945, yang saat itu pemerintah militer Jepang memanggil  dua orang Dayak Ngaju bernama Damang Yohanes Salilah dan W.A. Samat untuk mengetahui kejelasan nama dari  agama suku Dayak Kalimantan yang pada waktu itu disebut “agama heiden” atau “agama helo”.  Salilah lantas menguraikan bahwa  nama agama orang Dayak  adalah Kaharingan, artinya  kehidupan yang abadi dari Ranying Mahatala Langit”.
Pemerintah Indonesia mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh sebab itu, kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya kemudian “dimasukkan” dalam kategori agama Hindu sejak 20 April 1980, mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, hanya berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying.
Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.
Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang pusatnya di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

 Sumber Rujukan:
Prioritas. 2012. Membaca Tuhan dalam Pertanda Alam. Edisi 26 – Tahun 1 | 09 – 15 Juli 2012. http://www.prioritasnews.com/2012/07/10/10511/ Diakses pada 21/12/12 pada pukul 20:41
2011. Agama Kaharingan http://dongengbudaya.wordpress.com/2011/09/14/kaharingan/ Diakses pada 21/12/12 pada pukul 20:23
MARKO MAHIN. 2009. Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah. Desertasi. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Antropologi Prodi Pascasarjana UI
Yohansen Borneo. 2009. Sejarah Kaharingan. http://www.ceritadayak.com/2009/12/… Diakses pada 21/12/12 pada pukul 20:50
Yusup Roni Tamanggung. 2011. Kaharingan, agama leluhur dayak. http://plutoniko.wordpress.com/2011/09/09/kaharingan-agama-leluhur-dayak/. Diakses pada 21/12/12 pada pukul 21:33