Kisah Prabu Kian Santang Dan Syaidina Ali R.a
Pengantar Redaksi (Ahmad Y. Samantho Sukarya)
Oleh ROCHAJAT HARUN
Mengingat
banyaknya kontroversi tentang kebenaran dan alur kisah Kean Santang dan
Prabu Siliwangi yang beredar di Masyakarat, apa lagi ditambah hadirnya
film Sinetron Kean Santang di salah satu stasiun TV Swasta (MNC) yang
banyak menyelewengkan kisah sejarah beliau, maka Pemred Bayt al-Hikmah
Institute (AYSS) mereka perlu memberi komentar terhadap tulisan di Bawah
ini.
Di bawah ini adalah artikel tentang salah
satu versi mitos atau legenda historis tentang Keislaman Kian Santang,
Putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran Bogor. Benar atau tidaknya kisah
ini, masih harus diteliti ulang, mengingat ada banyak versi sejarah atau
legenda tentang Keislam Ptabu Siliwangi yang lainnya. Bahwa Prabu
Siliwangi sudah masuk Islam ketika beliau melamar dan menikahi Nyi
Subang Larang, yang merupakan santriwati di Pondok Pesantrennya Kyai
Syekh Quro di Karawang-Subang. Versi lain bisa di baca di beberapa
artikel di link ini :
by Gentra Pusaka Wangi on Tuesday, October 26, 2010 at 12:12am ·
Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Bismillahi rohmanirohiim
GODOG adalah sebuah daerah pedesaan yang indah dan nyaman, berjarak 10 km kearah timur dari puseur dayeuh Garut.
Tepatnya di Desa Lebakagung, Kecamatan Karangpawitan, Kabupaten Garut.
Disana terdapat makam Prabu Kian Santang atau yang dikenal dengan
sebutan Makam Godog Syeh Sunan Rohmat Suci. Hampir setiap saat banyak
masyarakat yang ziarah, terlebih di bulan-bulan maulud
Prabu Kian Santang atau Syeh Sunan Rohmat
Suci adalah salah seorang putra keturunan raja Pajajaran, Prabu
Siliwangi, dari prameswarinya yang bernama Dewi Kumala Wangi (Nyi Subang
Larang). Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran, mempunyai
dua saudara, bernama Dewi Rara Santang dan Walang Sungsang.
Pada
usia 22 tahun, tepatnya tahun 1337 Masehi, Kian Santang diangkat
menjadi dalem Bogor kedua yang saat itu bertepatan dengan upacara
penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati,
putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna
mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka
Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah
batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.
Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton
Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah
bangsa, khususnya Jawa Barat.
Kian Santang merupakan sinatria yang
gagah perkasa. Konon tak ada yang bisa mengalahkannya. Sejak kecil
sampai dewasa, yaitu berusia 33 tahun, tepatnya tahun 1348 Masehi, Kian
Santang belum pernah tahu seperti apa darahnya. Dalam arti, belum ada
yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya. Sering kali dia merenung
seorang diri, memikirkan di mana ada orang gagah dan sakti yang dapat
menandingi kesaktian dirinya. Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada
ayahnya supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya.
Sang
ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan di mana ada
orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Kian Santang. Namun tak
seorangpun yang mampu menunjukkannya. Tiba-tiba datang seorang kakek
yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kian
Santang adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah.
Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini
dipertemukan secara gaib dengan kekuasaan Alloh Yang Maha Kuasa. Lalu,
orang tua itu berkata kepada Prabu Kian Santang: “Kalau memang kau mau
bertemu dengan Sayyidina Ali, kau harus melaksanakan dua syarat:
Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, namamu harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang – Berani, Setra – Bersih/ Suci).
Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan
dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah pada
tahun 1348 Masehi. Setiba di tanah Mekah, ia bertemu dengan seorang
lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kian Santang tidak mengetahui
bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kian Santang yang
namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada
laki-laki itu.
“Kenalkah dengan orang yang namanya
Sayyidina Ali?” tentu laki- laki itu menjawab dengan jujur,
mengiyakannya, bahkan ia bersedia mengantar Kian Santang. Sebelum
berangkat, laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah. Setelah
berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, “Wahai Galantrang
Setra, tongkatku ketinggalan di tempat tadi, tolong ambilkan dulu!”
Semula
Galantrang Setra tidak mau. Namun Sayyidina Ali mengatakan jika tidak
mau, tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali. Terpaksalah
Galantrang Setra kembali ketempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat.
Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat
dengan sebelah tangan. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, bahkan
tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi, Kian santang berusaha
mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya,
Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai
tenaga bathin. Tetapi tongkat tetap tertancap di tanah dengan kokoh,
sebaliknya kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan
keluarlah darah dari tubuh Galantrang Setra.
Sayyidina Ali mengetahui kejadian itu,
maka beliaupun datang. Setelah Sayyidina Ali tiba, tongkat itu langsung
dicabut sambil mengucapkan Bismillah dan dua kalimat syahadat.
Tongkatpun terangkat dan bersamaan dengan itu hilang pulalah darah dari
tubuh Galantrang Setra. Galantrang Setra merasa heran, kenapa darah yang
keluar dari tubuh itu tiba-tiba menghilang dan kembali tubuhnya sehat.
Dalam hatinya ia bertanya. “Apakah kejadian itu karena kalimah yang
diucapkan oleh orang tua itu tadi?”. Kalaulah benar, kebetulan, akan
kuminta ilmu kalimah itu. Tetapi laki-laki itu tidak menjawab.
Alasannya, karena Galantrang Setra belum masuk Islam.
Kemudian mereka berdua berangkat menuju
Mekah. Setelah tiba di Mekah, di tengah perjalanan ada yang bertanya
kepada laki-laki itu dengan sebutan Sayyidina Ali. Galantrang Setra
kaget mendengar panggilan ”Ali” tersebut. Ternyata laki-laki yang baru
dikenalnya tadi tiada lain adalah Sayyidina Ali.
Setelah Kiansantang meninggalkan Mekah
untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran), ia terlunta-lunta tidak tahu
arah tujuan. Maka ia berpikir untuk kembali ke Mekah lagi dengan niat
bulat akan menemui Sayyidina Ali, sekaligus bermaksud memeluk agama
Islam. Pada tahun 1348 Masehi, Kian Santang masuk Islam. Ia bermukim
selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian
dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu
Siliwangi dan saudara-saudaranya.
Setibanya di Pajajaran, ia bertemu dengan
ayahnya. Kian Santang menceritakan pengalamannya selama bermukim di
tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir
ceritanya, ia memberitahukan bahwa dirinya telah masuk Islam dan berniat
mengajak ayahnya untuk memeluk agama Islam. Prabu Siliwangi kaget
sewaktu mendengar cerita anaknya, terlebih ketika anaknya mengajak masuk
agama Islam. Sang ayah tidak percaya, dan ajakannya ditolak.
Tahun 1355 Masehi, Kian Santang berangkat
kembali ke tanah Mekah. Jabatan kedaleman, untuk sementara diserahkan
ke Galuh Pakuan yang pada waktu itu dalemnya dipegang oleh Prabu
Anggalang. Prabu Kiansantang bermukim di tanah Mekah selama tujuh tahun
dan mempelajari ajaran agama Islam secara khusyu. Merasa sudah cukup
menekuni ajaran agama Islam, kemudian ia kembali ke Pajajaran tahun 1362
M. Ia berniat menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa. Kembali ke
Pajajaran pun disertai saudagar Arab yang punya niat berniaga di
Pajajaran sambil membantu Kiansantang mensyi’arkan agama Islam.
Setiba di Pajajaran, Kiansantang langsung
menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat, karena ajaran Islam
dalam fitrohnya membawa keselamatan dunia dan akhirat. Masyarakat
menerimanya dengan tangan terbuka. Kemudian Prabu Kiansantang bermaksud
menyebarkan ajaran agama Islam di lingkungan Keraton Pajajaran.
Setelah Prabu Siliwangi mendapat berita
bahwa anaknya sudah kembali ke Pajajaran dan akan menghadap kepadanya.
Prabu Siliwangi yang mempunyai martabat raja mempunyai pikiran. “Dari
pada masuk agama Islam lebih baik aku muninggalkan keraton Pajajaran”.
Sebelum berangkat meninggalkan keraton, Prabu Siliwangi merubah Keraton
Pajajaran yang indah menjadi hutan belantara.
Melihat gelagat demikian, Kiansantang
mengejar ayahnya. Beberapa kali Prabu Siliwangi terkejar dan berhadapan
dengan Kiansantang yang langsung mendesak agar sang ayah dan para
pengikutnya masuk Islam. Namun Prabu Siliwangi tetap menolak, malah
beliau lari ke daerah Garut Selatan. Kiansantang menghadangnya di laut
Kidul Garut, tetapi Prabu Siliwangi tetap tidak mau masuk agama Islam.
Dengan rasa menyesal, Kiansantang terpaksa membendung jalan larinya sang
ayah. Prabu Siliwangi masuk ke dalam gua yang sekarang disebut gua
sancang Pameungpeuk.
Prabu Kiansantang sudah berusaha
mengislamkan ayahnya, tetapi Alloh tidak memberi hidayah kepada Prabu
Siliwangi. Kiansantang kembali ke Pajajaran, kemudian membangun kembali
kerajaan sambil menyebarkan agama Islam ke pelosok-pelosok, dibantu oleh
saudagar Arab sambil berdagang. Namun istana kerajaan yang diciptakan
oleh Prabu Siliwangi tidak dirubah, dengan maksud pada akhir nanti anak
cucu atau generasi muda akan tahu bahwa itu adalah peninggalan sejarah
nenek moyangnya. Sekarang lokasi istana itu disebut Kebun Raya Bogor.
Pada tahun 1372 Masehi, Kiansantang
menyebarkan agama Islam di Galuh Pakuan dan dia sendiri yang mengkhitan
laki-laki yang masuk agama Islam. Tahun 1400 Masehi, Kiansantang
diangkat menjadi Raja Pajajaran, menggantikan Prabu Munding Kawati atau
Prabu Anapakem I. Namun Kiansantang tidak lama menjadi raja, karena
mendapat ilham harus uzlah, pindah dari tempat yang ramai ketempat yang sepi. Dalam uzlah itu,
ia diminta agar bertafakur untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah
SWT, dalam rangka mencapai kema’ripatan. Kepada beliau dimintakan untuk
memilih tempat tafakur dari ke 3 tempat, yaitu Gunung Ceremai, Gunung
Tasikmalaya, atau Gunung Suci Garut.
Waktu uzlah harus dibawa peti yang
berisikan tanah pusaka. Peti itu untuk dijadikan tanda atau petunjuk
tempat bertafakur nanti, apabila tiba disatu tempat peti itu godeg/
berubah, maka disanalah tempat dia tafakur, dan kemudian nama
Kiansantang harus diganti dengan Sunan Rohmat. Sebelum uzlah, Kiansantang menyerahkan tahta kerajaan kepada Prabu Panatayuda, putra tunggal Prabu Munding Kawati.
Setelah selesai serah-terima tahta
kerajaan dengan Prabu Panatayuda, maka berangkatlah Prabu Kiansantang
meninggalkan Pajajaran. Tempat yang dituju pertama kali adalah Gunung
Ceremai. Setibanya disana, peti diletakan di atas tanah, tetapi peti itu
tidak godeg alias berubah. Kiansantang kemudian berangkat lagi ke
gunung Tasikmalaya, disana juga peti tidak berubah. Akhirnya Kiansantang
memutuskan untuk berangkat ke gunung Suci Garut. Setibanya di gunung
Suci Garut, peti itu disimpan diatas tanah, secara tiba-tiba berubahlah
peti itu. Dengan godegnya peti tersebut, berarti petunjuk kepada
Kiansantang bahwa ditempat itulah beliau harus tafakur untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Tempat itu kini diberi nama Makam Godog.
Prabu Kiansantang bertafakur selama 19
tahun. Sempat mendirikan Mesjid yang disebut Masjid Pusaka Karamat Godog
yang berjarak dari makam godog sekitar kurang lebih 1 Km. Prabu
Kiansantang namanya diganti menjadi Syeh Sunan Rohmat Suci dan tempatnya
menjadi Godog Karamat. Beliau wafat pada tahun 1419 M atau tahun 849
Hijriah. Syeh Sunan Rohmat Suci wafat di tempat itu yang sampai sekarang
dinamakan Makam Sunan Rohmat Suci atau Makam Karamat Godog.***
sebuah kisah sejarah yg bermanfaatmungkin ada cerita yg sama dengan ini,,mari kita ambil hikmahnya
Gentra Pusaka Wangi
0 komentar:
Posting Komentar