Misteri Dua Kerajaan Nusantara Yang Lenyap Akibat Letusan Tambora
Bukan
hanya tahun tanpa musim panas, letusan Tambora juga mengakibatkan wabah
penyakit dan bencana kelaparan yang melanda negara-negara dibelahan utara.
Jumlah korban yang terkena letusan langsung ditambah korban dampak dari letusan
Tambora 1815 diperkirakan menelan korban lebih dari 71.000 jiwa.
Kerajaan yang Hilang
Kerajaan Tambora dan
Kerajaan Sugeni berdiri sekitar 1678 – 1789 . Tak ada sejarah kapan
pastinya dua kerajaan ini berdiri. Dua kerajaan ini terletak di bagian utara
dan selatan kaki gunung tambora . Kedua kerajaan ini selalu berperang untuk
memperbutkan wilayah barat tambora yang ketika itu masih wilayah netral . Dan
Ketika mereka berperang pada saat itulah Gunung Tambora meletus
, hampir di katakan kedua kerajaan ini hampir tak ada yang tersisa karena
terkena awan panas , dan menimbun kedua kerajaan ini sehingga kedalaman 8 – 10
meter dibawah abu vulkanik dan tak ada 1 pun penduduk yg selamat dari bencana
alam ini.
Kedua kerajaan ini yaitu Kerajaan Tambora
dan Kerajaan Sugeni mencuat ketika seorang penduduk desa
bernama Munawarman menemukan sebuah benda kerajaan kuno yg di perkirakan
berumur 200 tahunan, ketika ia menggali sawahnya . Sontak penemuan ini
mengejutkan para ahli sejarah Indonesia beserta dunia. Banyak para ahli sejarah
dari berbagai belahan dunia datang ke Indonesia untuk mencari keberdaan dua
kerajaan yang bahkan tak tercatat dalam sejarah.
Namun hal ini di larang oleh pemerintah saat itu
(yaitu Soeharto ) dengan alasan “Biarlah sebuah misteri tetap menjadi misteri”
dan hal inipun kemudian di tutupin. Tujuh tahun kemudian sebuah team “METRO
EXPLORER” yang dibantu pemerintah setempat membuka kembali situs
bersejarah ini. Setelah 4 minggu penggalian mereka menemukan puluhan bahkan
ratusan tengkorak manusia yang tertimbun dengan kedalaman sekitar 11 meter di
bawah tanah , kemudian penggalian diperluas hingga ke arah selatan, mereka
menemukan cawan (gelas kerjaan) disisa-sisa banggunan tersebut.
Tentu hal ini juga mengejutkan mereka, karena
mereka menemukan lagi situs kuno di daerah tersebut, penggalian selanjutnya di
teruskan ke arah barat. Di penggalian ini mereka dikejutkan dengan menemukan
beberapa ratus tengkorak dengan pakaian tempur lengkap dan senjata ditangan
mereka. Di perkirakan Tambora meletus ketika mereka saling berperang dan mereka
mati seketika saat bencana mematikan itu.
Catatan Sejarah Tentang Letusan Tambora
Yang Mengguncang Dunia
Setelah beberapa abad tertidur, akhirnya Gunung
Tambora mulai menunjukkan keperkasaannya kepada dunia pada tahun 1812. Saat itu
Kaldera Gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan awan hitam. Pada
tanggal 5 April 1815, mulai terjadi erupsi dan disusul dengan bunyi suara
gemuruh yang terdengar hingga Ujung Pandang di Selebes (380 km dari Gunung
Tambora), Batavia di Jawa (1.260 km dari Gunung Tambora), dan Ternate di Maluku
(1.400 km dari Gunung Tambora). Keesokan harinya, tanggal 6 April 1815, abu
vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur dengan suara guruh terdengar
sampai tanggal 10 April 1815.
Dari serangkaian letusan yang terjadi dalam waktu
beberapa hari, meledakkan dan memotong gunung dengan lebar hampir satu mil.
Kolom vulkanik yang keluar dari perut bumi terbang ke angkasa sejauh 40 km dan
kembali ke tanah membuat aliran abu besar piroklastik, batu apung dan
puing-puing. Aliran piroklastik sudah berdampak menewaskan orang-orang di
jalan-jalan, dan melakukan perjalanan sejauh 1.300 km. Ketika aliran ini
mencapai laut, menciptakan sebuah perpindahan yang sangat besar sehingga menyebabkan
tsunami setinggi 5 meter yang memancar keluar dari pulau. Dan Tsunami ini juga
menyebabkan dampak banjir, kehancuran dan kematian pada pulau-pulau lainnya di
Indonesia.
Saat terjadi letusan Tambora, Kerajaan Inggris
sedang melakukan intervensi di wilayah koloni Belanda. Sir Thomas Raffles sempat bertinggal di Buitenzorg
(Bogor) kemudian menjadi Gubernur Jendral Bengkulu. Saat letusan itu terjadi ,
Raffles dalam memoirnya , bahwa dentuman terjadi setiap 15 menit sekali dan
berlangsung terus di hari berikutnya . Sehingga satu detasemen prajurit di
persiapkan dari Jogjakarta untuk mengantisipasi kemungkinan serangan.
Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore
hari tanggal 5 April, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus
berlanjut dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh
pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen
tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat
diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan
dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat.
—Sir Thomas Raffles’ memoir.
Raffles juga mengirim perwira untuk meneliti
keadaan di Flores , yang kemudian hasil laporan menyebutkan bahwa Flores berada
dalam kondisi yang mengenaskan , mayat-mayat bergelimpangan , rumah-rumah roboh
dan terbenam , banyak kuda yang mati , air terkontaminasi racun vulkanik.
Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku
hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap
penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih
terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir
sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh, penduduk yang selamat kesulitan
mencari makanan.
Sejak letusan, diare menyerang warga di Bima,
Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk
minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang
besar untuk masalah yang sama. —Letnan Philips diperintahkan Sir Stamford
Raffles untuk pergi ke Sumbawa
Letusan 1815
Suara gemuruh yang dihasilkan oleh erupsi Gunung
Tambora, terdengar ke Pulau Andalas dan Pulau Borneo (lebih dari 2.600 km dari
Gunung Tambora) pada tanggal 10-11 April 1815. Suara yang terdengar ini,
awalnya dianggap sebagai suara tembakan meriam.
Tanggal 10 April 1815, Gunung Tambora memuntahkan
lebih dari satu setengah juta ton (400 km³) debu vulkanik dan sulfur ke lapisan
atmosfer. Erupsi Tambora tercatat sebagai erupsi terbesar didunia setelah
Gunung Toba (saat ini Danau Toba), yang terjadi pada masa
purbakala. Oleh karena itu Ledakan Tambora adalah ledakan terbesar didunia
sejak peradaban manusia modern. Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada
skala VEI (Volcanic Explosivity Index).
Letusan ini empat kali lebih kuat daripada letusan Gunung Krakatau, 68 tahun
setelahnya.
Akibatnya, semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur.
Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung, kemudian hanyut dilaut dan
membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km. Rakit batu apung lainnya
ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober
1815. Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April.
Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asap masih terlihat pada
tanggal 23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun
1819, empat tahun setelah letusan.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer,
dengan ketinggian lebih dari 43 km. Partikel abu jatuh 1-2 minggu setelah
letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama
beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km. Angin bujur
menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat sebuah fenomena.
Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris antara
tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815. Pancaran
cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan
ungu atau merah muda di atas.
Sebelum letusan April 1815, Gunung Tambora
memiliki ketinggian kira-kira 4.300 m, yang mengokohkannya menjadi salah satu
puncak tertinggi di Indonesia. Setelah letusan, tinggi gunung menyusut hingga
setinggi 2.851 m. Sampai saat ini kaldera Gunung Tambora adalah salah satu
kaldera terluas didunia.
0 komentar:
Posting Komentar