Tarawangsa
Tarawangsa salah satu alat musik masyarakat Sunda. Keberadaannya telah disebut-sebut dalam naskah-naskah Sunda Kuno seperti Jatiraga dan Sewa ka Darma yang ditulis pada masa Kerajaan Sunda-Pajajaran masih berdiri tegak.
Kini, tradisi seni tarawangsa masih hidup di beberapa daerah Jawa Barat. Walau tinggal hitungan  jari. Sebutlah Rancakalong di Sumedang, Cipatujah di Tasikmalaya, dan di daerah-daerah tertentu di Bandung dan Banten.
Tarawangsa dan Jentreng
Tarawangsa merupakan alat musik kayu yang terdiri atas dua bagian. Tangkai penampang dawai dan badan (body) berbentuk kotak. Dawainya memiliki dua senar yang dimainkan oleh lengan kiri. Sementara penggeseknya dimainkan oleh tangan kanan. Adapun senar yang satu dan paling dekat dengan pemain dimainkan dengan cara digesek. Sedangkan senar satu lagi dipetik dengan jari telunjuk. Jenis kayu yang digunakan untuk membuat tarawangsa adalah kayu kemiri, jengkol, dadap, dan kenanga.
Tarawangsa tak berdiri sendiri. Ia merupakan ensemble yang ditemani oleh alat musik lain bernama jentreng’ Bentuknya seperti kecapi. Jentreng terbuat dari kayu dan terdiri atas tujuh dawai dan dimainkan dengan dipetik.
Sementara laras atau tangga nada yang digunakan dalam memainkan tarawangsa adalah pelog (tiap oktafnya terdiri atas lima, enam, atau tujuh nada yg jaraknya tidak sama). Disesuaikan dengan steman jentreng yang pelog (bernada da-mi-na-ti-la).
Asal Mula Tarawangsa
Sukar sekali melacak sejak kapan alat musik tarawangsa lahir di Tanah Pasundan, karena ketiadaan sumber tertulis mengenai hal tersebut. Namun, kita masih diuntungkan oleh sejumlah tradisi lisan yang hidup hingga kini yang mengisahkan asal mula tarawangsa. Salah satunya tradisi lisan masyarakat Rancakalong, Sumedang. Menurut versi lisan Rancakalong, seni tarawangsa telah ada sejak masa Kerajaan Mataram Kuno, sekitar abad ke-8 atau ke-9 Masehi.
Dikisahkan bahwa pada saat itu di Tatar Sunda belum ada bibit padi (sawah). Syahdan, sekelompok pemain musik jalanan alias pengamen dari Tatar Sunda, membawa berbagai alat tatabeuhan seperti celempung, rengkong, dan tarawangsa, tiba di wilayah Mataram (antara Jawa Tengah dan Yogyakarta kini). Sebuah negara dengan wilayah yang menghasilkan beras melimpah. Dari benak para pengamen ini lahir sebuah gagasan konyol namun revolusioner: mencuri benih padi.
Para pengamen pun mencoba menyembunyikan benih padi ke dalam celempung, alat musik pukul dari bambu. Namun, upaya penyembunyian ini gagal. Tak kehilangan akal, para pengamen ini mencoba memasukkan benih ke dalam rengkong, yakni pikulan untuk padi dari bambu (awi gombong). Akan tetapi, lagi-lagi usaha para pengamen ini gagal. Mereka terus mencari akal dan kemudian, seorang dari mereka yang bernama Eyang Sinapel atau Eyang Wisya Mangkunegara berhasil membawa benih padi dengan cara menyembunyikan di lubang tarawangsa. Usaha si eyang ini berhasil, mereka pun lalu pulang ke kampung halamannya di Rancakalong dengan membawa benih padi asal Mataram itu. Konon, sejak itu Tanah Sunda menjadi salah satu penghasil beras utama, selain Jawa.
Kisah di atas, selain mengisahkan hal ikhwal keberadaan tarawangsa pada awal sekali, juga memberitakan bahwa masyarakat Sunda pada masa tersebut (abad ke-8 dan ke-9) belum mengenal jenis padi sawah, melainkan hanya padi huma. Dalam versi cerita rakyat ini pada masa itu masyarakat Sunda membawa padi hasil panen mereka langsung ke rumah dengan bantuan rangkong. Budaya ladang dari masyarakat Sunda pun terlihat dari alat-alat musik yang mayoritas terbuat dari bambu.
Cerita rakyat lainnya dari Sumedang yang berkisah tentang asal mula Tarawangsa, ditemukan dalam laporan penelitian Yetti Setianingsih, dkk (2006). Ringkas cerita, seorang bernama Eyang Muhari mengalami mati suri karena penyakit yang diderita.  Ketika jenazahnya hendak dimandikan oleh orang-orang Rancakalong, datanglah Eyang Salia. Untunglah Eyang Salia datang tepat waktu. Ia menyuruh orang-orang tersebut untuk mengurungkan niatnya.
Eyang Salia kemudian mengamati tubuh Eyang Muhari. Ia menerawang dengan mata batinya. Eyang Salia yakin, bahwa Eyang Muhari masih dapat hidup kembali. Setelah ditunggu dua jam, Eyang Muhari bangun. Ia begitu heran melihat banyak orang berkumpul di rumahnya.
Eyang Muhari lalu bercerita tentang apa yang dialaminya ketika mati suri. “Aku bermimpi bertemu dengan seorang tua berjenggot panjang. Orang tua tersebut menyuruhku untuk melakukan apa yang dikatakannya”. Apa yang diceritakannya tersebut merupakan cikal bakal kesenian Tarawangsa. Orang berjenggot itu memberikan sebagian tata cara melaksanakan kesenian Tarawangsa.
Cerita rakyat di atas, jelas lebih tua dari kisah sebelumnya, (para pengamen Sunda ke Mataram). Cerita dari laporan penelitian Yetti Setia Ningsih, dkk ini mengisahkan ihwal inspirasi penciptaan Tarawangsa. Namun sayang dalam kisah tersebut tidak terdapat tahun kejadian “Mati Suri”-nya Eyang Muhari.
Bukan suatu kebetulan jika wilayah-wilayah lain di Jawa Barat memiliki tradisi lisan serupa dalam versi yang belum tentu sama persis. Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai sejarah lahirnya tarawangsa.
Persembahan kepada Sanghyang Sri
Tarawangsa diperagakan saat digelarnya perayaan hasil panen dan diperuntukkan kepada Sanghyang Pohaci Sri, makhluk langit penguasa padi. Dalam perayaan ini, para penari yang terdiri atas sejumlah lelaki dan perempuan, turun ke gelanggang dengan diiringi ensemble tarawangsa dan jentreng.  Mereka menari dengan pola tak beraturan, karena memang musik tarawangsa ini tidak menuntut tarian dengan pola tertentu. Prosesi tarawangsa dipimpin oleh saehu atau sesepuh adat, dengan sepasang patung lelaki dan perempuan perwujudan Aki Balangantrang dan Nini Pohaci, wajib dihadirkan.
Alat Musik Kahyangan
Kata tarawangsa sudah disebut-sebut dalam sejumlah naskah berbahasa dan beraksara Sunda Kuno seperti Jatiniskala (Jatiraga). Dalam naskah-naskah ini disebutkan bahwa alat tarawangsa diperdengarkan di alam kahyangan. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan teks Jatiniskala berikut:
Yata nira nu mangih / ning bumi kumirincing / Rari sada tatabeuhhan / ri aci bemiring kumirinycing / kumarenycang kumarenycong / rari ti nu rari aci kwaswar(r)anan / hya(ng) gending (gending) narawangsa / kaamsuh ku deneng pawana (Maka dialah yang menemukan, dunia gemerincing. Ramai suara bunyi-bunyian, dalam pusat dunia gemerincing, kumarencyang-kumarenycong, lebih ramai daripada pusat keramaian di bawah, gamelan keramat dibunyikan diiringi tarawangsa, tersebar oleh hembusan angin).
Selain tarawangsa, ada sejumlah atal musik lain yang disebutkan oleh sejumlah naskah Sunda Kuno seperti Para Putra Rama dan Rawana, Sri Ajnyana, Bujangga Manik. Mereka adalah goong (gong) kuning, goong jawa, gending (gendang), sarunay (seruling), gangsa (gamelan perunggu, canang), caning,  karinding,  dan kacapi, di mana sebagian alat musik tersebut, terutama alat pukul (tatabeuhan), sering diperdengarkan di alam kasorgaan dan kahyangan.

Sumber Rujukan
Noorduyn, J. dan A. Teeuw. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya.
Yetti Setianingsih, dkk. 2006. Aspek Didaktis dalam Teks Cerita Sastra Lisan di Kabupaten Sumedang. Laporan Penelitian. Fakultas Sastra Unpad.
“Jentreng Tarawangsa: Menari untuk Dewi Padi”. Diunduh 22 Oktober 2011. Dari http://berita.liputan6.com/read/331218/jentreng-tarawangsa-menari-untuk-dewi-padi