Catatan Penyunting

Seseorang dengan nama yang besar, selalu menjadi inspirator karena karyanya yang besar. Raja Purnawarman, sang inspirator karyabhakti; mahakarya abadi bagi penduduk negeri.
8.8
Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang cukup dikenal. Beliau bahkan diberitakan telah membawa Nagara Taruma pada masa keemasannya.
Purnawarman dilahirkan tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna tahun 294 Saka (kira-kira 16 Maret 372 M). Dua tahun sebelum ayahnya wafat, Purnawarman dinobatkan sebagai raja Tarumanagara ketiga pada tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 317 Saka (kira-kira: tanggal 12 Maret 395 M). Ia berusia 23 tahun ketika dinobatkan menjadi Raja dan memerintah selama 39 tahun, dari tahun 395 hingga 434 dengan dibantu adiknya, Cakrawarman, panglima angkatan perang Tarumanagara. Sementara pamannya, Nagawarman, adalah panglima angkatan laut. Dari permaisurinya (putri dari seorang raja bawahan Tarumanagara), Purnawarman memiliki beberapa anak lelaki dan perempuan.
Raja Purnawarman membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai yang dinamainya Sundapura. Pada masanya, kekuasaan Tarumanagara mencakup wilayah Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah bagian barat. Prasasti lain yang memberitakan Purnawarman, yakni Prasasti Cidanghiyang atau disebut juga Prasasti Lebak karena ditemukan di Kampung Lebak di tepi Sungai Cidanghiyang, Kec. Munjul, Pandeglang, Banten. Hal ini membuktikan bahwa daerah Banten dan pantai Selat Sunda juga termasuk wilayah kekuasaan Tarumanagara.
Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah Teluk Lada, Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional, Cipamali (Kali Brebes) dianggap batas kekuasaan raja-raja di Jawa Barat masa silam.
Daerah-daerah kekuasaan Tarumanagara pada masa Purnawarman di antaranya; Salakanagara, Cupunagara, Nusa Sabay, Purwanagara, Hujungkulwan (Ujung Kulon), Gunung Kidul, Purwalingga, Agrabinta, Mandalasabara, Bhumisagandu, Paladu, Kosala, Legon, Indraprahasta, Manukrawa, Malabar, Sindangrejo, Wanagiri, Purwagaluh, Cangkwang, Gunung Gubang, Gunung Cupu, Alengka, Gunung Manik, Salakagading, Pasirbatang, Karangsidulang, Gunung Bitung, Tanjungkalapa, Pakwan Sumurwangi, Kalapagirang, Tanjungcamara, Sagarapasir, Rangkas, Puradalem, Linggadewa, Wanadatar, Jatiagong, Satyaraja, Rajatapura, Sundapura, Dwakalapa, Pasirmuhara, dan Purwasanggarung.
Berita dari luar negeri tentang Kerajaan Tarumanagara ini datang dari seorang pendeta Buddha asal Cina bernama Fa-Hsien. Dalam catatannya, Fa-Shien menyebutkan adanya Kerajan “Tolomo” di Jawa sebelah barat. Tolomo adalah ucapan lidah orang Cina bagi kata “Taruma”. Syahdan, pada 414 M (pada masa pemerintahan Raja Purnawarman), Fa-Hsien berangkat dari Sri Lanka untuk pulang ke Kanton di Cina.
Pendeta Buddha ini sebelumnya sudah bertahun-tahun belajar tentang agama Buddha di kerajaan-kerajaan yang bercorak Buddha, seperti di Sriwijaya. Setelah dua hari berlayar, kapal yang tumpanginya diterjang badai. Sang pendeta pun terdampar dan terpaksa mendarat di “Ye Po Ti”, ejaan Cina bagi kata Jawadwipa atau Pulau Jawa. Besar kemungkinan, tanah yang ia darati adalah Tarumanagara yang memang terletak di Pulau Jawa bagian barat.
Prasasti Masa Purnawarman
Purnawarman
Prasasti Ciaruteun ditemukan di bukit rendah bepermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten, dan Ciaruteun. Prasasti ini semula terletak di aliran Sungai Ciaruteun, 100 meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Sungai Cisadane. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, berbunyi:
     Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termahsyur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Pada Prasasti Ciaruteun terdapat pandatala atau jejak kaki, yang berfungsi mirip tanda tangan pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti ini menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama Rajamandala (raja daerah) Pasir Muhara. Sampai abad ke-19, tempat itu masih disebut Pasir Muara (kini termasuk wilayah Kec. Cibungbulang).    
Sementara itu, Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan sebaris puisi berbunyi:
Kedua jejak telapak kaki ini adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi, Airawata adalah nama gajah tunggangan Dewa Indra, Dewa Perang dan Dewa Guntur. Gajah perang Purnawarman pun diberi nama Airawata. Bahkan, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah. Ukiran bendera dan sepasang lebah itu ditatahkan pada Prasasti Ciaruteun (para ahli sejarah masih berdebat tentang maknanya). Ukiran kepala gajah bermahkota teratai dan ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki tersebut masih belum terpecahkan bacaannya sampai kini. Sebagian ahli menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar, atau kombinasi matahari dan bulan (surya-candra).
Di daerah Bogor, ada satu prasasti lainnya, yaitu Prasasti Jambu (kadang disebut Prasasti Kolengkak) yang berada di puncak Bukit Kolengkak, Desa Pasir Gintung, Kec. Leuwiliang. Pada bukitnya mengalir Sungai Cikasungka. Prasasti ini pun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris, berbunyi:
    Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma, serta baju zirah (warman)-nya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya. Kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
Pembuatan Kanal dan Saluran Irigasi
Untuk kesejahteraan hidup rakyatnya, Purnawarman sangat memperhatikan pemeliharaan aliran sungai dimaksudkan untuk menghindari banjir yang kerap mengganggu wilayah Tarumanagara dan mengatasi masalah kekeringan selama kemarau.
Tahun 410 M ia memperbaiki aliran sungai Gangga di daerah Cirebon yang waktu itu termasuk kawasan kerajaan Indraprahasta. Sungai yang bagian hilirnya disebut Cisuba, mulai diperbaiki (diperdalam dan diperindah tanggulnya) selesai pada tanggal 12 bagian gelap bulan Margasira, selesai pada tanggal 12 bagian terang bulan Posya tahun 332 saka. Sebagai tanda penyelesaian karyanya Sang Purnawarman mengadakan selamatan dengan pemberian hadiah harta (sangaskarthadaksina) kepada para brahmana dan semua pihak yang ikut serta menggarap pekerjaan itu sampai selesai. Hadiah itu berupa : sapi 500 ekor, pakaian, kuda 20 ekor, gajah seekor yang diberikan kepada raja Indraprahasta dan jamuan makanan dan minuman yang lezat. Ribuan orang laki-laki dan perempuan dari desa sekitarnya yang ikut serta berkarya-bakti, mereka semua mendapat hadiah dari Sang Raja Purnawarman.
Dua tahun kemudian Sang Purnawarman memperteguh dan memperindah alur kali Cupu yang terletak di (kerajaan) Cupunegara. Sungai tersebut mengalir sampai ke istana kerajaan. Pekerjaan dimulai tanggal 4 bagian terang bulan Srawana (Juli/Agustus) sampai tangal 1 bagian gelap bulan Srawana itu juga (14 hari) tahun 334 Saka (412 M). Hadiah yang dianugrahkan Sang Purnawarman pada upacara selamatannya ialah: sapi 400 ekor, pakaian dan makanan lezat). Setiap orang yang ikut serta mengerjakan saluran ini mendapat hadiah dari raja.
Baik di tepi kali Gangga di Indraprahasta mau pun di tepi kali Cupu, Sang Maharaja Purnawarman membuat prasasti yang ditulis pada batu sebagai ciri telah selesainya pekerjaan itu dengan kata-kata berbunga (sarwa bhasana) mengenai kebesarannya dan sifat-sifat yang ibarat Dewa Wisnu melindungi segenap makhluk di bumi dan di akhir kelak. Prasasti itu ditandai lukisan telapak tangan. Para petani merasa senang hatinya. Demikian pula para pedagang yang biasa membawa perahu dari muara ke desa-desa di sepanjang tepian sungai.
Pada tanggal 11 bagian gelap bulan Kartika (Oktober/November) sampai tanggal 14 bagian terang bulan Margasira (Desember/Januari) tahun 335 Saka (413 M), Sang Purnawarman memperindah dan memperteguh alur kali Sarasah atau kali Manukrawa. Waktu dilangsungkan upacara selamatan Sang Purnawarman sedang sakit sehinga terpaksa ia mengutus Mahamntri Cakrawarman sedang sakit sehingga terpaksa ia mengutus Mahamantri Cakrawarman untuk mewakilinya. Sang Mahamenteri disertai beberapa orang menteri kerajaan, panglima angkatan laut, sang tanda, sang juru sang adyaksa beserta pengiring lengkap datang di tempat upacara dengan menaiki perahu besar. Hadiah yang dianugerahkan adalah: sapi 400 ekor, kerbau ( mahisa) 80 ekor, pakaian bagi para brahmana, kuda 10 ekor, sebuah bendera Taruma nagara, sebuah patung Wisnu dan bahan makanan. Setian orang yang ikut serta dalam pekerjaan ini memperoleh hadiah dari Sang Maharaja Purnawarman.
Para petani menjadi senang hatinya karena ladang milik mereka menjadi subur tanahnya dengan mendapat pengairan (kawwayan) dari sungai tersebut. Dengan demikian tidak akan menderita kekeringan dalam musin kemarau.
Kemudian Sang Purnawarman memperbaiki, memperindah serta memperteguh alur kali Gomati dan Candrabaga itu beberapa tahun sebelumnya telah diperbaiki, diperindah serta diperteguh alurnya oleh Sang Rajadirajaguru kakek Sang Purnawarman. Jadi Sang Maharaja Purnawarman mengerjakan hal itu untuk kedua kalinya.
Pengerjaan kali Gormati dan Candrabaga ini dilangsungkan sejak tanggal 8 bagian gelap bulan Palguna sampai tanggal 13 bagian terang bulan Caitra tahun 339 Saka (417 M). Ribuan penduduk laki-laki dan perempuan dari desa-desa sekitarnya berkarya-bakti siang-malam dengan membawa berbagai perkakas. Mereka itu berjajar memanjang di tepi sungai. Sambung-menyambung tidak terputus tanpa saling mengganggu pekerjaan masing-masing.
Selanjutnya Sang Purnawarman mengadakan selamatan dan hadiah-harta kepada para brahmana. Perinciannya: sapi (ghoh) 1.000 ekor, pakaian serta makanan lezat, sedangkan para pemuka dari daerah ada yang dihadiahi kerbau (mahisa), ada yang dihadiahi perhiasan emas dan perak, ada yang dihadiahi kuda dan bermacam-macam hadiah lainnya lagi. Di sana Sang Maharaja membuat prasasti yang ditulis pada batu.
Demikian pula di tempat-tempat lain, Sang Purnawarman banyak membuat prasasti batu yang dilengkapi dengan patung peribadinya, lukisan telapak kaki tunggangannya yaitu gajah bernama Sang Erawata. Demikian pula ada yang ditandai dengan lukisan brahmara (kumbang  or lebah), sanghyang tapak, bunga teratai, harimau dan sebagainya dengan tulisan pada batunya.
Di tempat pemujaan ( pretakaryan) yang telah selesai dibangun, dilukiskan bendera Taruma nagara dan jasa-jasa sang mahara. Semua itu ditulis pada prasasti batu di sepanjang tepi sungai di beberapa daerah.
Pada tanggal 3 bagian gelap bulan Jesta (Mei/Juni) sampai tanggal 12 bagian terang bulan Asada (Juni/Juli) tahun 341 Saka (413 M) Sang Purnawarman memperbaiki, memperteguh alur dan memperdalam Citarum, sungai terbesar di kerajaan Taruma di Jawa Barat. Selamatan dan hadiah harta dilaksanakan setelah pekerjaan itu selesai. Hadiah berupa sapi 800 ekor, pakaian, makanan lezat, kerbau 20 ekor dan hadiah-hadiah lain.
Pembangunan kanal dan pembaharuan aliran-aliran sungai tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan perekonomian. Kedua sungai tersebut selain berfungsi sebagai sarana pencegah banjir, juga berfungsi sebagai sarana lalu lintas air (sumber irigasi) dan perdagangan antara Tarumanagara dengan kerajaan atau daerah lain (perdagangan di tepian sungai  semakin ramai). Kekeringan pun tidak pernah melanda di seluruh penjuru negeri Tarumanagara meskipun dalam kondisi kemarau. Penggalian sungai  yang dilakukan secara bersama-sama ini memperlihatkan semangat “gotong-royong” masyarakat Tarumanagara. Pustaka Jawadwipa menyebutkan, pada masa Tarumanagara aktivitas “gotong royong” ini disebut karyabhakti.
Akhir hayat
Maharaja Purnawarman wafat pada tanggal 24 November 434, dalam usia 62 tahun. Beliau dipusarakan di tepi sungai Citarum. Tahta kerajaan kemudian dipegang oleh putranya yang bernama Wisnuwarman yang memerintah dari tahun 434 hingga 455.

Sumber Rujukan:
Atja dan Edi S. Ekadjati. 1987. Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara I.1: Suntingan Naskah dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, dan Enoch Atmadibrata (penyusun naskah) 1983-1984. “Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat” (RPMSSJB), jilid kedua, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat.
West Java Kingdom. Kerajaan Tarumanagara. http://www.westjavakingdom.info/search/label/A02.%20Kerajaan%20Tarumanagara, diakses pada 8/1/13, pkl. 13.20
Kerajaan Sunda. 2011. Tarumanagara. http://kerajaan-sunda.blogspot.com/2011/12/tarumanagara.html, diakses pada 8/1/13, pkl. 13.28
West Java Kingdom. Kerajaan Bawahan Tarumanagara. http://www.westjavakingdom.info/search/label/A02b.%20Kerajaan%20Bawahan%20Tarumanagara, diakses pada 8/1/13, pkl. 14.00
Sonata. 2011. Kerajaan Tarumanegara (358 – 723). http://sonata8.com/sejarah-indonesia/75-era-kerajaan/313-kerajaan-tarumanegara, diakses pada 8/1/13, pkl. 14.23