Sosial, Budaya, dan Arsitektur Peta Nias
Tano Niha atau “Tanah Manusia” merupakan pulau kecil seluas 5.625 km2. Terletak sekitar 120 Km dari Sumatra Barat, di lingkaran terluar sebelah barat Kepulauan. Pulau Nias, di lepas pantai Sumatra, dikenal dengan rumahnya yang megah dan gaya arsitekturnya yang khas. Bangunan besar dengan atap menjulang merupakan ciri tersendiri; sebuah tradisi arsitektur yang tidak didapati di bagian lain Nusantara. Selain itu jalan-jalan di Nias berlapis batu berukuran besar, dan kebudayaan megalitik yang masih kuat.
Ksatria-ksatria Nias | Foto dari: Tropenmuseum
Ksatria-ksatria Nias | Foto dari: Tropenmuseum
Nias memiliki keunikan budaya yang mengagumkan karena keagungan upacara adat, arsitektur, seni dan budaya yang luar biasa; kesemuanya itu “tertata baik” walau pun mereka melakukan hubungan dengan dunia luar. Di masa lalu, masyarakat Nias dibagi ke dalam beberapa tingkat kemasyarakatan:
· Pertama, Si Ulu, yaitu raja, kepala adat, termasuk juga kaum bangsawan.
· Kedua, Sato, yaitu masyarakat biasa.
· Ketiga, Sawuyu, yaitu budak.
Tingkat tertinggi kedudukannya dalam tatanan sosial masyarakat Nias adalah raja. Istilah Si Ulu atau “Penguasa” hanya digunakan oleh raja. Meski kerajaan telah tiada dan sistem kasta telah dihapuskan, pengaruh di masa lalu itu masih terasa kuat hingga hari ini.
Tinggalan Megalith Nias | Foto dari: flickr.com
Doradaro | Foto dari: flickr.com
Perlindungan bagi Si Ulu dipercayakan kepada para kesatria terbaik di “Tanah Manusia”. Setiap saat mereka dipersenjatai dengan pedang yang dilengkapi gigi buaya dan taring babi.
Julukan yang tersemat pada Si Ulu adalah “anak dari surga” atau “titisan dewa bumi”. Permintaan terakhir sang raja sebelum ajal menjemput haruslah dituruti. Selain itu emas-emas atau barang beharga lainnya harus dikubur bersamanya.
Masyarakat Nias memiliki kepercayaan bahwa, di atas langit terdapat sembilan tingkatan surga. Pada tingkatan paling atas bersemayam Lowalangi, Dewa Surga. Sementara sembilan tingkatan di bawah bumi dikuasai oleh Latura, Dewa Kematian.
Dalam ritual kepercayaannya, Masyarakat Nias menggelar upacara pengorbankan hewan sebagai perayaan yang ditujukan bagi Lowalangi, Dewa Surga. Persembahan lainnya seperti telur, hasil bumi, tuak, dan air ditujukan bagi roh para leluhur dan alam. Ritual lainnya nampak pada upacara pemakaman, dengan memberi perhatian khusus pada kepala suku.
Jasad ditempatkan pada sebuah altar dan dicuci dengan daun-daunan sebagai wewangian, sehingga kedatangan arwah yang kembali ke rumah dapat dikenali dari wewangian tersebut. Masyarakat Nias menggelar nyanyian penguburan dan tari-tarian yang berlangsung selama empat hari. Selama itu tidak boleh ada kegiatan selain upacara tersebut. Pada hari ketiga, jasad mulai dikuburkan dan untuk mencegah arwah kembali, maka sebuah patung kayu “Adu” dibuatkan di dekat makam agar memungkinkan arwah tinggal di dalamnya.
Pulau ini secara budaya dibagi ke dalam tiga wilayah, yaitu Utara, Tengah, dan Selatan; di setiap wilayah terdapat berbagai macam seni, bahasa, dan adat istiadat. Setiap pemimpin desa ditunjuk oleh majelis desa yang disebut “Orahua”. Di masing-masing desa terdapat batu persemayaman (darodaro) yang dibuat untuk menyemayamkan arwah yang telah terpisah dari jasadnya. Tugu ini dipahat dan dihiasi relief dengan rupa seperti manusia.
Omo hada atau rumah adat
Omo hada atau rumah adat | Foto dari: travel.detik.com
Arsitektur rumah di “Tanah Manusia” terkenal dengan fondasinya. Terdiri dari pengaturan rumit tiang tegak agak miring. Bangunan ini dirancang untuk tahan  guncangan gempa bumi. Hal ini dapat dilihat dari bangunan yang memiliki tingkat kelenturan karena tiangnya tidak dipancangkan ke tanah melainkan bersandar di atas fondasi batu.
Rumah-rumah di Nias dibuat dari bahan kayu yang diberi corak seperti kapal perang. Atap yang curam dengan bagian atap yang dapat dibuka, berfungsi memasukkan sinar matahari ke ruang dalam serta memberikan sirkulasi udara yang baik. Atap ini memiliki kekhasan tersendiri karena tidak ditemukan di bagian Nusantara lainnya. Atap rumah dibangun tinggi dari bahan serat palem, namun seiring masuknya pengaruh modernitas mulai ditinggalkan dan beralih ke atap seng. Rumah kepala suku disebut “omo sebual”.
Arsitektur Rumah Nias
Arsitektur Rumah Nias
Bangunannya berbeda dengan rumah masyarakat pada umumnya. Hal ini dapat dilihat dari arsitektur rumah dengan banyaknya “piagam” penghargaan perang dan patung di sekitarnya.
Dari segi tata ruang, Masyarakat Nias membangun desanya dalam dua jajar rumah (kiri dan kanan). Di tengah dua jajaran rumah terdapat sebuah ruang kosong sebagai jalan utama “ewali” dengan lantai batu. Tugu batu prasejarah terletak di depan pelataran sebagai tempat berkumpul masyarakat kelas menengah-keatas.
Tugu batu tersebut dikenal sebagai dinding batu alias “oli batu”. Tugu-tugu tersebut menunjukkan kelas pemilik rumah. Sebagai tanda penghargaan jasa masa lalu serta peringatan abadi bagi orang yang mengadakan pesta penghargaan. Batu tersebut merupakan contoh tingkatan sosial di masyarakat desa dalam pendirian menhir “fa’ulu” oleh ketua adat.
Hak mendirikan tugu ditentukan oleh majelis desa yang anggotanya mempertimbangkan pada dasar-dasar berikut:
· Mokho, yaitu kekayaan;
· Molakhomi, yaitu kepemimpinan;
· Fa’asia, yaitu usia atau umur;
· Onekhe, yaitu kecerdasan atau kemahiran.
Tari Perang Suku Nias
Tari Perang Suku Nias
Batu ini terdiri dari bentuk seperti menhir, bangku panjang, dan bangku bundar. selai rumah huni, di Nias juga mengenal istilah rumah pertemuan umum yang disebut “bale”. Letaknya di dekat rumah kepala suku di seberang lapangan “gorahua newali”.
Dahulu, ketika masih sering terjadi peperangan dan penyerbuan, desa dilindungi oleh pagar dari tiang bambu runcing dengan selokan yang dalam di belakang pagar. Hal ini tentu saja menjadi benteng pertahanan yang jitu pada masanya. Sebuah pertahan dalam terdiri dari dinding batu tebal dengan satu pintu masuk yang dijaga oleh sebuah rumah jaga.
Nias Tengah merupakan tempat lahirnya budaya Nias. Di luar desa banyak tersebar patung-patung leluhur atau juga falus yang disebut “edu”. Dilengkapi dengan ukiran berbentuk organ seksual dengan maksud untuk kesuburan. Rumah-rumah di Nias Utara dibedakan oleh denah lantai dasar yang khas dengan bentuk lonjong. Konstruksi Rumah Nias300
Atapnya terdiri dari struktur yang lebih ringan dengan ruangan bawah atap tanpa penghalang. Memungkinkan lantai tingkat di atas sebagai lantai tempat tinggal utama. Nias sampai sekarang masih merayakan pesta dengan pertandingan, tari-tarian, dan upacara. Di antara acara yang ada yaitu tarian perang, sebuah pertunjukkan kebudayaan yang spektakuler, kaya akan simbolisme dan warna. Di masa lalu, “lombo batu”, yaitu upacara melompati susunan batu yang tinggi, merupakan sebuah upacara persiapan untuk melakukan penyerangan ke benteng musuh.
Sekarang, lombo batu hanya merupakan kegiatan atletis yang menunjukkan kemampuan dan keahlian seseorang. Orang-orang di Nias sampai sekarang melakukan kegiatan mematung dan melukis, mengolah logam, memahat ornamen seperti pada emas, perak, kuningan, dan alumunium. Di samping itu, kebanyakan orang-orang di sana hidup dengan mencari ikan, berburu, bertani, dan beternak unggas.
Lompat Batu | Foto dari: efriritonga.wordpress.com
Lompat Batu | Foto: efriritonga.wordpress.com
Seiring masuknya kepercayaan baru seperti Kristen yang dibawa oleh penjelajah dari Eropa dan Islam yang dibawa oleh para pedagang Timur Tengah dan Asia Selatan, maka simbol-simbol, yang menurut pandangan mereka—orang Kristen dan Islam—merupakan animisme dan dinamisme, mulai dihilangkan.
Banyaknya “pelancong” juga ikut andil menularkan hal-hal baru yang lambat laun telah mengubah wajah Tano Niha. Patung-patung dan peninggalan leluhur mulai “dihancurkan”. Sebagian ditinggalkan oleh mereka sendiri. Mereka yang muda lebih banyak memilih pergi ke kota-kota untuk mengadu nasib. Dan sayangnya, banyak peninggalan budaya Nias yang mulai diperjual-belikan atau bahkan dicuri oleh para kolektor dari dalam dan luar negeri yang tak ternilai harganya.
Inilah Wajah perjalanan sejarah dan budaya di Nias “Tanah Manusia”. Bukan hal yang mustahil bila kejadian pembredelan kebudayaan di daerah lain bernasib sama dengan Nias: diasingkan, dilarang, ditonton, dicuri dan kemudian tanpa disadari hilang. Wujudnya saja yang tetap ada, tapi budaya sebagai sebuah sistem gagasan mungkin perlahan telah ditinggalkan.
Pariwisata Nias sesungguhnya tumbuh karena keindahan alam dan keunikan budayanya. Melestarikan aset ini merupakan fungsi utama kepariwisataan Nias. Bila keunikan alam dan budaya ini hilang, maka hilang pulalah kepariwisataan itu. Konsep kepariwisataan Nias harus berbasis pada masyarakat dan budaya. Kepariwisataan seperti ini menempatkan manusia Nias sebagai subjek dan pemanfaatannya sebesar-besarnya diperuntukkan bagi masyarakat. Prinsipnya dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
Wisatawan datang untuk melihat Nias yang sesungguhnya dan kehadiran mereka dapat menjadi sumber “mata air” kehidupan. Meskipun kekayaan budaya itu melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nias, namun disadari atau tidak, saat ini berada dalam proses transisi dari era tradisional menuju era modernisasi. Perubahan paradigma yang dihadirkan melalui kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi serta pembangunan berlangsung jor-joran. Ketidakwaspadaan bisa menyebabkan nilai dan apresiasi berbagai kekayaan budaya Nias terkikis, bahkan punah.  Semoga saja kita bisa berlaku lebih bijak.

Sumber Rujukan:
Morabito, Antonio.1994. Indonesia Archipelago of Wonders. Jakarta: PT. Prajnawati.
Soebadyo, Haryati, dkk. 2002. Indonesian Heritage: Arsitektur. Jakarta: Buku Antar Bangsa.
Esther Pormes Telaumbanua, (Ketua Yayasan Tatuhini Nias Bangkit.). www .suarapembaharuan.com.