TANJUNG PUTRI di Lasem, Kerajaan tertua di nusantara !

Kamis, 27 Juni 2013

TANJUNG PUTRI di Lasem, Kerajaan tertua di nusantara !

Sejarah Lasem (Perbatasan Pantura Jateng-Jatim)

Pada Th 1000 SM sebelum lahirnya para pemikir cina seperti :1 Laow Tze Tao, 2. Hud Tze Buddha, 3. Kong Tze Khonghucu , Bangsa Chow dari Hainan bermigrasi ke selatan sampai ke Kalimantan dan menjadi suku-suku Dayak yang nama sukunya berdasarkan nama sungai tempat mereka tinggal termasuk Suku Sampit.

Penduduk Sampit Kalimantan Selatan dilanda wabah penyakit “blarutan” yang menyerang pencernaan. Mereka menyeberang ke pulau jawa dan mendirikan kampung yang dipimpin Ki Sendang yang juga dari sampit, dan putrinya Ni Rahki. Tempat itu sekarang disebut lasem (Pantura Jatim, berbatasan dengan jateng).

Pendatang dari sampit ini gemar mengunyah buah pinang, dan bersahabat dengan ikan pesut atau sejenis hiu (lodan) kecil. Sehingga di daerah itu ada teluk lodan.. mereka juga mengagumi banteng betina sehingga mereka tidak mau makan banteng. Mereka menganut kepercayaan Whuning (Kanung). Ajaran Kanung ini Dibawa oleh Nabi Djo So No (DONG SON)sekitar tahun 1000 SM.


Pada th 230 SM Ki Sendang diwisuda jadi Datu Tanjung Putri. Dan menetapkan kalender jawa Whuning Sebagai tahun 1. dan membuat arca Ki Sendang dari batu hitam sebesar orang dewasa.

30 tahun kemudian pemerintahannya diserahkan pada Ni Rahki dan suaminya Hang lelesi. 75 tahun kemudian terjadi hubungan dengan Suku Jawa Sampung yang kebudayaannya lebih maju yang ahli dalam pengolahan bermacam-macam logam. Mereka bahkan adayang saling kimpoi campur antara jawa Whuning dan Jawa Sampung.

Tahun 1 Masehi gunung Argapura meletus. Pada th 100 M, Tanjung putri kembali ramai dipimpin oleh Datu Hang Tsuwan di kota Bejagung (Hang Tuban).

Tahun 110 M terjadi Gempa besar. Tahun 115 Datu Hang Tsuwan mendeklarasikan Negara Jawa Dwipa, dengan bersatunya Jawa Whuning dan Jawa Pegon, setelah terjadi kimpoi campur antara dua suku tersebut.

Tahun 387 M Datu Hang Sambadra mendirikan perguruan filsafat Kanung(Whuning) di gunung Tapa’an , Rembang.

Di taun Masehi: 390, Dhatu Hang Sam Bandra membuat plabuhan dan galangan-kapal (=dhak-palwa) ke Sunglon Bugel atau Gunung Bugel (Bekasnya sekarang menjadi ladang dan kali disebut Palwadhak; selatan desa Tulis, Kecamatan Lasem). perahu-kapal itu sebagai penghubung Pemerintahan Pucangsula dengan Banjar-banjar wilayanya seurutan pesisir Jawa (Pantura), mulai banjar-Losari teluk-Tanjung (Kabupaten Brebes), ketimur hingga banjar-Rabwan (Kabupaten Batang) dan Banjar-Tugu (Kabupaten Semarang), kemudian banjar Purwata dan banjar-Tanjungmaja (Kabupaten Kudus), tepian pulau Maura sebelah timur yaitu banjar-Tayu dan banjar-Blengon (Kecamatan Kelet, Kabupaten Jepara). Plabuan Pucangsula bertempat di timur galangan kapal dibuatkan Gapura menghadap kebarat menghadap Laut-teluk Kendheng (Sekarang menjadi desa Gepura) dari gapura disana dibuatkan jalanan sepanjang lereng Pegunungan Argasoka hingga pusat kota Pucangsula.

Tahun 396 Putri Hang Sam Badra yaitu Sri Datsu Dewi Sibah menikah dengan pelaut dari Keling/Kalingga(Bangsa Cholamandala dari negeri Coromandel) India, yaitu Rsi Agastya Kumbayani, yang juga adalah penyebar agama Hindu. dan lahirlah Arya Asvendra anak mereka. Mulai saat itu terjadi percampuran orang Jawa Dwipa dan orang Keling.

Di taun: 412 Masehi ada Pengelana Sramana Agama Buddha bernama: Pha Hie Yen(Fa Hian)berlayar dari Nalandha India, berniat kembali pulang ke Tsang-An (Tiongkok); tiba-tiba lagi hingga laut Jawa-Dwipa ada angin topan besar, kapalnya kemudian mangkal ke pelabuhan Pucangsula. Sramana Hwesio Pha Hie Yen diterima mengabdi oleh Dhatu Hang Sam Badra, setiap hari diajak wawancara bab rupa-rupa pengalamanya Sang Hwesio olehnya berkelana ke manca-negara. Dhatu Hang Sam Badra dengan adiknya Pandhita Hang Jana Bandra sepakat sangat mencocokkan intisarinya ajarannya Sang Buddha itu bercampur-luluh dengan laras Kearifan Jawa-Hwuning.

Di taun Masehi: 415, Dhatu Hang Sambadra meletakkan jabatan, pemerintahan Pucangsula diserahkan Dewi Sibah diwisudha ditetepkan menjadi Dattsu-agung (=Prabu-putri). Rsi Agastya menjadi Kepala banjar Rabwan(Roban) dan banjar Batur hingga Pegunungan Dieng, kebawah negara Pucangsula.
Sedang adiknya Dewi Sibah bernama: Dewi Sie Mah Ha (=Simah), yang menjadi Adipati-anom Medhangkamulaan teluk Lusi (kabupaten Blora) diwisudha diangkat menjadi Dattsu, dipindah ke banjae-gede Blengoh dijadikan Keraton keling/Kalingga.

Orang-orang yang tidak menjadi tani, diprentahkan bekerja ngumpulkan belerang dari lereng kawah Dieng; belerangnya sebagai pedagangan negara Baturretna diganjolkan barang-barang petukangan dan kain sutra dengan Pedagang dari negara China, melalui plabuhan banjar Rabwan. Negara Baturretna bersama menjadi besar dan makmur, Dhatu Rsi Agastya kemudian mrentahkan tukang-tukang ahli pahat batu orang-orang dari Endrya-Satvamayu, diutus membuat Candhi banyak sekali; setiap candhi terdapat patung Shiwa Bathara Guru; letaknya candhi ke bumi punggur Gunung Dieng. Dan dinamakan Pasraman-agung Endrya pra-Astha.

Tahun 436. Terjadi perang antara Baturretna dan Keling memperebutkan pertambangang Belerang, dinamakan Perang saudara Endriya pra Astha, dalam perang itu Rsi Agatsya gugur, dan pihak keling menang.

tahun Masehi: 450, Gunung Dieng meletus, tahun 470, Gunung Ungaran meletus, taun Masehi: 471, Gunung Maura (Murya) meletus. Bumi Argasoka menjadi hutan belantara.

Taun Masehi: 620, bumi disana itu sudah dihuni orang berkelana dari negara Keling Dattsu Dewi Simah, orang Pegunungan Ngargapura, dan orang Pegunungan Sukalila. ada pemuda gegedhug A.L. Keling yang masih Trah-darah turun ke enem dari Hang Sabura/ Dewi Simah, bernamane: Hang Anggana; miliknya mengajak orang-orang Pelaut negara Keling dan Petani pokol yang berkelana tersebut, dijak membuka hutan pejaten membuat desa dan plabuhan yang tepian nggenggeng disebutgkitri rupa-rupa, bersama sudah menjadi desa disebut: Getas-Pejaten, plabuhane disebut: Tanjungkarang.

Di taun Masehi: 645, sebab dari setelah makmur banjar Getaspejaten, Dhatu Hang Anggana kemudian mengembangkan tempat itu mekar keutara serta menyediakan pusat kota memakai bernamane dirinya disebut Rananggana (Rana + Anggana = Hang Anggana bandhol paprangan). Sekarang disebut kota: Kudus

Sabab dari ekspor kayu jati glondongan, kapas Randu dan minyak kelapa ekonomi bertumbuh dan banyak orang-orang kaya baru. Akibatnya Orang-orang kaya, pembesar dan kaum kelas atas di Rananggana itu mulai terpikat meniru Seni Budaya dan agama Hindu dari Chola; masuknya Kabudayaan Chola ke negara Rananggana menggeser Tata Budibudaya suci Jawa-Hwuning yang dianggep remeh dan rendah. Karena kalah gebyar, Tokoh-pengbesar dan orang Muda-kota yang umur 18 taun kebawah merasa gagah menggunakkan Budayanya orang Cholamandala/Coromandel; lebih-lebih para Wanitanyapun ikut-ikutan.” tetapi rakyat kecil di pedesaan, tidak terpengaruh Kabudayan luar negeri yang seperti tersebut.

Dhatu Hang Anggana , tidak seperti para pedagang kaya yang menganut Hindu Syiwa, Beliau juga mengikuti ikut masuk Agama-Hindu tetapi bukan Hindu Shiwa, dirinya beragama Hindhu-Kanung. Maka wujudnya Pamujan utawa Puranya tidak meniru corak Hindhu Chola atau Hindhu Dieng, dirinya membuat Pamujan Lembu-Nandhi duduk di Altar melambangkan Kekuatan Rakyatnya, serta Lingga-Yoni wujud Lumpang-Alu besar sangat, melambangkan: Hang Anggana Dhatu Agung yang berbakti pada nenek moyang serta Dhanhyang Leluhurnya.

KARTIKEYASINGA (648-674 M)
RATU SHIMA (674 – 703)
Ratu Sima adalah isteri Kartikeyasinga yang menjadi raja Kalingga antara tahun 648 sampai dengan 674 M. Ayahanda Kartikeyasinga adalah Raja Kalingga , yang memerintah antara tahun 632 sampai dengan 648. Sementara itu ibunda Kartikeyasinga berasal dari Kerajaan Melayu Sribuja yang beribukota di Palembang. Raja Melayu Sribuja – yang dikalahkan Sriwijaya tahun 683 M - adalah kakak dari ibunda Prabu Kartikeyasinga Raja Kalingga .
Kerajaan Kalingga adalah kerajaan bercorak Hindu. Pusat pemerintahan diperkirakan di wilayah Kabupaten Jepara saat ini. Berdiri pada sekitar abad ke-6, dan pernah diperintahkan oleh Ratu Shima.

KERAJAAN KANJURUHAN(tahun 682 Saka / tahun 760 M)
Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
•Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
•Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
•Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
•Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
•Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
•Raja dan rakyatnya mengidolakan kepada Rsi Agastya.
•Bersama Raja dan para pembesar negeri memohon Sang Maharesi Agastya menghilangkan penyakit.
•Raja melihat Arca Rsi Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
•Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok


SANJAYA (717 – 746)
Setelah Maharani Shima mangkat di tahun 732M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan KALINGGA UTARA yang kemudian disebut BUMI MATARAM, dan kemudian mendirikan Dinasti / Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Maaf, Mohon Ijin untuk saya Re-Post di Blog saya: gilangsuryas.wordpress.com :)

Zamroni Allief Billah mengatakan...

Kereeeeeeeennnn

Unknown mengatakan...

Sejarah kawitane wong jawa babad kanung

Sugi mengatakan...

refrensinya kok nggak disebutkan

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogroll

About

Blogger news