ANALISA
KITAB KIDUNG SUNDA DAN KITAB PARARATON
Created by Ejang Hadian Ridwan
Bagian I Analisa Kitab Kidung Sunda
Kalau memang asumsinya perang dilapangan luas
Bubat atau yang sering disebut “Perang Bubat” antara kerajaan Majapahit dengan
kerajaan Sunda Galuh ini benar-benar terjadi, semua pihak harus menerimanya
secara elegan bahwa ini adalah bagian dari peristiwa sejarah yang harus
dihormati keberadaanya. Tidak seharusnya dijadikan sentimen kesukuan, dan
terlalu picik bila ini dipandang sebagai dendam kesukuan, tidak ada kaitannya,
karena mungkin ini adalah proses sejarah yang bisa jadi menentukan keberadaan
bangsa Indonesia masa kini.
Banyak
hal yang didapat dan merupakan informasi
penting sebenarnya dari kitab kidung Sunda, kalau kita analisa lebih
teliti. Kitab Kidung Sunda ini merupakan salah satu sumber referensi
penguat adanya perang Bubat selain kitab Pararaton dan Wangsakerta,
walau kitab
resmi kerajaan Majapahit yaitu kitab Nagarakertagama yang sama sekali
tidak
menyinggung peristiwa besar itu, bahkan dalam kisah perjalanan Bujangga
Manik pun tidak disinggung mengenai peristiwa Bubat ini. Penulis tidak
menganalisa sumber kitab
Wangsakerta, karena kitab ini baru muncul belum lama dan masih dalam
proses penelitian
keasliannya oleh para ahli sejarah. Hanya kitab Kidung Sunda dan kitab
Pararaton yang ingin penulis ajukan untuk analisa kisah perang Bubat
ini.
Pupuh I dari kitab kidung Sunda disebutkan nama
raja kerajaan Majapahit (Wilwatikta, bahasa sansekerta) yaitu Hayam Wuruk, nama
Hayam Wuruk ini sendiri diangkat juga oleh kitab Pararaton, dan sumber lainya,
inilah kaitannya mengapa boleh dikatakan bahwa kitab Kidung Sunda dan Pararaton
adalah 2 kitab saling menguatkan dan mendukung untuk kisah atau peristiwa
perang Bubat, karena ada kesamaan para pelaku sejarah didalamnya.
Informasi lainnya yang bisa dianalisa seperti
hal-hal yang berbau mistis yang secara kemanusiaan itu mustahil dan tidak masuk
logika, tentang Gajah Mada yang moksa (red - menghilang dari penglihatan kasat
mata) seperti petikan terjemahan kitab Kidung Sunda sebagai berikut ini:
"Maka beliau (red-Gajah Mada)
mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah
itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala)
Kitab Kidung Sunda dilihat dari seluruh isinya
berupa narasi untuk sebuah kisah, lebih kearah fiksi fantasi artinya ada
hayalan imaginer dari si pembuat atas peristiwa yang diceritakan, seperti
petikan diatas. Tentu saja kebenaran sejarah untuk narasi seperti ini sangat
diragukan, bisa jadi tidak ada nilai sejarahnya, bisa jadi pula bahwa perang
Bubat ini hanyalah atau rekayasa mengikuti cerita sebelumnya.
Terjemahan kitab Kidung Sunda ini diterbitan
oleh C.C Breg (sejarawan Belanda) tahun 1927-1928 bersama dengan kitab Kidung
Sundayana. Kitab ini diterbitkan setelah kitab pertama yang memuat
kejadian serupa mengenai perang Bubat yang diterbitkan terlebih dahulu yaitu
kitab Pararaton, yang merupakan hasil penelitian dan terjemahan DR JLA Brandes
(peneliti sejarah Belanda yang paham bahasa Kawi-Jawa kuno) tahun 1902 dan
digubah oleh para Sarjana yang belum ketahuan identitasnya tahun 1920. (silakan
baca artikel Dusta Sejarah Kitab Pararaton supaya
lebih jelas).
Catatan: teks naskah Pararaton ada dalam
list Dokumen Sejarah dalam tampilan website ini, silakan di cek, serta
terjemahanya ada di arsip dokumen (untuk sementara).
Baiklah dalam hal ini tidak akan diperdalam
lebih lanjut mengenai keaslian, kebenaran atau kepalsuan dari kitab Kidung
Sunda dan Pararaton, tetapi lebih fokus menganalisa isi yang disampaikan oleh
kitab Kidung Sunda dan Pararaton mengenai kejadian atau peristiwa perang Bubat,
mari perhatikan petikan dari terjemahan kitab Kidung Sunda sebagai berikut:
Kitab Kidung Sunda (terjemahan) Pupuh I :
“ Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa
surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian
mereka (red, rombongan kerajaan Sunda) bertolak disertai banyak sekali iringan.
Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut
kapal-kapal kecil. Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki
kapal semacam ini. Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk.
Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar
(Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)”.
Informasi penting yang diperoleh dari sebagian
petikan terjemahan kitab Kidung Sunda diatas, salah satunya yaitu mengenai
jumlah armada rombongan dari kerajaan Sunda Galuh. Rombongan itu memakai armada
kapal yang terdiri dari 200 buah kapal ukuran kecil dengan jumlah total
keseluruhan armada itu sekitar 2.000 buah kapal, terdiri dari sebagian besar
jumlah kapal dalam ukuran besar dan ditambah 200 kapal dalam ukuran kecil.
Hitungan matematis sederhananya seperti berikut
ini : misalkan 1 buah perahu rata-rata memuat atau membawa awak 10 orang,
artinya jumlah rombongan dari kerajaan Sunda Galuh (gabungan kerajaan Sunda dan
Galuh) sekitar 20.000 orang awak, ini tentunya suatu jumlah yang terlalu
overdosis atau berlebihan untuk sebuah acara perkawinan.
Bayangkan atau misalkan lagi, kalau muatannya
dalam 1 buah perahu minimal mengangkut rata-rata awak 20 orang, berarti jumlah
rombongan bisa mencapai lebih dari 40.000 orang awak, dan itu juga bukanlah
jumlah sedikit dan lebih besar dari hitung-hitungan pertama, jumlah itu
diperkirakan cukup untuk sebuah rencana penyerangan terhadapa suatu negara atau
kerajaan lain pada saat itu.
Perjalanan berlayar dari tanah Sunda ke tanah
Jawa ujung timur dengan hanya memakai kapal-kapal manual atau memakai tenaga
manusia, pasti bukanlah jenis kapal-kapal atau perahu-perahu kecil yang
digunakan. Lebih tepat sebutan kapal, dan kapal-kapal ini mestinya harus bisa
memuat jumlah personil atau awak lebih dari 30 orang dalam 1 buah perahu.
Dilakukan perhitungan lagi dengan asumsi rata-rata 1 buah kapal memuat awak 30
orang, maka jumlah total orang akan mencapai jumlah kisaran lebih dari 60.000
orang. Jumlah yang cukup fantastis dan ideal untuk sebuah rencana penyerangan
besar, sekaligus membumihanguskan kerajaan seperti Majapahit, yang notabene
mereka sedang sibuk melakukan invasi ke luar wilayah kerajaannya.
Teknologi maritim atau tehnologi pembuatan
kapal, lalu kemudian disesuaikan dengan keberadaan kerjaan Sunda Galuh yang
mengalami masa perdamainya hingga ratusan tahun lamanya, tentunya pembuatan
kapal dan pencapaian tehnologinya, akan sangat dimungkinkan. Kapal-kapal itu
bisa jadi hasil usaha dengan cara membeli dari negara lain, seperti yang
diungkapkan bahwa kapal-kapal besar yang digunakan mirip dengan kapal-kapal
yang dipakai oleh tentara Mongol pada waktu menyerang kerajaan Kediri masa
pemerintahan Jayakatwang. Kerajaan Kediri sendiri asalnya kerajaan Singhosari
tapi direbut kekuasannya oleh Jayakatwang dari sepupu, ipar atau besannya sendiri yaitu Sri Kertanegara.
Kerajaan Sunda Galuh sebelumnya sudah mempunyai
hubungan kedekatan sejarah dengan kerajaan dari Sumatera yaitu Sriwijaya, yang
terkenal mempunyai teknologi maritim yang unggul, selain itu ditambah lagi
dengan pendanaan yang cukup untuk membeli atau membuat kapal-kapal sejumlah
itu, karena kerajaan Sunda Galuh adalah kerajaan yang kaya dan makmur.
Tradisi Jawa atau dimana pun dalam
pernikahan, pihak laki-laki tentunya yang harus datang ke tempat pihak si calon
istri, bukan malah sebaliknya. Seandainya raja Sunda Galuh dan pasukannya pada
kisah kitab Kidung Sunda itu dikatakan merasa terhina sebagai alasan untuk
berperang pada saat itu, dengan diceritakan bahwa mereka harus dan diminta
takluk secara militer oleh Gajah Mada sesampainya dilapangan Bubat, maka secara
logika atau akal sebenarnya itu tidak mungkin, kalau hanya alasanya terhina
seperti itu. Raja Sunda Galuh Sri Maharaja Linggabuana (Prabu Wangi, sebutan
lainnya) semenjak awal harusnya sudah merasa terhinakan diri dan kerajaannya
dengan kedatangan untuk mengantar sang putri Citraresmi sebagai calon istri
raja Majapahit Hayam Wuruk.
Kisah ini paradoks dan tidak selaras
tentunya, tidak bisa diterima. Walau pun mungkin pada daerah-daerah
tertentu atau kondisi khusus ada yang seperti itu yaitu si pihak calon
istri yang datang ke pihak laki-laki, tapi hal tersebut tidak bisa dikatakan
sebagai kebenaran umum.
Terjemahan kitab Kidung Sunda juga
membahas tentang Mahapatih Gajah Mada yang disalahkan oleh para seniornya (para
penguasa Wilayah Daha dan Kahuripan, kerjaan bawahan Majapahit) dikeraton
kerajaan Majapahit, yang merupakan paman dari Sri Rajasa alias Hayam Wuruk,
yaitu ketika berakhirnya perang Bubat tentang penyebab terjadinya tragedi itu.
Pertanyaanya, mengapa pula dalam terjemahan kitab kidung Sunda dinyatakan bahwa
diantara pimpinan Sunda Galuh termasuk rajanya yang terbunuh, merekalah (para
senior) yang melakukannya? mungkin bisa jadi karena terpaksa mengatas namakan
bela negara. Satu hal lagi, ketika peristiwa itu berlangsung, suatu hal yang
tidak singkron satu sama lain yaitu Hayam Wuruk ternyata ikut serta dalam peperangan
itu, alasan yang sama mungkin atas nama bela negara.
Hal yang menjadikan kisah ini tidak
realistik adalah karena kelihatan jelas ada sisi fantasi si pengarang. Dalam
hal kenyataan perang sesungguhnya, siapapun bisa saling membunuh, tidak hanya
para pembesar kerajaan dengan pembesar kerajaan lawannya, tetapi prajurit biasa
pun bisa membunuh seorang raja dan sebaliknya atau bisa jadi mereka, para
pembesar itu, tidak terbunuh langsung, tapi karena terkena senjata yang bisa
dipakai dengan jarak jauh, panah atau tombak biasanya pada masa itu.
Patut diperhatikan petikan awal
terjemahan kitab Kidung Sunda, puhuh I, sebagai berikut "
"Hayam Wuruk, raja Majapahit
ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim
utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang
sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik
hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau
mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan
lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja
Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa
keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah".
Dan juga petikan sebagian pupuh II,
sebagai berikut :
"Pertempuran dahsyat
berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua
orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh Gajah Mada
sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan
Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena
pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda"
Petikan diatas memberikan keterangan
jelas bahwa pengarang kitab Kidung Sunda, tidak memahami sama sekali tentang
sejarah, coba perhatikan petikan yang dikasih bold dan garis bawah,
terdapat informasi tentang paman Hayam Wuruk yaitu raja Kahuripan dan raja
Daha, dan merekalah yang menewaskan raja Sunda.
Padahal raja Kahuripan
pada waktu itu tiada lain adalah ibunda Hayam Wuruk, yakni Bhre Kahuripan
Tribhuwana Tunggadewi dan raja Daha adik kandung Tribhuwana Tunggadewi, yakni
Bhre Daha Rajadewi Maharajasa, berarti bibinya Hayam Wuruk, lebih lanjut si
pengarang tidak memahami juga nama raja Sunda Galuh.
Apakah mungkin, yang membunuh raja
Sunda dalam perang Bubat adalah ibu dan bibi raja besar Majapahit? Sebutan
paman hanya cocok untuk suami bibi raja Hayam Wuruk, tapi untuk suami ibunya
sebutan paman tidaklah cocok. Sungguh kecerobohan yang fatal dan luar biasa
naif dari si pengarang. Apakah C.C. Breg yang notabene mengatasnamakan ahli
sejarah atau sejarawan Belanda dengan begitu mudahnya mengangkat topik perang
Bubat hanya berdasarkan cerita kitab Kidung Sunda sebagai bahan disertasinya
tahun 1927-1928, layakkah disebut ahli sejarahwan yang independen dan bisa
dipercaya?
Sedangkan banyak karya-karya C.C
Breg dan opini-opininya yang mempengaruhi catatan sejarah nusantara. Wajarkah
kalau C.C Breg disejajarkan dengan Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, yang
terkenal dengan siasat Snouck Hurgronje dalam perang Aceh?
2 komentar:
DE VIDE AT IMPERA yang tren sekarang adalah memasukkan istilah "kebhinekaan" dalam pola pikir bangsa..hati hati
DE VIDE AT IMPERA yang tren sekarang adalah memasukkan istilah "kebhinekaan" dalam pola pikir bangsa..hati hati
Posting Komentar