Sejarah Kerajaan Sunda

Kamis, 04 Juli 2013


Sejarah Kerajaan Sunda – di wilayah Jawa Barat Muncul kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Menurut kitab Carita Parahiyangan, sebenarnya lahirnya Tarumanegara telah didahului oleh sebuah kerajaan yang bernama Salakanagara yang beribukota di Rajataputra. Kerajaan salakanagara sebelum diperintah oleh raja Dewawarman (Dharmalokapala) merupakan sekumpulan pedukuhan kecil-kecil yang dikuasai oleh Aki Tirem. Namun,sayang sekali sumber sejarah lain tidak ada yang menguatkannya sehingga keberadaan keraaj tersebut masih diragukan. 

Berita pertama kemunculan Kerajaan sunda diperoleh dari prasasti Canggal (732). Prasasti canggal menerangkan , Sanjaya (Raja Mataram) telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja (daerah Wukir). Dia adalah anak Sannaha, saudara perempuan Raja sanna.

Berkenaan dengan hal tersebut, kitab carita parahiyangan mengatakan bahwa raja Sena berkuasa di kerajaan Galuh. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Rahyang Purbasora. Raja sena berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke Gunung merapi bersama keluarganya. Selanjutnya, sanjaya putra Sannaha berhasil mengalahkan Rahyang Purbasora dan menduduki takhta Galuh. Beberapa waktu kemudian, Raja sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Kerajaan Mataram, sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada puteranya, Rahyang Tamperan. Sampai saat ini para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh Sanna dan sanjaya di dalam prasasti Canggal dengan raja sena dan Sanjaya di dalam kitab carita parahiyangan.

Dalam waktu yang cukup lama tidak diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul lagi pada tahun 1030 ketika dipimpin oleh Maharaja Sri Jayahbhupati. Nama Sri Jayabhupati terdapat pada Sang Hyang Tapak yang ditemukan di daerah Cibadak (Sukabumi). Ia bergelar Wikramottunggadewa, sebuah gelar yang sering digunakan pemerintahan Airlangga di Mataram. Adanya gelar tersebut menimbulkan bermacam dugaan. Sri Jayabhupati mungkin takluk-kan Airlangga, atau sebaliknya musuh airlangga, atau tak ada keterkaitan sama sekali. Yang jelas, Sri Jayabhupati menegaskan dirinya sebagai Hajiri ri sunda (Raja di Sunda). Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Sunda adalah Pakuan Pajajaran.


Pengganti Sri Jayabhupati adalah Prabu Raja wastu (Rahyang Niskala Wastu Kancana). Ia memindahkan ibukota kerajaan dari pakuan Pajajaran ke Kawali (Ciamis) dan membangun istana di Surawisesa. Setelah meninggal , Prabu raja wastu digantikan oleh anaknya, Rahyang Ningrat Kencana (Rahyang Dewa Niskala). Selanjutnya tampuk pemerintahan jatuh kepada sri baduga Maharaja. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Sunda dirundung duka dengan terjadinya peristiwa Bubat (1357). Dalam peristiwa Bubat itu hampir seluruh pasukan sunda gugur di daerah Kerajaan Majapahit. Keadaan ini tidak berarti bahwa sunda tidak mempunyai raja lagi.

Ketika peristiwa bubat terjadi, putra mahkota kerajaan sunda, Niskala wastu Kancana masih kecil, sehingga untuk sementara waktu pemerintahan dipegang oleh Hyang bunisora (1357-1371). Setelah menginjak dewasa, Niskala wastu Kancana (1371-1474) menerima kembali tampuk kekuasaan dari Hyang bunisora. Ia memerintah cukup lama, yaitu 104 tahun. Masa pemerintahan yang panjang ini disebabkan Niskala Wastu Kancana menjalankan pemerintahan dengan baik. Selalu menaati ajaran agama dan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan penggantinya, Ningrat Kencana (1474-1482) banyak melanggar tradisi-tradisi raja sunda. Akibatnya ia kurang disenangi rakyat dan masa pemerintahannya relatif pendek.

Ningrat Kencana diganti oleh Sang Ratu Jayadewata (1482-1521). Sang Ratu Jayadewata memindahkan ibukota kerajaan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran. Pada saat itu pengaruh islam mulai memasuki Kerajaan sunda. Penduduk di wilayah utara sudah banyak menganut islam, terutama di daerah Banten dan Cirebon. Dalam menghadapi situasi seperti itu, raja berusaha menjalin persekutuan dengan portugis di Malaka. Pada tahun 1512 dan 1521 di kirimlah utusan ke Malaka dibawah pimpinan prabu Surawisesa (1521-1535), Putra mahkota kerajaan sunda.

Prabu Surawisesa kemudian menggantikan takhta sang Ratu Jayadewata. Di tengah-tengah masa kekuasaannya, pelabuhan besar Sunda kelapa jatuh ke tangan Kerajaan islam Banten. Portugis yang menjanjikan bantuannya ternyata tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya pusat kerajaan sunda terputus hubungannya dengan daerah luar. Pengganti Surawisesa, Prabu ratudewata (1535-1543) harus menjalani masa-masa kritis dengan adanya serangan tentara Islam yang bertubi-tubi. Akan tetapi, sejauh itu kedaulatan Kerajaan Sunda masih dapat dipertahankan.


Prabu Ratudewata dalam kesehariannya lebih berperan sebagai pendeta daripada sebagai raja, bahkan tidak menghiraukan kesejahteraan rakyat. Raja yang kemudian menggantikannya, yaitu sang Ratu Saksi (1543-1551) ternyata seorang raja kejam dan selalu hidup bersenang-senang. Demikian penggantinya, Tohaan Di Majaya (1551-1567) malah memperindah istana, suka mabuk-mabukan, berfoya-foya dan melupakan tugas kerajaan. Keadaan ini diperparah dengan gencarnya serangan Islam dari sebelah Utara. Akibatnya, pada masa pemerintahan Nusiya Mulya, negara sudah lemah sekali sehingga mudah dikalahkan tentara Islam banten pada akhir abad ke-16.

Pada masa kekuasaan raja-raja sunda, aspek sosial ekonomi rakyat cukup mendapat perhatian. Meskipun pusat kekuasaan kerajaan sunda berada di pedalaman, namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan sunda memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda kelapa dan Cimanuk. Di kota-kota tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan piaraan. Disamping kegiatan perdagangan , pertanian merupakan kegiatan yang banyak digeluti rakyat. Cara bertani yang dilakukan umumnya berladang atau berhuma. Aktivitas berladang memiliki ciri kehidupan selalu berpindah-pindah. Hal ini ternyata menjadi salah satu bagian tradisi sosial kerajaan sunda yang dibuktikan seringnya memindahkan pusat kerajaan. Oleh karena itu, kerajaan sunda tidak banyak meninggalkan keraton yang permanen, candi atau prasasti-prasasti. Candi yang paling dikenal di Jawa Barat hanyalah candi Cangkuang yang berada di Leles, garut.

Candi cangkuang yang ditemukan tahun 1966 susunan bangunannya bersorak Siwaistis. Keterkaitan candi cangkuang dengan kerajaan sunda kurang begitu jelas. Namun, karena lokasi candi tersebut berada di daerah kekuasaan kerajaan sunda, maka dapatlah diduga bahwa masyarakat sunda lebih dipengaruhi agama Hindu daripada Buddha.
BelajarInggris.Net 300x250

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Blogroll

About

Blogger news