Koran Sindo, 4 September 2011
Judul Buku: Peradaban Atlantis Nusantara
Penulis: Ahmad Y. Samantho, Oman Abdurrahman et. all
Penerbit: UFUK
Cetakan: I, Juli 2011
Tebal: 540 Halaman
Nampaknya, buku-buku yang
berkaitan dengan sejarah Indonesia/ Nusantara memang harus ditulis ulang
dengan cara dan pendekatan yang sama sekali berbeda. Selama ini,
dipercaya bahwa sejarah Indonesia dimulai dari abad ke-5 Masehi, saat
ditemukannya beberapa prasasti di Kutai dan Bogor yang bertarikh di masa
itu.
Sebuah
identifikasi yang mengabarkan jatidiri manusia Nusantara hanyalah
pewaris dari kerajaan-kerajaan konsentris (pedalaman) berbasis agama
Hindu dan Buddha. Hasilnya, kita kemudian menerima secara taken for granted dan
melegitimasi realitas kekinian kita yang hanya merupakan kelanjutan
–dengan pembaruan di tingkat superfisial- dari adab dan budaya kerajaan
pedalaman tersebut.
Maka, keberadaan buku Peradaban Atlantis Nusantara ini,
menjadi penting mengingat posisinya yang menjadi semacam pembongkaran
terhadap konstruksi sejarah yang diciptakan tersebut di atas. Di
dalamnya, sejarah panjang Nusantara dicoba ditafsirkan ulang dengan
melakukan penjelajahan terhadap situs-situs yang diyakini mampu menjadi
bukti pendukung atas eksistensi peradaban manusia Nusantara yang lebih
panjang dalam sejarah yang ditulis dan diajarkan di sekolah-sekolah
selama ini.
Adalah Plato, filsuf besar Yunani yang
pertamakali menginformasikan keberadaan Atlantis dalam karyanya; Timeaus
and Critias sekitar 2400 tahun yang lalu. Plato menulis bahwa Atlantis
terhampar di “seberang pilar-pilar Herkules” dan memiliki angkatan laut
yang telah menaklukan Eropa Barat dan Afrika 9000 tahun sebelum zamannya
Solon, atau sekitar 9500 Sebelum Masehi. Atlantis tenggelam “hanya
dalam waktu satu hari satu malam” setelah gagal menyerang Yunani.
(Halaman 3)
Deskripsi Plato ini kemudian
menginspirasi para pemikir sejak zaman Renaissance, sebut misalnya
Francis Bacon yang menulis “New Atlantis”. Selain itu, Atlantis juga
banyak mempengaruhi literatur modern, dari fiksi ilmiah hingga ke buku
komik dan film. Namanya telah menjadi pameo untuk semua peradaban
prasejarah yang maju. Hingga saat ini, diperkirakan lebih dari 5000 buku
ditulis tentang Atlantis. Sebagian mempercayai keberadaannya,
kebanyakan hanya menganggap sebagai lelucon semata.
Namun, perhatian terhadap keberadaan Atlantis kembali mengemuka seiring dengan terbitnya buku Eden in The East tahun
1999 karya Stephen Oppenheimer. Menurut pakar genetika lulusan Oxford
University London ini, paparan Sunda (Sundaland) merupakan cikal bakal
peradaban kuno atau biasa diistilahkan Taman Eden. Istilah ini berasal
dari bahasa Ibrani Gan Eden, atau Firdaus dalam bahasa Indonesia, yang
diserap dari bahasa Persia Pairidaeza yang artinya Taman. (Halaman 132)
Kesimpulannya didasarkan pada mutasi
genetis yang bertindak sebagai penanda yang menyimpan beberapa bukti
terbaik mengenai migrasi manusia Indo-Pasifik yang mengikuti banjir
besar pada akhir zaman es terakhir. Bukti-bukti semacam inilah yang
pertamakali mendorongnya untuk secara serius meneliti kemungkinan adanya
“budaya perintis peradaban dunia” atau yang dipopulerkan Plato dengan
Atlantis, di Asia Tenggara.
Munculnya peradaban di Mesopotamia,
Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para imigran
dari Asia Tenggara ini, yang disebabkan banjir besar melanda kawasan
tersebut dan menenggelamkan sebagian wilayahnya, hingga yang tersisa
adalah pulau-pulau yang terpisah, antara lain; Kalimantan, Jawa, Bali,
dan Sumatra. Landasan argumen Oppenheimer ini berdasarkan pada kajian
etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisis DNA, dan
linguistik.
Enam tahun kemudian, Arysio Nunes des Santos dalam bukunya yang berjudul Atlantis, The Lost Continent Has Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005), seolah
mengamini apa yang dicetuskan Oppenheimer dengan menyimpulkan bahwa
Indonesia merupakan bekas benua Atlantis yang hilang 11.600 tahun yang
lalu, tepatnya bernama benua Sunda (Sundaland) atau Nusantara.
Santos, bahkan secara meyakinkan
menunjukkan 33 bukti sahih persamaan ciri-ciri Atlantis yang disebutkan
Plato dengan Nusantara; Terletak di Samudra Atlantik, adanya pelabuhan
laut, navigasi maritim, kanal dan saluran irigasi, ukuran benua dan
geometri suci, gunung suci dan gunung berapi, iklim tropis dan dua panen
tanaman setahun, penduduk yang besar jumlahnya, geometri suci ibu kota
Atlantis, terletak di luar Pilar Herkules, laut yang tak dapat dilayari
dan laut Sargasso, benua yang tenggelam, konstruksi megalitik, kuda dan
kereta perang, gajah di Atlantis, bukti-bukti bencana alam, perdagangan
komersial melintasi samudra, kekayaan mineral logam, keunggulan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sawah dan ladang berundak di gunung, dan
golongan darah “O”.
Teori yang dikemukakan Oppenheimer dan
Santos semakin terbukti validitasnya seiring ditemukannya beberapa situs
yang diyakini berhubungan dengan Atlantis. Dari sekian banyak, yang
paling menarik saat ini adalah ditemukannya struktur batuan piramida di
balik bukit Lalakon di kecamatan Soreang, kabupaten Bandung oleh tim
ekspedisi dari Yayasan Turangga Seta ditemani beberapa ilmuan dari LIPI
dan BPPT untuk melakukan uji Geolistrik. Selain itu, tim ini juga
menemukan struktur piramida yang tertimbun di bukit Sadahurip, Garut.
Hasilnya, mereka menemukan adanya struktur batuan yang membrojong
struktur piramida, tersusun rapih dengan kemiringan 30 derajat setelah
menggali tanah dengan kedalaman 1-4 meter. (Halaman 485)
Bunga rampai setebal lima ratus empat
puluh halaman ini, ditulis oleh orang Indonesia yang gelisah dengan
sejarah panjang bangsanya. Pembahasan di dalamnya, coba dikaitkan dengan
beberapa teks yang termuat dalam Kitab Suci. Sehingga siapa pun yang
membacanya dapat mengambil manfaat besar dari berbagai sudut pandang.
Selamat membaca !
0 komentar:
Posting Komentar