Mangale Buaya: Berburu Buaya Ala Suku Laut

Jumat, 28 Februari 2014


wacananusantara.org | Mangale Buaye: Berburu Buaya Ala Suku Laut
Sesuai dengan namanya, suku Laut senantiasa mencari penghidupan dari air, baik lautan, maupun sungai. Oleh sebab itu, apabila berbicara mengenai Suku Laut, selalu berkaitan dengan air. Salah satunya upacara megale.
Megale adalah salah satu istilah yang digunakan untuk memancing. Baik itu memancing ikan maupun memancing binatang-binatang lainnya. Ada lagi bermacam-macam istilah memancing ikan yang dipakai di daerah ini, antara lain: mengail, mengedik, menganggang, dan mewarnai. Istilah-istilah tersebut dipakai untuk memancing ikan yang beratnya kurang dari 20 kg. Sedangkan mengale adalah istilah yang dipakai untuk memancing ikan dan binatang lain yang beratnya lebih dari 20 kg. Oleh karena itu, menangkap buaya dengan cara memancing sering disebut dengan istilah ‘mangale buaya’.
Upacara Mangale buaya ini terbagi atas beberapa tahap, yaitu:
  1. Upacara melabuh ale
  2. Upacara mengambil buaya
  3. Upacara membunuh buaya
  4. Upacara membaca doa  selamat
Orang-orang akan bersepakat menangkap buaya, apabila buaya mengganggu ketentraman kampung. Misalnya menangkap ternak dan menakut-nakuti orang kampung dengan sering menampakan diri di hadapan banyak orang. Buaya yang telah banyak melakukan kesalahan, akan dianggap menyerahkan diri untuk segara ditangkap.
Sebagai tanda sang buaya akan menyerahkan diri, seringkali  mengebur-ngeburkan air sungai dengan ekornya di sekitar tenoat kediaman seorang pawang. Apabila buaya telah memberikan tanda-tanda seperti itu, pawang akan segera bertindak. Sang pawang akan bermusyawah dengan beberapa orang pemuka masyarakat di daerah itu untuk segera melaksanakan upacara mangale buaya.
Selain untuk menjaga ketentraman orang-orang kampung, upacara ini juga dilaksanakan dengan maksud untuk mengambil kulitnya. Kulit buaya sangat baik untuk bahan dasar pembuatan tas, tali pinggang dan sebagainya. Oleh karena itu harganya sangat mahal.
Adapun maksud penyelenggaraan masing-masing tahap upacara tersebut sebagai berikut:
  1. Melabuh ale dimaksudkan/bertujuan agar ale yang telah dilengkapi dengan umpan tersebut dapat dimakan oleh sang buaya.
  2. Megambil buaya dimaksudkan/bertujuan agar buaya yang telah terkena ale tersebut dapat dibawa pulang untuk kemudian dibunuh secara bersama-sama.
  3. Membunuh buaya dimaksudkan/bertujuan agar buaya tidak lagi membuat keonaran atau mengganggu keamanan kampung.
  4. Membaca doa selamat dimaksudkan/bertujuan, pernyataan rasa syukur orang-orang kampung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas tertangkapnya sang buaya. Serta memohon perlindungan dan keselamatan terhadap segala macam mara bahaya yang akan menimpa kampung beserta seluruh masyarakat pada masa-masa mendatang.
Upacara melabuh ale boleh dilaksanakan pada setiap saat. Meski demikian upacara ini lazim dilaksanakan menjelang waktu magrib (kira-kira pukul 05.30 s.d. 06.00). Saat-saat seperti ini dipilih dengan harapan agar ale tersebut dapat dimakan oleh sang buaya pada malam harinya. Sebab buaya lebih senang ke luar mencari mangsanya pada malam hari.
Apabila terdengar berita bahwa ale telah dimakan oleh buaya, maka pawang harus memperhitungkan saat yang tepat untuk menjemput sang buaya yang terkena ale tersebut. Biasanya sang pawang mengetahui saat-saat yang baik untuk berangkat dan saat-saat yang dapat mendatangkan bahaya.
Waktu pelaksanaan upacara membunuh buaya tidaklah bisa dipastikan dengan mudah. Bergantung pada waktu penjemputan buaya oleh pawang beserta pembantu-pembantunya, hingga sampai di tempat pembunuhan. Oleh karena itu, seandainya buaya yang dijemput sampai ke kampung pada malam hari, pembunuhan sang buaya tetap ditangguhkan pada keesokan harinya. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan yang seluas-luanya kepada orang kampung untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Serta mengindari dari sesuatu yang bisa melukai atau kecerobohan lainnya yang mungkin timbul akibat terbatasnya cahaya pada malam hari.
Upacara membaca doa selamat, lazim dilaksanakan pada malam jumat selepas sholat magrib. Menurut kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun, upacara ini dilaksanakan sekurang-kurangnya tiap tiga malam jumat secara berturut-turut.
Upacara melabuh ale dilaksanakan di daerah ale dilabuhkan. Rakit biasanya dilabuhkan di kuala suka (anak sungai atau di tepi sungai yang agak jauh dari tempat permukiman warga. Sedangkan tempat pelaksanaan upacara mengambil buaya tergantung di daerah atau tempat ale dibawa lari oleh sang buaya. Mungkin saja upacara tersebut terpaksa dilaksanakan di laut, kalau kebetulan ale dibawa lari oleh sang buaya ke laut.
Upacara membunuh buaya biasanya dilakukan di lapangan terbuka. Maksudnya supaya seluruh masyarakat kampung dapat menyaksikan peristiwa yang cuku mengesankan bagi orang kampung itu. Upacara membaca doa selamat dilaksanakan di rumah pawang atau pun di suarau-surau.
Adapun mantera yang dibacakan pada upacara melabuh ale ialah sebagai berikut:
Assalamualaikum kutahu asalmu mule menjadi rotan sage. Ramput putih dayang musinah, jatuh ke laut berjurai-jurai. Sudah diizinkan Nabi Nuh, hendak bertemu dengan janjian. Bujang singong, bujang singyang putih dade hitam belakang. Kias di gunung batang, kias di gunung batu, rambut putih pancung muari turun mandi.
Sambut senandung tuan puteri seberang laut. Kala engkau tidak menyambut, ke hulu kau tak makan, ke hilir kau tak dapat minum. Tunduk ke bawah engkau muntahkan nanah. Kalau engkau tidak menyambut engkau disumpah tuan putri malin kohar.
Neng zab raden kerinci, raden amali. Hulubalang sri rantam. Kumpullah engkau di sini, aku nak bekerja ramai. Jika engkau tidak berkumpul di sini engkau disumpah putri malin kohar.
Mantera-mantera tersebut dimaksudkan agar umpan tersebut disambut buaya. Dipercaya bahwa setiap mantera yang diucap dalam upacara ini mengandung unsur magis yang dapat mendorong buaya untuk memakan umpan dalam rakit atau ale.

Sumber Rujukan
Marsanto P,  Khidir, “Suku Laut Kepulauan Riau”,  5 Januari 2012 <http://shydiq25.blogspot.com/2012/01/suku-laut-kep-riau.html> [diakses 2013]
Khidir Marsanto, “Negara, Adat Melayu, dan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau”, 29 Desember 2012 <http://iidmarsanto.wordpress.com/2010/12/29/negara-adat-melayu-dan-orang-suku-laut-di-kepulauan-riau/> [diakses 2012]

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogroll

About

Blogger news